Mobil yang dikendarai Alvano menuju TPU yang telah menjadi rumah terakhir untuk istri tercintanya, Lina. Langkah kaki pria itu menuju pusaran sang istri yang seperti kata Layla, tanah itu belum kering.
"Maafkan aku Lina. Aku harus melakukannya demi putri kita." Alvano memeluk nisan bertuliskan nama istrinya sambil mengenang perkataan dokter tentang kondisi putrinya.
"Putri anda sudah bisa dibawa pulang tapi bukan berarti kondisinya sudah membaik. Kesehatannya bisa memburuk kapanpun itu. Dan bayi anda membutuhkan asi bukan susu formula. Lalu sebaiknya dia dirawat oleh..." Dokter itu terdiam karena bingung harus berkata apa. Dia tahu bahwa bayi yang baru lahir itu sudah ditinggalkan oleh ibunya. "Dia memerlukan peran seorang ibu." Akhirnya hanya itu yang dikatakan oleh dokter yang menangani anaknya.
Semenjak dibawa pulang, bayi perempuan itu terus saja menangis.
"Sepertinya dia merindukan ibunya." Tatapan Mama Hera sendu sekali menatap cucunya yang tidak berhenti-hentinya menangis.
Bahkan anak bayi itu sudah diserahkan kepada Mama Lady dan juga ayah kandungnya sendiri tapi dia tetap menangis.
Mereka terlihat sangat menyayangkan bayi kecil itu. Sampai ide gila itu keluar dari otak Mama Hera.
"Bu, coba hubungi Layla. Dia adiknya Lina. Layla pasti memiliki sentuhan yang sama dengan Lina."
"Ma!" Alvano tidak terima jika istrinya disamakan dengan adik iparnya.
"Al, kamu butuh ibu untuk anakmu. Layla. Dia gadis yang tepat untuk menjadi ibu dari anakmu."
Begitulah obrolan tentang pernikahan kedua Alvano dibahas. Bahkan sekuat tenaga Alvano menolak dengan alibi akan mencari pengasuh atau ibu susu untuk putrinya ditolak oleh orang tuanya.
"Bagaimana jika mereka menyakiti cucu mama? Tidak ada yang menjamin wanita luar akan menyayangi cucuku dengan baik. Setidaknya dia Layla, adik Lina. Dia tidak mungkin menyakiti anak mendiang kakaknya sendiri."
Para orang tua memang terlihat tegas dan tak berperasaan tapi mereka sudah memikirkan dengan matang apa yang mereka lakukan. Dan inilah yang terbaik untuk semuanya.
...****************...
Tok tok tok
"Layla, ini aku Tania."
"Masuklah, aku gak kunci." suara Layla dari dalam terdengar kecil karena gadis itu sedang ada di balkon kamarnya.
"Semua orang di bawah ngecemasin kamu."
Layla tersenyum miris. Entahlah, dia sedang mengasihani dirinya sendiri saat ini. "Kalau aku lompat dari sini, aku mati gak?"
"Coba aja. Syukur-syukur kalau kamu langsung mati. Kalau semisal selamat malah lumpuh seumur hidup." Dengan entengnya Tante Tania menjawab.
"Hehe." Layla terkekeh. Kekehan yang berubah menjadi tangisan.
Tante Tania membiarkan Layla menangis. Dia tidak akan mengajak Layla berbicara sebelum gadis itu tenang.
Terkadang seseorang tidak membutuhkan pertanyaan untuk mengobati kesedihannya. Dia hanya membutuhkan pelukan seperti yang saat ini Tante Tania lakukan pada Layla. Dia memeluk keponakannya itu.
"Sudah, Tan. Terimakasih," ucap Layla setelah melepaskan pelukan Tante Tania. Dia mengusap sisa air mata di pipinya.
"Mereka memang keterlaluan memaksamu. Tapi Lay, mereka ada benarnya."
"Hah, kamu ngedukung mereka Tan?" Layla menggeleng. Dia tidak habis pikir bagaimana semua orang bisa tidak memihaknya begini.
"Bayi itu perlu seorang ibu. Kamu gak lupakan pembahasan kita kemarin-kemarin. Kalau wanita lain yang gantiin bisa jadi perkedel tuh bayi. Apalagi dia prematur, Lay. Dia butuh kasih sayang khusus dari ibunya. Dan sekarang Lina udah gak ada, hanya kamu yang bisa mengisi kekosongan Lina untukbayi itu."
Tante Layla menceritakan bagaimana bayi dari Lina yang terus saja menangis dan akhirnya diam saat kedatangan mereka. Dia menceritakan semua yang didengarnya oleh Mama Lady di bawah tadi.
"Tapi aku punya hidup sendiri, Tan. Aku punya impian sendiri. Hidup dan impianku sangat berharga untuk kukorbankan." Layla tidak akan munafik dengan berpura-pura menomor dua kan dirinya sendiri. Baginya hidupnya itu penting.
"Salah satunya mengadopsi, bukan? Kalau begitu adopsilah keponakanmu." Tante Tania menatap kedua bola mata Layla. Gadis itu menggeleng.
"Kamu tahu? Tadi di kampus aku jumpa Lio. Aku baru tahu kalau dia belum punya pacar, Tan. Waktu itu aku seneng banget. Aku sampai berandai-andai. Andai Lio itu pacar aku, gimana ya hidupku? Pasti bahagia banget. Cowok yang aku harapin akhirnya bisa jadi punyaku. Tapi apa yang terjadi sekarang seolah mengatakan 'Hey Layla, kamu gak boleh nge-plan apapun karena hidupmu bukan punyamu' kata-kata itu nampar aku banget, Tan."
Tante Tania tidak berusaha membujuk Layla lagi. Dia sendiri tahu bagaimana keponakannya ini sangat tergila-gila dengan pria bernama Lio. Bahkan dia pernah uring-uringan saat mendengar kabar pria itu jalan dengan gadis lain.
"Maaf aku tadi bawa-bawa namamu," sesal Layla karena tanpa berpikir panjang dia menyuruh Tante Tania berkorban menggantikan dirinya.
"Gak papa. Kamu pasti lagi dilema waktu itu. Ya walau aku kaget sampe rasanya nih jantung mau copot. Ucapanmu waktu itu aneh. Gimana pula dari nenek jadi mama."
Lara terkekeh dan menyindir gadis satu itu "Nyadar juga udah tua".
"YA!"
Mereka berdua tertawa. Sereceh itu memang keduanya.
"Bilang ke mereka aku gak mau pernikahan yang mewah. Cukup di kantor sipil. Hanya kita-kita yang tahu. Katakan bahwa pernikahan ini hanya diatas kertas. Aku bakal tetap kuliah dan kerja. Semuanya untuk bayi itu. Setelah dia sudah besar, pernikahan ini akan aku pikirkan ulang." Pandangan Layla kosong menatap ke depan. Keputusan terberat dalam hidupnya jatuh pada hari ini.
Tidak akan ada pernikahan mewah karena semua itu percuma karena bagi Layla ini semua hanyalah paksaan.
"Aku gak salah dengar?"
"Ha ha. Menolak pun gak gunakan Tan? Aku harus balas budi. Jika dari awal aku tahu kasih sayang itu harus dibalas, aku memilih untuk tidak dilahirkan saja." Layla menepis kesedihan di wajahnya yang entah kenapa datang lagi. Dia tidak mau kembali menangis.
"Aku ke bawah." Tante ania pamit untuk menyampaikan pesan dari Layla kepada semua orang.
"Turunlah. Bayi itu terus saja menangis. Dia membutuhkanmu." Sebelum keluar dari kamar, Tania berpesan.
"Bawa saja dia ke atas," suruh Layla.
Tante Tania benar-benar turun dan menghadap kesemua keluarga yang belum bubar. Mereka masih sibuk menenangkan si kecil.
"Dia terima," ungkap Tante Tania. Tidak lupa dia juga mengatakan semua pesan dari Layla. Termasuk menyuruh mereka untuk membawa si kecil ke atas jika memang bayi itu akan diam bersama Layla.
Semua orang senang. Bahkan mereka saling berpelukan satu sama lain. Dan Mama Lady bersama dengan Tante Tania yang membawa si kecil untuk naik ke kamar Layla.
"Layla," panggil Mama Lady.
Layla tidak menyahut dia hanya memposisikan tangannya untuk menerima si kecil.
"Mama keluarlah. Aku butuh waktu sendiri." Secara tidak langsung Layla mengusir mamanya itu tapi dia memang sedang tidak dalam kondisi untuk berbasa-basi.
"Maaf."
Flashback off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
,,💃iya kamu sayang
god. Salam Thor pembaca baru
2024-07-19
0