Bab 5

1 minggu berlalu, Ralia sudah menemukan pekerjaan, dan selama itu juga Alvan tak lagi berbicara dengannya. Hal itu memang mengganggu pikiran Rali, namun Ia tak bisa memaksa Alvan menuruti egonya. Siapa dia? Bahkan bagi Alvan, dia hanya pengganggu hidupnya. Biarkan Alvan tenang dengan dunianya tanpa bertegur sapa dengan Ralia. Baginya, pernikahan ini hanyalah topeng untuk Alvan meraih ridho Ibunya.

"Van... lo tahu gak? Cewek yang gue ceritain kemaren, ternyata dia kerja di cafe biasa kita nongkrong." Ucap Dikta dengan antusias mengganggu pekerjaan Alvan.

"Oh cewek hitam manis yang lo maksud itu? Boleh gue tahu gak? Ketemu gitu..."

"Eh enggak ah jangan. Nanti kalo lo ikut jatuh cinta sama dia gimana? Lagian lo kan udah nikah." Sejenak Alvan terdiam, venar apa yang dikatakan Dikta. Ia sudah menikah.

"Tapi gue lagi dieman sama dia Ta."

"Loh kok bisa?"

"Yaa pokoknya gue lagi kesel sama istri gue. Kalau bisa, gue mau nyari hiburan buat ngelampiasin kekesalan gue."

"Eh istigfar dodol. Lu ngomong apa? Mending lo bicara deh sama istri lo. Jangan gini. Eh Van. Gue tahu lo gimana. Lo gak mungkin ngelakuin hal bodoh gitu kan?"

"Lo ngomong apa sih? Ya enggak lah. Gue cuman mau nenangin pikiran. Siapa tahu ada temen ngobrol atau gimana."

"Lah ya kalau mau ngobrol sama gue aja. Jangan sama cewek lain. Kasian istri lo."

Mendengar apa yang dikatakan Dikta, Alvan kembali terdiam. Ia mengingat kembali bagaimana Ralia selama seminggu ini. Dia lebih fokus sendiri dan terasa seperti tenang saat tidak disapa olehnya. Namun, baginya tak ada yang istimewa dari Ralia. Ia selalu berangkat pagi pulang malam, Ia tak tahu aktifitas apa yang dilakukan Ralia sebelum tidur karena saat Ia pulang, Ralia sudah tertidur pulas. Akhir-akhir ini, Ralia susah tak tersesat lagi. Sepertinya dia sudah mencatat dan menghafal alamat apartemennya.

"Sore ini kita ke cafe." Ujar Alvan disela keheningan antara dirinya dan Dikta.

"Siap bos." Jawab Dikta begitu antusias.

Sesuai perjanjian dan rencana, Alvan dan Dikta pergi ke cafe tempat biasa mereka bersantai setelah lelah bekerja. Jelas saja Dikta mencari-cari keberadaan Ralia. Alvan berlalu ke toilet sambil menunggu pesanan datang.

"Lia... antarkan pesanan ini ke meja 23 ya!" Titah seorang pelayan lain pada Ralia.

"Oke kak." Jawabnya langsung menyambar nampan berisi 2 cangkir kopi latte. Dengan hati-hati Ia bawa dan sampai di meja, Dikta tersenyum begitu manis ke arahnya.

"Terima kasih nona manis." Ucapnya membuat Ralia tersipu. Gadis yang sudah bersuami itu pun tersenyum mendengar candaan Dikta. Setelahnya, Ralia berlalu karena Ia masih banyak pekerjaan.

Ketika Alvan kembali ke mejanya, Ia terheran melihat Dikta yang seperti orang sedang mabuk. Dikta meraih dadanya sambil tersenyum tak karuan.

"Lo kenapa? Sakit? Mabuk lo ya?" Tanya Alvan.

"Gue mabuk senyuman dia Van. Manis banget." Jawab Dikta malah semakin parah.

"Wah bahaya nih. Yang mana sih? Gue penasaran cewek yang lo taksir itu." Dikta yang semula bersikap konyol, kini berubah serius dan mencari-cari keberadaan Ralia. Namun, mendadak gadis itu hilang tak nampak batang hidungnya sekalipun. Saat Dikta melihat Ralia ternyata di belakang Alvan, Ia berniat melambaikan tangan agar Ralia menoleh ke arahnya. Melihat tatapan Dikta yang seperti menunjukkan ada orang di belakangnya, Alvan menoleh dan hanya mendapati pelayan yang tengah membelakanginya. Rambut diikat dan stelan yang tidak asing.

"Lia?" Lirih Alvan mencoba menebak kemungkinan, dan ketidakmungkinan.

"Ah malah kabur." Cetus Dikta mengeluh dan kesal sendiri. Alvan merasa hidangannya kurang, sehingga Ia beranjak dan berniat memesan roti khas cafe itu. Saat berasa di meja pemesanan, Alvan salah fokus pada sosok gadis yang memang ternyata adalah Istrinya. Terlihat Ralia tengah asyik mengobrol dengan seorang pelayan pria. Tawanya lepas, dan wajahnya memang sangat manis. Sangat jauh ketika sedang bersamanya. Ralia lebih banyak diam dan bahkan terlihat murung. Ralia melirik pada Alvan dan seketika senyuman itu pudar. Entah kenapa, dada Alvan terasa sesak melihat perubahan raut wajah Ralia hanya karena melihatnya. Ada rasa tidak rela di hatinya.

"Mas Alvan." Lirih Ralia begitu pelan. Alvan melihat gerakan bibir Ralia saat menyebut namanya. Alvan berlalu setelah pesanannya siap. Ia memilih membawanya sendiri karena tak ingin menunggu lama di meja. Nafsu makan yang semula meningkat, entah kenapa menjadi menghilang saat mengingat senyum Ralia pudar semudah itu.

Ralia yang diketahui bekerja shift 2, Ia belum pulang meski jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Harusnya Ia sudah pulang, namun karena ada sesuatu hal, Ia terpaksa pulang lebih lama. Namun yang membuatnya penasaran ialah bukan masalahnya, tapi keberadaan Alvan yang masih duduk di meja tempatnya memesan kopi. Dan ketika Ralia sudah siap pulang, Alvan berdiri dan mengajaknya pulang bersama. Ralia hanya mengangguk saja mengikuti apa yang diucapkan Alvan. Ia tak mau menambah masalah hanya karena membantah atau menolak.

"Besok aku mau ke luar kota selama 2 hari."

"Iya."

"Besok pagi, bisa buatin sarapan gak?" Sontak saja Ralia menoleh pada Alvan. Jelas Ia merasa heran karena Alvan tiba-tiba ingin dibuatkan makanan. Sedetik saja ada rasa senang dalam hati Ralia, namun perasaan itu hilamg saat tersadar mungkin Alvan malas membeli dari luar.

"Bisa Mas." Jawab Ralia mencoba agar tidak tersenyum lebih tulus. Ia menunjukkan senyum paksa yang membuat Alvan menahan kesal.

Waktu bergulir, semakin lama, Alvan menyadari perubahan fisik Ralia yang terlihat berbeda. Kulit yang awalnya sawo matang, kini terlihat menjadi kuning langsat. Wajah sedikit kusam, kini terlihat lebih bersih dan cantik. Meski tak secantik Dara, namun Ralia seakan memiliki kecantikannya sendiri.

Sudah satu bulan mereka menikah, dan masih terlihat seperti biasa. Yang berbeda, kini tatapan benci Alvan mulai berubah menjadi tatapan hangat. Bahkan tak jarang Alvan menunggu Ralia pulang meski sudah malam.

Namun, suatu ketika, Dara meminta Alvan untuk bertemu di tempat Ralia bekerja. Tentu saja Dara tak tahu jika Ralia bekerja di sana. Alvan yang hanya berpikir Ralia tak akan salah faham pun menyetujui permintaan Dara. Mereka bertemu dan mulai memesan hidangan. Ralia lagi-lagi bertugas menyajikan pesanan pada tamu. Tangannya mendadak lemas saat menyadari suaminya bersama dengan mantan pacarnya. Hampir saja Ralia menjatuhkan pesanan karena tremor. Namun Ia masih bisa mengendalikan tubuhnya. Perlahan Ralia meletakkan pesanan di hadapan Alvan yang menatapnya penuh arti.

"Oh... ternyata Istri kamu kerja jadi pelayan? Ibu kamu gimana sih Al? Cari pengganti aku tuh ya minimal model, atau pramugari gapapa. Ini? Pelayan? Al... aku gak nyangka ya selera kamu turun sedrastis ini." Ucap Dara begitu puas mencibir Ralia yang hanya tersenyum menanggapinya. Sakit? Jelas. Ralia menahan sakit di ulu hatinya mendengar hinaan Dara. Memang Ia tak sebanding dengan Dara yang cantik paripurna. Namun Ia juga tak seperti Dara yang hanya memanfaatkan kecantikan untuk menguras dompet pacarnya. Karena diabaikan, Dara merasa kesal sendiri sehingga Ia nekat menyandung kaki Ralia sampai gadis itu jatuh tersungkur. Tanpa diduga, Ralia bangkit dan menampar keras pipi Dara membuat Alvan terbelalak melihatnya.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!