Peluk di bulan Mei

Semua orang tahu Andira kita adalah sepasang sandal, yang sedang melangkah dengan kaki yang sama. Media tersebut, cukup untuk menggambarkan kebersamaan kita. Aku tahu kamu terkadang, suka marah kalau aku sering berbuat salah. Langkah kaki ini, sering tersandung dengan masalah dan juga musibah. Kamu yang selalu berusaha menguatkan dan menabahkan hatiku.

Terkadang keinginanmu yang sederhana, aku sering tidak bisa menuruti. Semenjak waktu itu, kamu melakukan kesalahan. Kamu justru terasa asing untuk aku kenal. Kamu lebih mudah mengalah, tidak seperti zaman kita SMA dulu, kamu cenderung menyalahkan dirimu sendiri sekarang ini. Padahal tidak sepenuhnya salahmu juga ada yang beda dalam dirimu. Terkadang aku harus mengatur ritme sikapmu, kadang kamu menjelma orang yang egois sekali dan tiba-tiba suka mengalah di kala perdebatan itu menghampiri kita.

Aku sudah berupaya penuh, untuk tidak menjanjikan apa pun untukmu selama dua tahun belakangan ini Andira. Katamu aku adalah pria yang romantis, sering membuatmu terenyuh dengan kata-kata bijakku. Tentu semua itu, karena kekeringanku merangkai kata saja Andira. Maka ucapan yang kulontarkan kepadamu muncul tiba-tiba dalam otakku secara spontanitas. Andai kata aku tidak menyukai hobiku ini, mungkin aku hanyalah pria biasa pada umumnya. Hanya melontarkan ucapan rayuan receh, yang lumrah pria bicarakan. Makanya, aku terkesan berbeda dan lebih puitis dalam berbicara. Seringkali, aku mengirimkan kata-kata romantis dalam pesan singkatku untukmu Andira.

Padahal, aku merasa pria itu tidak seharusnya banyak berkata-kata. Harusnya melalui tindakan juga.

Namun, dengan pembelaanmu terhadapku, bahwa aku adalah pria yang unik yang pernah kamu miliki justru aku merasa terbebani. Entahlah, Andira ataukah memang itu hanyalah kalimat penenang atau kalimat sarkas buatku. Kamu takut membuatku tersinggung, dengan pernyataan-pernyataan wanita pada umumnya. Sebenarnya, ucapan mereka memanglah benar adanya Andira. Kamu seharusnya mendukung argumen wanita feminis dan ada beberapa juga yang tidak kamu dukung. Sebab, mereka manusia biasa juga tentu mereka ada kalanya salah bicara dan juga berpikir.

Andira memang sejauh ini, aku tidak pernah mau membawamu ke masa laluku. Karena itu, penuh risiko juga, aku takut kamu salah paham mengenai masa laluku itu. Sejujurnya ingin sekali, aku berkata jujur mengapa aku bisa menjadi pria yang unik untukmu. Waktu lalu di saat SMA, tepatnya kelas satu aku pernah menyukai salah satu wanita di sekolah kita tanpa sepengetahuanmu.

Aku sangat mengaguminya, karena memang dia wanita cantik, pintar dan ramah di sekolah. Aku sempat ingin mengatakan kepadanya tentang perasaanku ini, walaupun terlambat menyatakan cinta dan justru aku bertemu denganmu Andira. Namun, tidak menjadi masalah bagiku, pria harus pantang menyerah. Hingga semasa SMA, aku masih menyukainya, meski aku sudah menjadi kekasihmu. Andaikan aku jujur, kamu pasti marah dan cemburu pastinya. Makanya aku lebih memilih menyembunyikan saja sampai saat ini, agar terhindar dari keributan dan menghindari sekali perdebatan.

***

Malam ini aku mengajakmu, untuk kencan pertama kita setelah balikan. Sudah lama aku tidak mengajakmu bercengkrama dengan pekatnya malam kota ini. Kota sejuta harapan, bagi sebagian orang. Lampung adalah kota besar di ujung Pulau Sumatera. Banyak berbagai orang pendatang, mengadu nasib di sini. Bahkan di kota ini penduduknya mayoritas dihuni suku pendatang. Entahlah di kota ini juga aku menggantungkan harapanku di sini, aku berharap impianku terwujud bersama denganmu juga Andira.

“Assalamualaikum, Andira. Kamu nanti malam sibuk enggak, Sayang?” ucapanku, di balik layar handphone.

“Walaikumsalam, Han. Hmmm ... kayaknya enggak deh, Sayang. Memangnya kenapa, Sayang?” balasmu heran dengan sikapku yang aneh sore hari ini di balik telepon.

“Ya, pengen aja sih, Sayang. Nanti, malam keluar yuk!”

“Tumben banget, Han. Mau keluar ke mana?” tanyamu dengan nada serius dan penasaran di balik telepon.

“Pokoknya rahasia, Sayang. Nanti, juga kamu tahu ke mana, aku bakal bawa kamu ke tempat yang indah. Kamu jangan lupa siap-siap! Kamu ‘kan kalau dandan lama banget.”

“Ya, namanya wanita, Han. Baiklah, aku tutup dulu teleponmu. Aku masih ingin menyelesaikan tugas kuliahku sedikit lagi mau kelar.”

“Oke, Sayang. Semangat!”

***

Andira setiap kali, aku menatapmu lebih dalam. Aku melihat sepasang matamu dengan penuh kerahasiaan. Tidak pernah, aku bisa jejaki sedikitpun. Mungkin, dalamnya palung lautan mampu terukur, tetapi matamu berserta hatimu sulit untuk kujangkau. Seharusnya kamu tahu, bagiku kebahagiaan itu, ibarat lautan. Namun, aku tidak mampu menyelam lebih dalam lagi Andira.

Bagiku bersamamu teramatlah samar-samar untuk kupikirkan serta kubayangkan. Maka izinkanlah aku berpuisi untukmu, entahlah berapa puisi berhasil aku ciptakan. Tentang bagaimana sulitnya mempertahankan hubungan ini, yang masih titik abu-abu. Andira seringkali aku mengecewakan teman-temanku Rohid dan juga Raka, hanya untuk quality—time bersamamu, serta aku dipaksa on—time membalas pesanmu.

Mereka sering mengajakku nongkrong di warung kopi atau di tempat lainnya dan aku menolaknya jika aku tidak sempat. Kamu pasti tahu aku bisa menghabiskan waktu di sana berjam-jam, hanya untuk bersenda gurau dengan mereka. Padahal waktu lalu, di saat kamu menghianatiku merekalah yang selalu ada untukku suka dan duka. Sejujurnya mereka tidaklah setuju, atas keputusanku menerimamu lagi, tetapi apa mau dikata aku masih sayang kepadamu.

Kamu harus mengerti hubungan akan hancur bukan semata-mata hadirnya orang ketiga, tetapi robohnya kepercayaan di antara kita. Bisa jadi suatu saat nanti, kamu tidak lagi mempercayakan hatimu lagi padaku, hingga pada akhirnya kamu menitipkan hatimu dengan pria lain. Dan akhirnya aku berusaha menutupi itu, supaya hubunganmu dengan teman-temanku tidaklah hancur. Biarlah hubungan kita yang sempat hancur, aku tak ingin mengorbankan orang lain. Tidak seharusnya, orang ikut masuk dalam komitmen yang kita jalani dengan serius ini. Hal terpenting adalah menjaga komitmen ini tetap kondusif dan pada akhirnya kita tetap sepakat membangun dan selalu mencoba se—ia sekata dalam melangkah bersama.

***

Matahari mulai terbenam ke ufuk barat. Andira kamu tahu aku sangat menikmati proses terbenamnya matahari, yang biasa anak indie sebut menikmati siluet senja. Setiap hari aku selalu melakukan kebiasaan anehku. Bahkan, kamu sendiri tidak mengetahui kebiasaan, yang menjadi rutinitas keseharianku. Sebagai terapi, karena penatnya melakukan aktivitas seharian utuh. Sambil menunggu malam, aku membuat secangkir kopi di depan teras rumah. Menunggu kencan pertama kita, rasanya seperti awal kita bertemu. Padahal, kita sudah sering bertemu, tentunya ada rasa gugup yang bersemayam dalam dadaku. Aku pun duduk dengan santainya, layaknya seorang Bapak-bapak menunggu istrinya kelar memasak untuk hidangan makan malam keluarganya.

Aku begitu antusias sekali, mengajakmu kencan malam ini. Entahlah apa kamu merasakan hal sama denganku. Kata Orang jika ada anak muda sedang jatuh cinta, mereka beranggapan apa yang dia lakukan dan rasakan semua terasa sama, padahal kenyataan tentu tidak. Menurutku itu, hanyalah statment mereka saja. Misalnya begini aku lapar ingin memakan mie kamu pun juga lapar, tetapi enggak akan mungkin kamu juga mau memakan menu yang sama.

Kamu bisa makan bakso, seblak, nasi goreng, soto dan lain-lainnya Andira. Aku tahu kamu suka sekali ngemil jajanan, tetapi lucunya kamu fobia obesitas. Padahal berat badanmu menurutku biasa saja kamu memang suka yang perfectionist, sedangkan aku orangnya simpel dan sederhana.

“Assalamualaikum,” ucapku di balik pintu rumahmu.

“Waalaikumsalam ... eh, Raihan. A—ayo masuk dulu!” ucap ibumu mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah, meski aku menolaknya secara halus.

“Terima kasih, Bu. Aku di sini aja nungguin di teras, Bu. Oh, ya Andiranya ke mana, Bu?”

“Oh ada, Han. Dia masih siap-siap, katanya sih mau pergi malam ini, Han. Ibu juga enggak tahu mau ke mana, Han,” balas Ibumu dengan wajah ramahnya.

“Mau pergi sama Raihan, Bu. Sekalian mau izin sama Ibu, kita mau ke luar sebentar. Kalau Bapak ada enggak, Bu?” tanyaku meminta izin kepada orang tuamu.

“Boleh, Han. Tapi ingat jangan malam-malam, ya pulangnya! Kebetulan Bapak masih ada lembur kerja jadi agak telat sampai rumah, Han,” balas Ibumu memperbolehkan.

“Baik, Bu. Raihan dan Andira bakal pulang tepat waktu.”

Sambil menunggumu dandan, aku pun memutuskan untuk scroll beranda sosial mediaku. Ibumu juga membuatkanku, secangkir teh tarik yang konon katanya bila meminumnya tenggorokan akan terasa ditarik kenikmatannya. Kemudian aku senyum-senyum sendiri membaca status teman Facebookku, yang menurutku cenderung lucu dan unik. Tapi, enggak masalah memang kadar kebahagiaan seseorang memang berbeda-beda Andira, jadi aku memaklumi dan menghargai perbedaan konsep.

“Raihan, a—ayo berangkat! Aku udah siap nih, Sayang,” ucapmu tanpa aku sadari kamu sudah tepat di depanku.

“Eh, Sayangku. Kamu mau ke mana? Cantik banget hari ini.”

“Ish ... gombal kamu mah. Katanya, kamu ngajak aku jalan. Terus jadi enggak?” balasmu dengan wajah tersipu malu dan terlihat salah tingkah.

“Iya jadi dong, Andira. A—ayo kita berangkat!”

“Oke, Han. Kamu duluan aja! Aku mau pamit sama Ibu sebentar.”

“Baiklah, Andira. Aku tunggu di motor!”

Malam ini, aku mengajakmu ke sebuah

tempat yang belum kamu singgahi sekalipun. Tempat itu, aku sebut dengan Bukit harapan, tempat di mana kamu dibuat bingung dan takjub dibuatnya. Sebab, keindahan kota Lampung di malam hari bisa kita lihat dari sini. Aku sering menghabiskan satu jam penuh, duduk termenung sambil melamun. Aku sering menulis sebuah cerita pendek di sini dan semua muncul secara liar ke dalam otakku. Aku melihat wajahmu bahagia semringah dan antusias sekali di saat kita akan menuju ke tempat itu.

“Kamu mau ajak aku kencan ke mana, Han? tanyamu saat kuboncengi menyusuri jalan setapak gang rumahmu.

“Hmmm ... ada deh, Sayang. Nanti, juga kamu tahu tempatnya!”

Hingga pada akhirnya, kita pun sampai ke Bukit harapan itu. Aku mengajakmu duduk di tepi Bukit, menunjukkan hal menakjubkan yang belum sekalipun kamu lihat selama hidupmu. Tempat yang bakal mengingat masa-masa kebersamaan kita dan pastinya kamu akan mengingat ini Andira. Kamulah wanita pertama yang aku ajak ke tempat ini, sejujurnya aku takut pilihanku salah dengan mengajakmu ke sini. Aku takut jika kita berpisah, aku tidak lagi menyukai tempat ini.

“Sayang ... tempatnya bagus banget, ya,” ucapmu sambil memegang tanganku dengar erat

“Iya ini adalah tempat favoritku nongkrong sendirian di sini, Andira.”

“Kenapa baru sekarang kamu ajak aku ke sini, Han? Sungguh tempat ini, sangatlah indah untuk dilewatkan.”

“Iya sengaja aja sih, Andira. Aku Cuma takut kamu enggak suka tempat ini.”

“Kata siapa, Han? Aku suka banget tempatnya bagus dan suasana tenteram untuk mendamaikan diri. Ah, kamu mah ngeselin selama ini enggak pernah ajak aku ke sini,” balasmu dengan wajah cemberut, tetapi tetap saja cantik.

“He he maaf, ya, Andira. Lain kali aku ajak kamu ke sini lagi.”

“Bener iya janji, Han. Awas aja! Kalau kamu enggak ajak aku ke sini lagi.”

“Hayo ... awas apa, Sayang?”

“Aku ngambeklah pokoknya sama kamu, Han.”

“Ha-ha ya deh, Andira. Aku janji bakal ajak kamu, kalau aku mau ke sini lagi. Oh, ya, kamu enggak kedinginan?”

“I—iya dingin banget, Han. Aku malah lupa bawa jaket,” balasmu sambil memeluk dirimu sendiri, mendadak hawa dingin itu menyeruak ke dalam tubuhmu.

“Aku juga lupa bawa, Sayang. Kalau kamu kedinginan peluk saja aku!.”

“Emangnya kamu mau, lalau aku peluk dengan kuat, Han?” ucapmu dengan tatapan yang begitu dalam.

“Bo—boleh sih, Andira. Iya, Cuma aku bisa sesak nafas nantinya.”

“Baiklah, Sayang. Coba kamu ke sini! Lebih dekat lagi di sampingku,” ucapmu menggodaku dan mulai meraih kedua tanganku.

Malam pun kian pekat hitamnya, suasana romansa menghiasi bukit ini, aku dan kamu yang menjadi kita. Tidak ada satu pun pikiranku untuk melepaskan eratnya pelukmu. Aku takut kamu kedinginan. Maka izinkanlah, aku memelukmu lebih kuat lagi Andira. Mengajakmu ke tempat ini, bukan semata-mata mencari kesempatan dalam kesempitan. Aku hanya ingin mengajakmu menemukan hal baru dalam hidupmu. Aku mengajakmu ke tempat ini, tidak ada niatku yang buruk kepadamu Andira. Aku tetaplah yang dulu kamu kenal, tetap menjaga kehormatanmu dan tidak ada niatku merusakmu.

“Kita berhak membangun perasaan berkali-kali, sebab jatuh hati tidaklah menarik untuk dibahas.”

-Rohid Bachtiar

Terpopuler

Comments

Penulis Buku

Penulis Buku

nicee

2024-01-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!