Di pagi hari berikutnya, Alvan kembali mendapati Ralia tengah memasak di dapur, dan Ia mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya. Keluarganya sudah pulang setelah larut malam, sehingga Ia bisa leluasa berbicara sesuka hatinya.
"Mas. Sekarang kan Mas masuk kerja, setidaknya makan sedikit. Kalau Mas gak keburu sarapan gimana?" Kali ini Ralia memberanikan diri membujuk Alvan untuk makan bersamanya.
"Aku belum lapar." Ucap Alvan terdengar begitu acuh. Ralia hanya bisa menghela nafas berat dan kecewa menanggapi sikap Alvan. Ralia semakin bertekad untuk bekerja agar Ia tidak terlalu banyak bergantung pada Alvan. Sebelum Alvan berangkat, Ralia menahannya di ambang pintu.
"Mas.. aku mau kerja. Boleh?" Tanyanya meminta izin.
"Apa nafkah dariku kurang?" Sontak Ralia terhenyak mendengar pertanyaan Alvan tersebut. Ia menggeleng menampik hal yang dipikirkan Alvan terhadapnya. "Ini. Kalau kurang, bilang!" Ucap Alvan lagi seraya memberikan sebuah kartu di telapak tangan Ralia.
"Enggak Mas. Aku gak minta ini."
"Kamu gak minta? Hei Ra! Harusnya kamu bersyukur aku punya banyak uang, diluar sana banyak perempuan yang mau jadi istri aku buat ngabisin duit aku aja."
"Dan kamu bangga Mas? Dan apa Dara juga begitu? Jadi pacar kamu cuma karena uang kamu aja?"
"RALIA!" Teriak Alvan berhasil membuat Ralia menutup matanya dan bersiap jika Alvan mungkin akan memukulnya.
"Cih. Kalau bukan karena Ibu, aku gak akan...." Alvan tidak melanjutkan kalimatnya. Ia berdecih kemudian berlalu dari hadapan Ralia. Tubuh Ralia mendadak lemas seketika, Ia tak menyangka jika Alvan akan membentaknya hanya karena Ia membahas tentang Dara. Namun apa salahnya? Bukankah benar Dara mendekati Alvan karena uang?
Di meja kantornya, Alvan melamun menatap data pengeluaran satu tahun ke belakang. 400 juta, uang itu habis entah kemana. Tidak, bukan satu tahun. Tapi berkisar 5 bulan. Saat diingat, selama bersama Dara, Ia memang royal dan bahkan tak tanggung-tanggung liburan ke luar kota. Terlebih saat Dara berulang tahun, mereka liburan sampai ke Swiss. Ya.. Alvan yang memang sering tour ke luar negeri bersama team kantornya, sudah tak asing dengab negara-negara yang sudah Ia kunjungi. Tabungan Alvan untuk membeli tiket umroh dirinya dan sang Ibu, kini hanya tinggal rencana saja. Alvan termenung sendiri sampai Ia tersadar ketika meja kerjanya tiba-tiba digebrak seseorang.
"Hayo.... pengantin baru kok galau. Kenapa? Gak dikasih jatah ya?" Ejek Dikta dengan tawa khasnya.
"Diem lo. Ini gara-gara lo ya! Jadi salah ngomong kan."
"Eh loh kok gue sih? Lo yang nikah."
"Iya emang gue yang nikah, tapi gue ngikutin saran lo, tapi malah gue yang penasaran sama dia."
"Maksudnya? Lo... suka sama dia?"
"Ehhh enggak ya! Dilihat dari mana pun, dia jauh dibanding Dara."
"Ah Dara mulu lo... mantan jangan dibahas. Apa lagi lo udah nikah."
"Lagian gue heran sama nyokap, kenapa gak kasih aja si Ralia ke bang Theo. Dia juga kan belum nikah. Terus gue adiknya. Menurut lo, wajar gak sih gue ngelangkahin kakak, sama-sama cowok lagi! Kalo gue cewek sih wajar."
"Yaaa gue gak heran sih kalo lo yang disuruh nikah duluan. Habisnya lo tuh gak bisa milih pasangan apa gimana sih? Udah tahu Dara itu matre, masih aja dipelihara."
"Jaga mulut lo ya Ta! Lo ga ngerti. Gue udah terlanjur sayang sama Dara."
"Terus, kalo terlanjur sayang, lo bisa ngelawan restu Ibu lo? Enggak kan? Buktinya lo bersedia nikah sama orang yang gak lo sukai. Tapi gue penasaran sama istri lo. Kenapa nyokap lo ngotot nikahin lo sama dia."
"Ahhh pokoknya lo jangan ketemu deh. Nanti malah gue yang malu."
"Lah emang sejelek itu?"
"Yaa enggak jelek-jelek amat sih. Tapi kalau dibawa keluar, pasti malu-maluin."
"Makin penasaran gue."
Alvan tak menanggapi celotehan Dikta yang menurutnya tidak penting itu. Ia mendelik kemudian fokus pada layar ponselnya. Dahinya mengkerut mendapati pesan singkat masuk dari Istrinya.
[Mas, aku pulang sore ya, maaf.] Begitu isi pesan yang Ralia kirim. Alvan penasaran kemana gadis itu akan pergi, dan mengapa repot-repot memberitahunya. Ia masih merasa tak peduli meski sebenarnya ingin tahu kemana perginya Ralia.
[Mau kemana?] Balas Alvan tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
[Cari kerja.] Hanya begitu balasan dari Ralia. Mungkin Ralia merasa kesal karena tadi pagi Alvan membentaknya dan pergi begitu saja. Alvan tidak membalasnya, ia memilih untuk mengabaikan pesan terakhir Ralia karena Ia tak tahu harus bersikap bagaimana.
"Sial." Cetus Alvan mulai menyadari jika Ralia belum tahu kawasan tempat mereka tinggal. Bahkan Ralia belum tahu jalan mana yang harus dilewati saat pulang.
"Mau kemana Van?" Tanya Dikta saat Alvan tiba-tiba beranjak dan berlalu pergi dari ruangannya.
"Ada urusan." Jawab Alvan tanpa menoleh sedikitpun pada Dikta. Ia terus berjalan menuju tempat parkir, wajahnya hari ini datar karena terus terpikirkan kemana dan sudah dimana Ralia sekarang. Beberapa karyawan menyapanya dengan ramah, dan Ia hanya mengangguk tanda membalas sapaan mereka. Alvan masih dikenal sebagai pria lajang karena Ia tak memberitahu siapapun bahwa Ia menikah saat cuti kemarin. Hanya bos besarnya dan Dikta saja yang mengetahuinya, sebab Ia ingin menyembunyikan statusnya agar tidak mendapat ejekan rekan kerjanya.
Sebelum memasuki mobil, Alvan mencoba menghubungi Ralia sebelum Ia pusing mencarinya kalau Ralia tersesat.
"Kamu dimana?" Tanya Alvan setelah sambungan telepon terhubung.
"Aku... di depan lobby apartemen. Kenapa Mas?" Ralia balik bertanya karena Ia terheran mengapa Alvan menelepon dan menanyakan posisinya.
"Diam di sana, dan jangan kemana-mana!" Tegas Alvan kemudian memutus sambungan telepon. Hal itu membuat Ralia semakin penasaran akan sikap Alvan.
Hampir setengah jam Ralia menunggu, Ia melihat Alvan memasuki lobby dengan langkah yang tergesa. Alvan menghampiri Ralia yang sedari tadi duduk di sofa menunggu dirinya datang. Sebenarnya Ia tak tahu alasan kenapa Alvan menyuruhnya diam, namun Ia juga tak ingin Alvan kembali marah karena Ia tak menuruti keinginan Alvan.
"Mas. Kenapa ke sini? Bukannya kamu kerja?" Tanya Ralia semakin heran. Pikirannya langsung menangkap sinyal jika Alvan melarangnya pergi. Belum sempat melangkah, Alvan dikejutkan dengan kedatangan Nidia dan Theo dari depan pintu lobby. Alvan menghela nafas lega dan ia tersenyum melihat Nidia tampak berseri hari ini.
"Bu..." sapa Alvan langsung mencium punggung tangan Nidia.
"Kalian mau pergi?" Tanya Nidia menebak kemungkinan keduanya akan pergi karena mereka berada di lobby.
"Ohh emmm enggak Bu--"
"Iya bu. Kita akan pergi." Ucap Alvan menyela cepat jawaban Ralia dan langsung merangkul Ralia sehingga gadis itu terdiam seketika.
"Ya sudah. Ibu tunggu di apartemen kamu aja. Gapapa kan?"
"Gapapa Bu. Sandi kuncinya sudah aku kasih tahu ke Ibu kan?"
"Sudah." Nidia masih tersenyum melihat anak dan menantunya yang terlihat sangat dekat. Ia tak merasa khawatir akan keduanya yang mungkin menolak pernikahan ini. "Alvan..." lirih Nidia berubah sendu. "Alvan bahagia kan nikah sama Lia? Lia juga bahagia kan nikah sama anak Ibu?" Nidia langsung bertanya pada keduanya.
Ralia cepat mengangguk lalu menggandeng tangan Alvan untuk meyakinkan Nidia jika Ia bahagia. Hati kecilnya berteriak jika Ia hanya bahagia sendirian. Alvan tidak menerimanya. Ia hanya berpura-pura didepan Ibunya saja.
"Syukurlah." Lirih Nidia kembali tersenyum penuh kelegaan.
Setelahnya, Alvan dan Ralia berlalu tanpa tujuan yang pasti. Yang jelas, mereka menghindari Nidia dan berpergian hanya untuk memenuhi ucapannya agar tidak berbohong. Sampai di sebuah taman, Alvan terdiam di tempatnya menatap kosong pada objek di depan. Ralia pun sama, ia tak ingin berucap sepatah katapun. Niat hati ingin mencari pekerjaan, namun Ia malah terjebak pada situasi rumit seperti ini. Kalau Alvan di sampingnya, Ralia tak akan bisa mencari pekerjaan dengan leluasa. Tiba-tiba, ponsel Alvan berdering dan menampilkan nama Dikta. Sontak saja Ralia semakin enggan berbicara karena tak mau menambah situasi menjadi rumit.
"Lo dimana Van? Ini owner udah nungguin buat rapat." Ucap Dikta yang samar terdengar oleh Ralia.
"Astagfirullah. Oke oke gue ke toko sekarang."
"Bukan di toko Van. Tapi di kantor." Geram Dikta yang mungkin tengah menahan kesal karena Alvan tiba-tiba pergi dan belum juga kembali.
"Mas mau ke tempat kerja lagi?"
"Nganterin kamu dulu ke apartemen."
"Nggak. Gapapa Mas. Mas kerja aja kalau sibuk. Aku bisa naik taksi."
"Bener kamu bisa? Kalau nyasar gimana?"
"Enggak Mas. Asalkan ada alamat lengkap, aku gak akan nyasar."
"Bener ya! Nanti aku kirim ke nomor kamu alamat lengkapnya." Ralia mengangguk kemudian keluar dari mobil Alvan. Setelahnya, Alvan berlalu menembus jalanan yang lumayan padat meninggalkan Ralia yang tak tahu harus kemana.
Siang telah bergulir menuju waktu sore, Alvan keluar dari ruangannya dengan buru-buru tanpa melihat ponsel. Ia tak tahu apa yang sedang ia buru di apartemennya. Namun, sedari tadi Ia merasakan jika ponselnya terus berdering. Mungkin itu Ibunya yang ingin menanyakan kapan Ia pulang. Namun, diluar dugaan, sesampainya Alvan di apartemen, Nidia tiba-tiba memarahinya karena Ralia belum juga kembali ke apartemen. Saat Alvan melihat ponselnya, Ia memaki dirinya sendiri karena alamat yang susah Ia ketik ternyata belum terkirim juga. Sepertinya karena sibuk dan kalap sehingga Ia merasa kacau tak karuan.
Perasaannya kian kacau saat menghubungi Ralia namun ponselnya tak bisa dihubungi, dan Alvan tak ada akses GPS pada ponsel Ralia.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments