Senyum Merekah di bulan Maret

Libur akhir semester banyak sekali, aku habiskan di rumah dengan kegiatan yang sangat membosankan bagiku. Saat ini aku dan Andira harus berhubungan jarak jauh dikarenakan Andira pulang ke kota asalnya Tangerang mengunjungi saudaranya. Karena memang di sini dia belum lama tinggal di Lampung. Sebenarnya, aku sedikit kecewa dengan situasi ini, padahal hari ini aku sedang berulang tahun. Tapi, sayang sekali Andira tidak bisa menemuiku dan merayakan ulang tahunku yang kedua puluh dua tahun.

Sungguh hari-hari yang membosankan untukku, tidak masuk kuliah dan bingung mau ke mana. Kawan-kawan kuliah sebagian pulang ke kampung halamannya masing-masing. Terlebih Andira jauh dariku, orang tuaku sedang pulang ke kampung karena ada acara keluarga, aku di rumah sendirian sangat bingung ingin melakukan hal apa pun. Barangkali, memang benar adanya sulit jauh dari orang terdekat kita. Aku harus mandiri masak sendiri, tidur sendiri dan mencuci baju pun sendiri. Jelas aku bakal kerepotan satu minggu jauh dari orang tua.

Pada akhirnya, aku masak andalanku indomie dengan sambal ijo dengan toping telur mata sapi. Kalau begini terus dalam satu minggu makan mie terus, gemuk kagak yang ada tifus. Mungkin, bisa jadi aku bisa memakai opsi lain untuk menu masak berikutnya dan yang terpenting bisa masak nasi adalah jalan ninjaku. Orang tuaku menyarankan, untuk membeli lauk pauk di warung makan depan rumah. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, hendaknya aku tumbuh menjadi anak mandiri dan tidak selalu merepotkan mereka, tetapi namanya juga anak selalu saja merepotkan. Saat aku di dapur asyik memasak mie instan, tiba-tiba ponselku berdering. Aku pun segera meraih ponselku di meja ruang tamu dan mematikan kompor.

"Halo selamat pagi, Sayang," sapa Andira, dengan suaranya yang lembut.

"Pa—pagi kembali, Sayang," balasku dengan nada sumbang.

"Apa kabar, Sayang?" tanya Andira dengan suara khasnya.

"Aku baik kok, Sayang. Tapi, aku sedikit merindukanmu," ujarku mencoba mencairkan obrolan di balik telepon.

"Syukurlah, Han. Aku pun juga merindukanmu, Han. Tunggu, ya! Aku pasti ke sana beberapa hari lagi menemuimu," balas Andira seakan paham arah ucapanku tadi, sebab aku merindukannya.

"Baiklah, Andira aku bakal tunggu! Oh, iya kalau begitu nanti lagi, Andira. Aku mau mandi dulu!" timpalku, karena memang pagi ini aku belum sempat mandi.

"Baiklah, Han. Aku juga mau antar Mama ke tempat saudara. Nanti, kita sambung lagi! I love you."

"Ya Sayang. I love you too."

Sejauh ini hubungan kita tetap baik-baik saja. Aku harap terkendali, meskipun nantinya banyak sekali kendala. Andira berjanjilah bahwa paru-parumu tetap sehat, walaupun nantinya kita pura-pura saling melengkapi dan pada akhirnya kita saling menyakiti. Setidaknya hubungan kita sejauh ini, masih romantis yang normal dan tidak se—alay anak baru kenal cinta dan seharusnya memang seperti sebagai pasangan yang ideal pada umumnya

***

Aku pun langsung bergegas mandi, agar badanku lebih fresh. Beberapa menit kelar mandi, aku pun langsung menyantap mie sambal ijoku yang semakin dingin. Aku nikmati semangkuk mie, dengan perasaan bingung. Kenapa hari ini ada yang kurang, padahal aku sedang berulang tahun. Bagaimana bisa orang terdekatku, malah cenderung cuek dengan hari lahirku. Jujur kesal, kecewa dan marah bercampur aduk, tetapi rasanya kuurungkan niat itu. Mungkin, mereka sedang merencanakan sesuatu untuk hari spesialku, daripada bingung harus mau ngapain. Aku pun memutuskan melanjutkan bacaan novelku karangan Bang Boy Candra berjudul 'sepasang kekasih belum bertemu' dan enggak tahu kenapa novel ini jadi opsi pilihan terbaik bacaanku di rak buku kali ini. Selama dua puluh menit, aku membaca sampai beberapa bab. Tiba-tiba ponselku berbunyi, mendapatkan notifikasi pesan suara dari Raka dan Rohid. Tanpa, berlama-lama aku langsung mengecek chat voice note dari mereka berdua.

"Selamat ulang tahun, Bro. Maaf belum bisa kasih kado. Nanti, kalau kumpul gua ajak ke toko buku. Gua yakin lu lagi mau beli novel Boy Candra terbaru," ucap Raka memberikan selamat kepadaku melalui voice note.

"Wah nambah tua lu, Han. Gua harap lu cepet sadar! Lu bukan bocah belasan tahun lagi. Gua harap lu sukses dan segera kelarin novel terbaru lu. Panjang semuanya ... Bro ha-ha-ha. Maksud gua panjang umur, Han. Nanti, kado nyusul-nyusul di tahun berikutnya!" kelakar Rohid melalui voice note.

***

Jujur aku terharu dan agak ketawa terpingkal-pingkal mendengar pesan suara dari si Rohid. Dia memang sahabat terkocakku, dari kecil sampai sekarang, kita selalu bareng ke manapun pergi. Si Raka juga kawanku cenderung pendiam, cuma kalau sudah kenal dengan seseorang banyak omong dan ngeselin anaknya. Aku senang bisa kenal dengan mereka, mungkin kalau enggak kenal mereka hidupku bakal monoton sekali. Tanpa pikir panjang, aku pun menelepon Rohid dan Raka. Aku ingin curhat dengan mereka soal kegabutanku di rumah.

"Halo, Bro. Lagi pada ngapain?" ucapku lewat via telepon menyapa mereka berdua.

"Walaikumsalam, Han. Lu mah pe'a banget, bukannya salam dulu! Kagak ada tata kramanya lu, Han." celetuk Rohid menegurku sebab lupa memberi salam.

"Emang kebiasaan nih anak, Hid. Dia ini ibarat hero Mobile Legends itu Clint, ucapannya begini 'sopan santun telah hilang' kebanyakan pikiran kali, ya. Sampe salam aja lupa," sela Raka ikut meledek kecerobohanku.

"Yaelah ... maaf, Bro. Namanya orang lupa, ha-ha-ha. Efek kebingungan di rumah sendirian dan galau banget hari ini, Bro," balasku atas ledekan mereka kepadaku.

"Yaelah, bujang apaan lu, Han. Perasaan hidup lu merana amat, kagak usah jadi manusia lu! Mending jadi eceng gondok aja, ha-ha-ha," kelakar Rohid meledekku dengan penuh semangat.

"Ha-ha-ha, si Rohid jahat banget kalau ngomong, asal mangap bae mulutnya. Emang lu, Han. Jadi cowok sadboy amat, emang lu ada masalah apa?" tanya Raka mulai penasaran dan lagi-lagi meledekku.

"Ah ... sialan lu pada! Dengerin kenapa, kalau kawannya mau curhat. Iya, udah kagak jadi."

"Dihh ... si Raihan segala begitu bae ngambek! Baperan lu mah, kaya cewek datang bulan. I—iya udah maafin gua sama Raka, emangnya lu ada masalah apa sih kawan?" timpal Rohid merasa tidak enak dan mulai ingin tahu masalahku.

"He he, iya gua juga minta maaf, Han. Cerita sini sama kita!" balas Raka, ikut simpati dengan masalahku.

"Nah, dari tadi kek, Bro. Begini gua di rumah sendirian, selama seminggu ke depan. Terus ... si Andira kayanya cuek dan enggak peduli sama hari ulang tahun gua dah."

"Lah emang Bokap, Nyokap dan Adek lu si Rina ke mana, Han? Terus lu jangan mikirin aneh-aneh dulu. Barangkali pagi ini, dia lagi sibuk dan udah nyiapin kejutan buat lu nanti malam," ucap Rohid, mencoba meyakinkanku untuk berpikiran positif.

"I—iya pada ke mana keluarga lu, Han? Dengerin tuh, apa kata, Rohid!" sahut Raka ikut masuk dalam topik pembicaraan kita.

"Mereka lagi pada pulang kampung, Bro. Soalnya ada acara keluarga dan gua enggak ikut karena jaga rumah. Hmmm ... ada benernya sih omongan kalian, Bro."

"Lah, ngapa lu kagak ikut Panjul? Segala rumah dijagain, kalau mau jaga mah di pos ronda sana! Emang kagak jelas lu, Han. Segala rumah dijagain, kaya rumah lu bisa lari aja," kelakar Rohid mulai usil meledekku habis-habisan.

"Ha-ha-ha, emang pe'a si Rohid. Kagak usah dengerin dia, Han. Bocah kurang ngopi begitu, jadi setengah sadar kalau kasih masukan ke kawannya," timpal Raka memihak ku.

"Bocah kagak jelas lu, Hid. Lah tumben si Raka belain, curiga ada maunya."

"Suek, banget lu pada. Biar gua somplak begini, gua kawan yang selalu ada buat lu semua," timpal Rohid, merespons candaan kita.

"Ha-ha-ha tahu aja lu, Han. Kode keras minta traktiran lu, kita berdua ini masak kagak peka? Kalau enggak ada Rohid, tongkrongan kita sepi kaya kuburan," balas Raka sambil tertawa terbahak-bahak.

"Wah, pokoknya makasih banyak, Bro. Kalian sahabat terbaikku. Pokoknya tenang aja, kalau kalian balik ke sini lagi. Nanti, aku traktir di warung Bang Pendi."

"Mantap bener ini mah, Han. Gua sama Raka mau pesan kopi dan gorengan sepuasnya. Oh, ya, gua tutup dulu teleponnya, Bro. Gua mau lanjut push rank, soalnya abis turun season. Parah bener, gua jadi epic lagi. Ya, udah assalamualaikum," balas Rohid menutup percakapan kita

"Kalau begitu gua juga, Han. Makasih juga, kalau begitu gua pamit dulu! Gua mau nyuci motor. Nanti, kalau kagak gua cuci, diomelin Bokap gua lagi, assalamualaikum," balas Raka, ikut menutup telepon.

"O—oke, walaikumsalam, Bro."

***

Lumayan lama mengobrol dengan mereka, aku pun mengambil gitar di kamarku. Aku memainkan gitar, di ruang tamu. Aku mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu Hindi berjudul 'tu hi haqeeqat', lagu ini romantis sekali serta diksinya pun indah. Aku sampai kebawa perasaan dan menghayati lagu ini. Berjam-jam aku bermain gitar menghilangkan suntukku, aku pun mencoba mengecek ponselku. Berharap dapat notifikasi dari Andira kekasihku. Berulang-ulang aku cek, tetapi belum ada juga. Sekalinya, aku dapat notifikasi, aku periksa dengan hati senang berharap dari Andira malah pesan dari operator.

Tidak terasa pukul menunjukkan 12:00 WIB, tetapi belum juga ada pesan dari Andira. Aku sempat berpikir, apa kekasihku lupa sama ulang tahunku. Sedangkan, katanya aku orang spesial dalam hidupnya. Namun, aku berpikir lagi kalau dia enggak bakal melewatkan hari spesialku, tetapi kenyataan dia benar-benar lupa. Jujur aku marah dan kecewa dengan Andira, aku memutuskan untuk me—mode pesawat ponselku. Biar nanti, Andira menghubungiku sulit dan berpikir, bahwa dia telah mengecewakan kekasihnya hari ini. Supaya, dia paham rasanya diabaikan itu, enggak mengenakan sama sekali.

Aku pun memutuskan untuk tidur siang. Supaya, rasa badmood dan kecewa bercampur menjadi satu segera hilang. Karena aku butuh ucapan orang terkasih, meskipun cueknya terlanjur dia pilih. Dia mungkin sibuk dengan dunianya, sampai-sampai lupa dengan hari lahirku. Beberapa menit mencoba memejamkan mata, tetapi nihil hasilnya. Aku pun mencoba meraih ponselku di meja tempatku belajar dan membaca buku. Baru membuka mode pesawat, ada banyak notifikasi pesan bermunculan di ponselku dan ternyata dari orang tuaku, Adiku dan juga Andira kekasihku.

Aku pun senyum-senyum sendiri dibuatnya, aku tertawa melihat video konyol keluargaku. Mereka mengucapkan, selamat ulang tahun dengan tingkah jenaka di saat acara hajatan keluarga. Bapak, ibu dan Rina, mengucapkan kalimat yang penuh makna, walaupun dibalut dengan candaan khas mereka. Jujur air mataku menetes terharu dibuatnya. Aku berjanji jika suatu saat nanti, aku akan membahagiakan mereka. Mungkin, tidak semudah dengan kata-kata. Tapi, dari kata-katalah menjadi doa yang nantinya akan segera terlaksana juga. Fokus melamun dan mengulang-ulang video mereka. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata telepon dari Andira sudah beberapa kali panggilannya tak terjawab.

"Kamu marah sama aku, Han?" ucap Andira melemparkan pertanyaan saat aku ingin mengucapkan salam.

"Hmmm ... tidak, Andira. Mungkin perasaanmu saja."

"Bohong banget kamu lagi marahkan, Han? Kenapa Berkali-kali, aku menghubungimu nomormu sulit buat dihubungi, Han," balas Andira mulai paham atas sikapmu yang dingin.

"Benaran aku serius, Andira. Tadi ponselku lowbet kok. Kamu kenapa nelepon enggak mengucapkan salam dulu?"

"Maaf, Han. Aku tadi pagi sibuk, ada acara keluarga. Aku enggak ada maksud mengabaikan dan lupa dengan hari lahirmu. Aku cuma mau bilang ke kamu, semoga kamu bahagia bersamaku. Selamat ulang tahun ke—22 tahun, Sayang. Semoga, yang kamu dambakan cepat terlaksana. You're the best in my life, Han," lirih Andira meyakinkanku untuk tidak salah paham dan mau mendengarkan penjelasannya.

"Iya, Sayang. Makasih banyak sudah berkenan berkomitmen denganku. Semoga nanti, hubungan kita selalu kuat seperti baja. Meskipun rintangan itu ada, aku enggak minta hadiah apa pun darimu. Aku cuma ingin kamu, selalu ada bersamaku di saat dunia tidak pernah menjanjikan bahagia. Dan terima kasih, masih sanggup bertahan."

Hari ini adalah hari yang membuatku semakin paham, segala kesenangan itu bukan karena aku diberi hadiah sebagai kenang-kenangan. Tapi, justru kesenangan itu hadir di saat, ucapan dan doa yang tulus dipanjatkan oleh orang-orang yang kusayang. Andira kamu adalah alasan mengapa kehidupan terasa lebih hidup dan juga jantungku masih sanggup berdegup. Kamu juga seperti bantal dan aku bukan ilernya tetapi gulingnya. Kita ada saling melengkapi dan kita bertemu tentu ada keterikatan hati.

 

"Kebahagiaan ibarat seperti ketinggian. Kemudian, jatuh hati itu seperti terjatuh. Memilikimu membuat perasaanku menyeluruh, bahkan sebelum kamu sempat menyatakan."

-Rohid Bachtiar

 

 

 

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

Bintun Arief

Bintun Arief

berubh jdi caca handika sminggu dulu y bg rehan 🤣
panjang bener ini thor episodenya
lanjuuuuut

2024-01-02

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!