Malam semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Ralia belum juga menutup matanya. Ia merasa kenyataan ini tak bisa Ia percaya. Sebelumnya Ia sempat berpikir hal ini mungkin akan terjadi, karena memang Ia dan Alvan menikah bukan karena cinta diantara keduanya. Namun, Ralia kesal karena berpikir jika Alvan menerimanya hanya karena Alvan tersenyum padanya di malam lamaran itu. Dan ia kecewa karena berpikir Alvan menyukainya hanya karena Alvan selalu bersikap baik saat berkunjung ke cafe bersama Nidia, Ibunya.
Ralia menatap langit-langit kamar seraya meratapi kesedihannya. Meski tak terlalu sesak, namun Istri mana yang bisa menerima jika suaminya tidak berniat menyentuhnya? Ia sering membaca novel percintaan semacam ini, namun tak disangka, justru Ia mengalami hal yang Ia pikir hanya terjadi di dunia fiksi. Ralia meminta tidur di sofa karena Ia tak enak hati jika Ia yang hanya tamu tidur di ranjang, sedangkan pemilik apartemen malah tidur di sofa.
Sedangkan Alvan yang sedari tadi berbaring di tempat tidur dengan membelakangi Ralia pun mulai kesal karena ekspresi Ralia tak seperti yang Ia bayangkan. Ia pikir Ralia akan marah atau meminta cerai, justru Ralia terlihat biasa saja dan seakan tidak masalah jika Ia tak seperti suami pada umumnya. Alvan memaki sahabatnya, Dikta yang memberitahu cara ini agar bisa lepas dari Ralia. Ternyata gadis yang sekarang sudah menjadi Istrinya itu, tidak mudah dibodohi. Alvan mulai memutar otak, dengan cara apa lagi Ia harus membuat Ralia menggugatnya agar Ibunya tidak menyalahkannya nanti jika keinginan bercerai terucap dari mulut Ralia.
Paginya, Alvan tak menemukan Ralia dimana pun, Ia mencari-cari ke sudut ruangan, namun tetap saja gadis itu tak tampak batang hidungnya. Tak lama, Ia mengendus bau masakan dan seketika langsung beranjak dari posisi tidurnya. Benar saja, Ralia tengah memasak di dapur. Mungkin untuk mereka sarapan pagi ini. Dan ide gila muncul di pikiran Alvan agar Ralia merasa tidak betah hidup dengannya.
"Ra... kamu ngapain masak?" Pertanyaan konyol itu tak langsung dijawab oleh Ralia. Ia hanya melirik ke arah Alvan yang masih terlihat mengantuk tengah bersandar di tembok.
"Yaaa karena aku suka masak." Jawab Ralia lagi-lagi terdengar begitu santai.
"Aku gak akan makan di rumah. Hari ini aku mau ketemu sama Dara."
"Oh.. yaudah." Hanya begitu tanggapan Ralia. Alvan tak habis pikir. Ia yakin jika Ralia menyukainya sejak lama, tapi kenapa sikapnya sangat berbanding terbalik setelah menikah.
"Permainan apa yang kamu mainkan Mas? Kamu bersikap seolah kamu menyukaiku sebelum menikah, tapi sekarang, kamu terang-terangan mau bertemu dengan mantan kamu. Yaa Allah... apakah ujian menikah memang seperti ini? Apa aku sanggup menghadapi Mas Alvan yang ternyata masih berhubungan dengan Dara." Batin Ralia masih fokus pada alat masak di depannya.
Menjelang siang, Alvan benar-benar pergi. Ralia duduk lemas di meja makan menatap masakannya yang tak sedikitpun disentuh oleh Alvan. Ralia menunduk dan menopang kepalanya dengan tangan. Semakin lama, bahunya berguncang pelan tanda Ia menangis pilu.
"Mamah... Lia mau pulang." Lagi-lagi Ralia membatin dalam hati. Baru dua hari menjadi seorang istri, namun Ralia sudah merasakan kepahitan rumah tangga. Ia pikir menikah dengan orang yang dicintai akan bahagia, ternyata jauh dari kata bahagia. Ralia memaksakan dirinya untuk memakan sedikit hidangan yang Ia buat.
Tepat di tengah hari, setelah adzan dzuhur berkumandang, Ralia cepat-cepat mengambil wudhu. Ia segera melaksanakan shalat dzuhur dan berdoa agar diberikan kemudahan dalam menjalani rumah tangga dengan Alvan.
Belum sempat melepaskan mukenah, Ralia mendengar seseorang memanggil namanya. Ya, dia adalah Alvan. Saat Ralia memasang senyum menyambut Alvan, senyum itu pudar saat melihat di belakangnya muncul sosok wanita cantik dan anggun menghampirinya.
"Oh ini ya Ralia." Ucapnya terdengar seperti sebuah ejekan secara tidak langsung. Entah kenapa, tatapan Dara seperti tengah merendahkannya saat ini. Ya, Ralia akui dia sangat jauh berbeda dengan Dara yang memiliki paras cantik, kulit putih, dan penampilan modis. Hati Ralia kembali membatin kenapa Alvan membawa wanita ini ke apartemen? Apa dia ingin membandingkan Dara dengan Istri yang dianggap biasa olehnya?
"Aku Dara. Mantannya Alvan. Ternyata...." Sontak Alvan langsung menatap Dara dengan tatapan menusuk. Mungkin Alvan merasa tidak enak hati pada Ralia atas ucapan Dara. Namun, tanpa diduga, Ralia kembali tersenyum dan memperlihatkan wajah tenangnya di depan Alvan.
"Ohhh ini yang namanya Dara. Cantik ya! Pantas saja Mas Alvan gak bisa move on." Cetus Ralia berhasil membuat Alvan terkejut dan bahkan menarik Ralia memasuki kamar, dan meninggalkan Dara sendirian di ruang tamu.
Dara penasaran apa yang tengah dibicarakan Alvan dan Istrinya.
"Apa sih Mas. Sakit tangan aku." Keluh Ralia setelah genggaman Alvan terlepas.
"Kamu ngomong apa sih?" Tanya Alvan dengan sorot mata menahan kesal dan suara yang ditahan agar Dara tidak mendengar.
"Ya kenyataan... Mas kan memang belum move on."
"Tapi ga gitu."
"Ya udah, kalau aku yang salah, aku minta maaf. Maaf ya Mas Alvan." Melihat Ralia yang bersikap tenang di depannya, Alvan memilih berlalu dan membawa Dara kembali ke luar.
"Alvan. Pelan-pelan jalannya!" Tegur Dara yang tak bisa mengimbangi langkah Alvan.
Diwaktu yang sama, Ralia menjatuhkan tubuhnya di ranjang dan menahan sesak di dadanya. Pikirannya kacau namun harus dipaksa tetap sadar. Ingin Ralia kabur sekarang juga, namun Ia teringat pada Ibu mertuanya yang sangat menerima dirinya dengan tulus.
Malamnya, Ralia kembali memasak untuk makan malam, Ia mendapat kabar jika keluarga Alvan akan datang setelah Isya ke apartemennya. Ralia memasak makanan kesukaan mertuanya dan berharap iparnya pun bisa menyukainya. Meski yang terlihat sudah akrab hanya dengan Gio dan Theo saja.
Dan benar saja, saat seluruh keluarga datang, hanya Karisa yang tidak menyapa Ralia. Tatapannya sangat memperlihatkan tidak suka. Ralia hanya mengobrol dengan Nidia saja. Ia merasa nyaman jika mertuanya menemaninya. Dan saat mereka hendak makan, Karisa enggan duduk ketika melihat menu yang menurutnya tidak sedap.
Karisa Lavina. Putri kedua Ibu Nidia yang kebetulan dia adalah seorang wanita karir yang sukses. Ia bekerja di salah satu bidang bisnis yang tidak dikatakan secara rinci oleh Nidia sendiri. Hanya segelintir orang yang tahu siapa Karisa Lavina. Bukan hanya keberhasilannya yang sukses, diketahui pacar Karisa pun berprofesi sebagai pilot di salah satu maskapai di Indonesia. Jelas saja sikapnya yang keras kepala, kini semakin angkuh dan menganggap rendah orang lain. Gaya hidup mewah yang dijalani Karisa, justru membuatnya semakin tidak punya etika. Sempat beberapa tahun yang lalu, Ia dipergoki Gio meninggalkan Ibu mereka ditengah-tengah gelapnya malam dipinggiran kota Bandung. Sejak saat itu, Gio dan Karisa tidak pernah lagi mengobrol. Hanya bertegur sapa sepatah atau dua patah kata saja. Setelahnya, mereka kembali saling berdiam diri. Seperti sekarang, Karisa terus mengoceh menyindir Ralia yang tak masuk kriteria adik ipar bagi dirinya.
Pada akhirnya, Karisa memesan makanan dari luar dan Ralia kembali menggigit jari karena masakannya tidak disentuh oleh Karisa sama sekali. Gio dan istrinya, serta Theo mengambil sedikit yang mungkin untuk menghargai usaha Ralia yang sudah repot-repot memasak untuk mereka. Siapa sangka, niat ingin mencicipi, Theo justru menyukai masakan Ralia sampai Ia tak segan menambah porsi makannya. Alvan melirik sinis pada Ralia yang terlihat senang melihat Theo yang lahap makan di depannya.
Jujur, Ralia ingin menangis saat itu, namun melihat Theo yang menghargai usahanya, Ia merasa sedikit lebih tenang. Jika Karisa tidak menganggapnya keluarga, setidaknya masih ada Nidia dan Theo yang menganggapnya ada. Biarpun Karisa membencinya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments