Bab 4

Alvan menyusuri setiap jalanan yang sebelumnya Ia lewati dengan Ralia, hingga sampai taman dimana mereka berhenti, Ralia tetap tak ada di sana. Kemana gadis itu pergi? Jalanan di sini banyak percabangan, jika tak hafal, resikonya tersesat. Alvan terduduk di sebuah kursi di pinggiran taman, Ia mencoba menghubungi Ralian, namun ponselnya masih tidak bisa di hubungi.

"Ponselku mati. Gimana aku ngabarin Mas Alvan? Ah dia pasti marah nanti." Keluh Ralia sudah merasa lemas duduk di sebuah kursi cafe yang tak jauh dari taman. Mungkin heran karena melihatnya gelisah, seseorang tiba-tiba menghampirinya dan menawarkan bantuan.

"Maaf sebelumnya, kamu cari sesuatu, atau butuh sesuatu?" Tanya Dikta dengan seramah mungkin.

"Ini... anu Mas, emm kak. Saya mau pulang, tapi salah alamat. Terus ponsel saya juga mati. Kakak bawa charger gak?" Ralia pun begitu sopan dan ramah. Mungkin memang sudah bawaannya Ia terlihat menarik karena sikapnya, sehingga Dikta hanya tersenyum tipis mendapati sikap Ralia tersebut. Lucu. Satu kata yang tersirat di benak Dikta.

"Kak.." panggil Ralia sekali lagi. Dikta tersadar pada panggilan Ralia yang ternyata sudah ke 4 kalinya.

"Eh.. iya sebentar... rasanya aku bawa di mobil." Ucap Dikta seraya berlalu dari hadapan Ralia. Tak lama, Dikta kembali dengan membawa charger yang diminta Ralia.

"Apa ini cocok?" Tanya Dikta terlihat antusias, khawatir, dan penasaran menjadi satu. Ralia tersenyum dan menggeleng pelan.

"Saya pakai android." Ucapnya dengan suara yang pelan. Mungkin Ralia merasa malu dan insecure mendapati charger yang berbeda dari miliknya. Ia tahu betul merek apa ponsel yang Dikta gunakan.

"Oh... tapi biasanya di kasir suka ada. Mau saya--"

"Gapapa kak. Jangan repot-repot. Saya ke taman aja. Barangkali saya ketemu lagi sama..." Ralia tidak melanjutkan kalimatnya saat Ia melihat Dikta seperti tengah mendapati panggilan telepon

"Hallo." Dikta memulai obrolannya seraya memberi kode pada Ralia 'sebentar ya!' dengan isyarat tangan.

"Di cafe biasa." Setelah mengatakan itu, Dikta menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Ralia yang merasa tak nyaman pun memilih beranjak dan berpamitan pada Dikta. Semula Dikta ingin menahan agar Ralia tetap di sana, namun pesan dari Alvan membuatnya kalah dan mengurungkan niatnya.

Alvan sudah kesal sendiri di dalam mobil, Ia melajukan mobil dengan sangat pelan. Sejujurnya Ia ingin berteriak saat itu juga. Apa lagi mengingat wajah marah Ibunya, Ia tak bisa menahan emosi. Saat Alvan melirik ke arah trotoar, Ia melihat gadis yang sangat Ia kenali tengah duduk di bangku sana dengan mengelus seekor kucing jalanan namun terlihat bersih. Alvan menepikan mobil lalu menghampiri Ralia di sana. Terlihat pula Ralia meraba perutnya dan wajahnya terlihat menahan sakit.

"Mas..." lirihnya tak kuasa berdiri karena lemas. Saat di cafe pun Ia sudah gemetaran karena belum makan semenjak pagi tadi.

"Kamu dari mana saja hah?" Meski menekan, namun nada bicara Alvan masih terdengar pelan. Terdengar deru nafasnya yang menahan kesal. Ralia tahu Alvan pasti ingin memarahinya sekarang, namun bisa di sembunyikan saat melihat kondisi Ralia yang kesakitan.

"Maaf..." lirih Ralia kali ini dengan terisak pelan. Entah karena rasa sakitnya, atau karena Alvan yang marah padanya. Yang jelas, Ralia sudah tak bisa menahan air matanya yang sedari tadi memaksa ingin keluar.

"Kamu bisa jalan gak? Perut kamu kenapa?" Tanya Alvan masih dengan nada pelan. Ralia mengangguk dan memaksakan tubuhnya agar bisa bergerak dan berjalan setidaknya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya duduk. Alvan menyipitkan matanya saat melihat tangan Ralia gemetaran hebat menggenggam tali tasnya. Karena tak ingin disalahkan lebih jauh, Alvan menggendong Ralia menuju mobil. Ia tak peduli dengan semua mata yang menatapnya dari tatapan heran, kagum, bahkan mencibir karena tindakannya.

"Mas... turun!" Pinta Ralia tak didengar oleh Alvan.

"Buka pintunya." Titah Alvan segera dituruti oleh Ralia. Alvan menurunkan Ralia tepat di atas kursi mobil dan Ia langsung memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu, Alvan memutari mobil dan masuk ke kursi kemudi. Ia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

Sampai di apartemen, Alvan langsung membawa Ralia karena Ia menyadari jika Ralia sudah tak bisa berjalan sendirian. Nidia tak bisa menahan dirinya saat melihat Ralia lemas di pangkuan Alvan.

"Yaa Allah Ralia... kamu kemana aja nak? Kamu gapapa kan? Maafin Alvan ya!" Mendengar ungkapan Nidia, Ralia sebenarnya ingin menanggapi, namun Ia tak bisa untuk sekedar menganggukkan kepala. Alvan menidurkan Ralia di atas ranjang, dan menyimpan tas Ralia di atas nakas. Ralia mengangkat tangannya dan Ia meremas-remas jarinya agar tak terus gemetar.

"Nak... minum dulu ya!" Ucap Nidia dengan menyodorkan segelas air kepada menantunya itu. Ralia menerima dan Ia terlihat kesal karena tangannya masih gemetar dan hampir menumpahkan air yang ada di dalam gelas.

"Sini Ibu bantu." Nidia ikut menggenggam gelas di tangan Ralia dan meminumkannya sedikit. Sepertinya anak itu tidak mau terlalu banyak meminum air.

"Bu... kayaknya dia belum makan." Seru Theo yang mengetahui gejala penyakit lambung.

"Alvan belikan makan ya Bu."

"Gak usah. Kakak kamu aja." Balas Nidia cetus. Alvan hanya bisa menghela nafas berat karena Ibunya yang marah akibat Ralia tidak pulang. Baru begini saja, Ia sudah dicampakkan Ibunya, bagaimana kalau mereka cerai? Pikir Alvan mulai menyesali kesalahannya. Melihat Theo berlalu, Alvan segera bersimpuh di depan Ibunya yang kini duduk di ranjang. Alvan meraih lutut Nidia dan menunduk di sana.

"Maafin Alvan Bu. Ibu jangan marah, apa lagi nangis karena kesalahan Alvan. Alvan janji akan jaga Ralia. Asal Ibu gak marah lagi sama Alvan." Ucapnya dalam tangis yang tertahan.

"Harusnya kamu pikir, Lia itu belum tahu kawasan tempat kamu tinggal ini. Minimal kasih dia alamat kalau emang kamu gak mau nganterin dia pulang. Bukan malah ninggalin dia di luar. Kalau gak ketemu gimana? Kamu mau minta maaf seribu kali pun, Ibu gak akan maafin kamu." Lirih, namun terdengar begitu tegas. Nidia melirik Ralia yang sudah menutup matanya. Mungkin Ia menghindari rasa sakit dengan tidur, atau pura-pura tidur.

15 menit berlalu, Theo membawa makanan yang diminta Ibunya. Ralia Ia bangunkan dan Ia suapi dengan penuh perhatian. Entah kenapa, Alvan semakin membenci Ralia karena sikap Ibunya yang begitu menyayangi Ralia. Ia berpikir jika Ralia sudah merebut kasih sayang Ibunya. Theo mengerti akan tatapan Alvan pada Ralia tersebut, Ia menggeleng dan menatap nanar pada gadis yang kini menjadi adik iparnya itu.

"Kalau saja aku tahu hidupnya begini setelah menikah dengan Alvan, aku mungkin orang pertama yang akan menggagalkan pernikahan mereka kemarin." Batin Theo.

Ketika malam semakin larut, kondisi Ralia sudah membaik. Namun Ia tak mendapati siapapun di kamarnya setelah Ia membuka mata dari tidurnya. Ralia beranjak dan hendak mengecek apakah Ibu mertuanya masih ada di apartemen atau tidak. Saat Ralia memegang gagang pintu, Ia sayup-sayup mendengar obrolan Nidia dan kedua anaknya.

"Kan Ibu tanya dulu ke kamu Van, kamu siap gak kalau nikah sama wanita pilihan Ibu? Kan kamu jawabnya terserah. Kamu bilang pilihan Ibu pasti baik buat kamu, tapi sekarang kamu bersikap seolah kamu nyalahin Ibu. Kamu juga tahu kenapa Ibu nyuruh kamu nikah duluan daripada kakak kamu. Kamu itu selalu salah milih perempuan, dan Ibu lebih percaya sama kakak kamu."

"Kakak kakak kakak terus." Kekesalan Alvan tak bisa disembunyikan, Ia sudah muak dibandingkan dengan Theo dalam hal apapun.

"Bisa diem dulu gak? Ibu lagi ngomong!" Tegur Theo sama-sama kesal melihat sikap Alvan yang tidak sopan.

"Kenapa gak lo aja sih kak yang nikah sama dia? Lo kan tahu gue udah punya Dara." Ucap Alvan masih bernada kesal.

"Ibu gak mau tahu ya Alvan. Kamu jangan ada hubungan apapun lagi sama Dara. Kamu udah nikah sekarang. Kamu harus jaga Ralia, kalau Ibu tahu kamu gak bisa jaga amanah, kamu gak akan dapat ridho dari Ibu."

Hening. Setelah perdebatan itu, suasana di luar kamar sangat sunyi. Ralia memilih kembali ke ranjang karena mungkin Ibu dan Theo sudah pulang. Benar saja, tak lama dari itu, Alvan masuk ke dalam kamar dengan marah. Pintu dibanting keras sampai Ralia pun terhenyak karena terkejut. Alvan melirik sinis pada Ralia sesaat kemudian berlalu begitu saja. Ralia meraih dadanya yang mendadak sesak.

"Sesakit inikah Yaa Allah." Lirihnya meratapi kesedihan rumah tangga yang ternyata tidak Alvan harapkan.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!