Bulan yang cukup sulit bagiku bagaimana tidak, segala usaha kutempuh dengan sekeras-kerasnya. Meskipun, keadaan memaksaku untuk melunakkannya. Sebenarnya ingin sekali merangkak lebih maju, tetapi keadaan menolaknya untuk nanti dulu. Aku bingung dengan segala harapan-harapan yang kuciptakan sendiri, tetapi hasilnya di ujung kegagalan. Aku sudah berusaha dengan segala kemampuan, hasilnya membuatku mundur perlahan. Naskahku ditolak oleh berbagai penerbit mayor, tidak layak dan tidak masuk kriterianya. Aku termenung duduk di depan rumah dengan menyeruput segelas kopi robusta. Aku sempat ingin mengubur dalam-dalam, keinginanku sebagai seorang penulis. Tapi, jika berhenti rasanya sayang juga aku sudah sampai di titik ini.
Makin hari aku pun kian terbebani, dengan ucapan orang sekitar. Bahkan, orang tua sempat menasihatiku untuk berhenti menulis dan jangan terlalu memaksakan kemampuan, sebab hanya kekecewaan yang kini kudapatkan. Namun, aku orang yang sangat keras dan bebal. Tidak semudah itu, aku mengalah dengan keadaan. Sungguh, rasanya tak enak di kala semua mulai mengendur dukungannya. Bukan tak mungkin, hanya dirilah yang mampu mendukung keinginan diri sendiri. Bahkan, Andira juga ikut serta meragukan segala impian-impianku. Tidak seharusnya, kegundahan di dada kupendam sendiri. Aku harus menulisnya dalam sebuah cerita, yang kurangkai dengan diksi secara otodidak.
Aku pun mulai menyadari, tidak akan tuntas jika hanya berdiam diri. Tanpa adanya usaha keras dan juga doa keluarga. Tapi, sulit juga mendapatkan restu orang tua. Mereka juga khawatir, jika aku gagal terus menerus. Maka, aku akan terbebani menjalani hari juga, aku banyak melamun setiap harinya. Aku lakukan itu, karena tidak percaya dengan segala hasilnya. Padahal aku sudah menulis cerita sebaik-baiknya, tetapi editor menyarankan aku untuk belajar lagi. Aku pun ingin melecut lebih semangatku kembali meski itu sulit untuk kuterima.
***
“Han, kenapa kamu banyak melamun?” ucap Bapak membuka obrolan, tiba-tiba berada tepat di sampingku.
“Tidak kok, Pak. Aku Cuma sedang memikirkan Andira saja.”
“Memangnya hubungan kalian bermasalah, Han?” tanya Bapakku, sambil menepuk bahuku.
“Sedikit ada gesekan saja, Pak. Yeah, namanya anak muda pasti ada saja problemnya, Pak. Apalagi ditambah kita lagi hubungan jarak jauh, jadi harus banyak sabar dan meredam egonya masing-masing.”
“Memang begitu, Han. Dulu juga Bapak dengan Ibu juga begitu waktu masih pacaran. Makanya, kalian harus lebih dewasa menyikapi segala permasalahan. Karena menyatukan dua otak, untuk satu pemikiran sangatlah sulit,” balas Bapak sambil tersenyum dan mengelus bahuku.
“Iya bener banget, Pak. Aku berusaha sabar dan mengalah. Meskipun, enggak selamanya kesalahan mutlak aku lakukan.”
“Kamu banyaklah bersabar, Han. Wanita itu, sulit untuk dipahami, kalau kamu hanya melihat hamparan luarnya saja. Kamu jelas tidak akan memahaminya sampai kapanpun,” jawab Bapak menasehatiku untuk menjadi pria yang sabar.
“Iya, Pak. Aku bakal memahami Andira dengan sebaik-baiknya.”
“Nah bagus, itu baru anak Bapak. Oh, ya, Han. Bapak mau bicara sama kamu!” balas Bapak mulai menatapku dengan serius.
“Ma—mau bicara apa, Pak?” balasku dengan nada terbata-bata.
“Akhir-akhir ini, Bapak liat kamu sering melamun. Apa naskahmu ditolak lagi oleh penerbit?” ucap Bapak sambil menyeruput tehnya yang mulai dingin.
“Ah, mungkin perasaan Bapak saja. Lagian naskahku memang belum selesai dikerjakan saja, Pak. Aku masih harus, banyak riset mendalam dari berbagai film dan juga novel lain. Lagi pula, nulis butuh perenungan panjang dan Raihan belum cukup untuk bisa menyelesaikan naskah dengan baik.”
“Han ... janganlah sesekali berbohong kepada orang tuamu. Sebab, setiap kamu berbohong langkahmu akan semakin berat, Han,” lirih Bapak menasehatiku dengan nada yang lembut.
“Maaf, Pak. Sebenarnya, Raihan enggak ada maksud membohongi Bapak, aku cuma ingin menutupi kekecewaan saja.”
“Jadi betul kamu ditolak lagi oleh penerbit mayor, Han?”
“I—iya, Pak. Aku gagal lagi, bahkan Ibu dan Andira menyuruhku untuk berhenti menulis. Aku disuruh mereka menggeluti hobi lain seperti musik, karena aku lumayan mahir bermain gitar.”
“Mungkin, Ibu dan Andira hanyalah khawatir dengan keadaanmu. Sejujurnya, Bapak juga berniat menyuruhmu untuk berhenti, Han. Tapi, sebaiknya jangan dulu! Kamu Cuma belum menemukan keberhasilanmu saja.”
“Aku pun merasa begitu, Pak. Memang aku harus banyak belajar dan terlalu memaksakan kemampuan. Seharusnya, Raihan mengajukan naskah ke penerbit indie saja.”
“Nah ... itu baru anak, Bapak. Tentu, kita sebagai orang tua selalu mendukung dan khawatir atas langkah anak-anaknya ambil, Han. Begitupun hobimu dengan Adikmu Rina. Jelas Bapak sangat memperhatikan sekali, karena Bapak sayang dengan kalian,” balas Bapak sambil merangkulku dengan erat.
“Terima kasih banyak, Pak.”
“Ya, Sama-sama, Han. Kamu tetap semangat! Walaupun, waktu lalu Bapak ikut melarang kamu menulis. Dan sekarang Bapak mulai sadar, mungkin ini jalan yang ingin kamu tempuh,” balas Bapak, beranjak dari tempat duduknya.
“Raihan paham kok, Pak. Mungkin, waktu itu aku terlalu keras kepala.”
***
Andira kamu tentu paham mengapa aku selalu berambisi menjadi penulis. Tentunya, karena aku ingin mengabadikan namamu di dalam sebuah ceritaku. Entahlah, Andira ataukah nantinya cerita yang kutulis nanti buku tergolong sedih atau bahagia. Selayaknya sekarang ini, kamu merasa berbahagia atau bisa bersedih di sampingku. Sebagai manusia biasa, aku jelas takut akan rasanya kecewa. Tuhan memang penentu takdir setiap makhluknya. Bisa jadi nantinya, hubungan kita akan memalukan serta juga memilukan akhirnya. Kita sebagai manusia tidak akan bisa menentukan takdir, kita hanya bisa merubah nasib saja bukan.
Andira andai kata kita tak bisa hidup bersama. Maka, ada dua kemungkinan terjadi dalam hidupku. Kedua kemungkinan itu, akan saling berlawanan mengusik batinku antara melepas, serta juga ikhlas melebarkan sabar di dalam dadaku. Kamu juga harus mengerti tujuan kita ke mana nantinya, yang terpenting kamu selalu ada dalam rencana. Misalnya begini, jika destinasiku ke tujuan yang aku impikan ialah pantai. Jelas kamu juga akan ikut aku ke pantai juga dan jika keinginanku mendaki gunung apakah kamu juga ikut. Aku rasa itu tidak juga Andira. Sebab, aku juga pria biasa, adakalanya jalan yang kuambil terkadang salah. Kamu berhak protes atas keputusan-keputusan yang kuambil. Terkadang keputusan setiap pikiran orang, juga mengalami kesalahan yang tidak disengaja. Begitupun aku sebaliknya, pastinya aku juga tidak setuju dan sepakat jalan yang kamu tempuh nantinya.
Andira sempat beberapa kali, kamu melayangkan sebuah pertanyaan untukku. Tentang pilihan yang kuambil, yaitu menekuni dunia kepenulisan. Kamu bertanya, dengan segala pertanyaan yang menjebakku. Aku sempat gagap dibuatmu. Tak mampu menjelaskan, serta membuktikannya juga. Karena, memang aku sedang di fase kalah oleh keadaan dan kenyataan. Tentang mengapa aku ngotot dan bersikukuh menjadi penulis buku. Memangnya menjadi penulis itu menurutmu, bisa menjanjikan dalam segi penghasilan. Apa aku enggak buang-buang waktu, aku sering telat balas pesanmu. Karena aku fokus menulis, setiap harinya dan hampir satu jam—membuat alur cerita. Kamu dibuat menunggu lamanya, tetapi aku selalu meminta kamu untuk memberi sedikit pengertian hobi unikku ini.
Andira jelas aku menjawabnya dengan sedikit keyakinan serta sedikit keraguan. Aku takut kamu tidak memahami konteks arah pembicaraan kita. Karena, menulis sejatinya hobi sekaligus pekerjaan juga bagiku. Sempat, aku ingin membalas argumenmu dengan argumenku juga, bahwa menulis ialah kegiatan mengabadikan karya dalam bentuk tulisan yang akan dikenang sepanjang masa. Meskipun, penulisnya pun telah tiada, namanya akan abadi di dalam kertas serta tercatat dalam sejarah. Andira dan mengenai soal penghasilan aku memikirkan belakangan. Sebab, aku hanya fokus nulis saja saat ini, sampai naskahku di lirik penerbit mayor dan bukuku best seller. Bagiku itu, adalah sebuah prestasi dalam hidupku, jika nanti aku berhasil menamatkan novel keduaku. Aku sangatlah senang rasa kepuasan itu ada di dalam dada. Bangga jelas atas pencapaian yang kumiliki, aku berhasil berkompetisi dengan diriku sendiri. Meskipun, orang lain beranggapan biasa saja seperti halnya dirimu.
Mungkin, hanyalah sahabatku Rohid, senantiasa mendukungku dengan sepenuhnya. Walaupun, dia orangnya asal ceplas-ceplos kalau bicara. Semangatnya untuk menghiburku tak pernah mengendur sedikitpun. Raka memang juga mendukung hobiku ini. Terkadang keautisan di depan layar laptop, membuatnya kesal juga. Barangkali, penyebabnya adalah responsku tidaklah sinkron dengan apa yang dia bicarakan, jelas dia kesal dan tidak puas di saat komunikasi denganku aku terlampau lambat ber—interaksi. Aku memahami kekuranganku itu, tetapi mau bagaimana lagi Andira. Menulis itu harus fokus dan ide datang di mana saja, jika aku tidak segera mengeksekusi naskah saat itu juga jelas aku akan kehilangan banyak ide. Tapi, aku tidak memaksamu apalagi dengan yang lain untuk mengerti
apa yang aku lakukan Andira. Aku hanya melakukan dengan apa yang aku bisa dan semua melibatkan banyak sekali perasaan.
“Saat di umur kepala dua atau itu kurang serta lebihnya, diriku benar-benar banyak di hadapkan pada suatu pilihan, yang sebenarnya enggak akan cocok buat jadi pilihan. Justru lebih kepada semacam paksaan hidup, yang justru penuh dengan risiko dan di saat-saat inilah aku menyadari bahwa alangkah mengerikannya menjadi dewasa.”
-Rohid Bachtiar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Bintun Arief
benaaaar, alangkah mengerikannya menjadi dewasa. Andaaaiiii waktu bisa berhenti saat aku masih bersama ayah dan kakak laki2ku thor, alahai jadi curhat 🤣
hm, dibagian ini ada satu pertanyaan apa aku melewatkan sesuatu thor? rehan kuliah jurusan apa? apa tidak ada hubungannya sama sekali dengan "penulis" ?
2024-01-05
4