Vian POV ( Akhirnya telah sadar )

Aku berada di mana, mengapa aku mendengar sayup-sayup suara? Ada juga suara tangisan, kutajamkan lagi indera pendengaranku. Ya, suara ini, suara wanita terhebat dalam hidupku. Wanita yang menyayangiku dengan sepenuh hatinya.

Kubuka mataku perlahan, cahaya langsung berlomba-lomba memasuki retina, membuatku harus terpaksa menutup mata sebelum akhirnya mengerjapkan mata beberapa kali.

“Mama,” panggilku.

“Akhirnya kau membuka matamu lagi, Sayang. Jantung Mama nyaris berhenti mendengar kau mengalami kecelakaan dan sempat mengalami masa kritis,” jelas mamaku.

Jadi, aku terbaring lemah di sini karena sebuah kecelakaan, mengapa aku tidak mengingatnya?

“Aku—kecelakaan?” tanyaku hati-hati pada Mama.

“Itu benar, Sayang. Kau tidak mengingatnya? sebentar Mama akan panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu.” ujar Mamaku, kemudian keluar untuk menemui Dokter.

Tak lama kemudian, Mama telah kembali dengan seorang dokter yang aku yakini telah merawatku selama ini.

Dokter itu memeriksa keadaanku dan terus bertanya hal ini dan itu. Pokoknya tidak jauh-jauh tentang kejadian kecelakaan yang menimpaku sebelumnya. Akan tetapi, hasilnya tetap nihil, aku tidak bisa mengingatnya sama sekali.

Yang kuingat hanya keluargaku saja, teman-teman? Aku belum bisa memastikan. Mereka bahkan tidak membesukku. Ah, aku baru ingat, aku memang tidak punya teman. Bodoh sekali kau Vian!

Hingga akhirnya Dokter mengatakan aku mengalami amnesia sebagian, mungkin ingatanku akan pulih seiring berjalannya waktu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku harus beristirahat beberapa hari ke depan sebelum pulang dari rumah sakit. Sejujurnya aku sudah merasa bosan, tapi apa mau dikata? Aku harus terjebak dengan pakaian pasien dan tiang infus ini.

Kepalaku masih terasa pusing. Entah apa yang terjadi padaku sebelumnya, apakah kepalaku terbentur sesuatu?

Aku berusaha keras beranjak dari ranjang, kakiku bergetar hebat kala berhasil menyentuh tanah.

Kulangkahkan kakiku sedikit demi sedikit, berjalan ke arah pintu keluar, dan ternyata berhasil!

Kakiku terus melangkah di sepanjang koridor rumah sakit. Bisa kulihat beberapa orang memandang ke arahku, dengan tatapan yang berbeda-beda, namun yang paling banyak kulihat adalah pandangan meremehkan.

Mengapa, mengapa mereka selalu menatapku seperti itu. Hentikan semua tatapan mengerikan itu, itu membuatku tidak nyaman dan aku tidak menyukainya. Jadi, tolong hentikan memandangku, dengan tatapan itu kumohon?!

Aku tidak tahu seperti apa hidupku di masa lalu, mungkin di masa lalu aku pernah melakukan kesalahan besar terhadap dunia, makanya di masa sekarang semua orang membenciku.

Jika tahu akhirnya akan seperti ini, mengapa aku tidak mati saja? Dengan begitu aku tidak akan mendapatkan tatapan yang mampu menghujam jantungku dengan keras hingga rasa sakitnya membekas dalam ingatan.

“Vian, apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang Bibi itu padaku. Oh, tunggu sebentar bukankah Bibi ini adalah—

“Halo, apa kau mendengarku, aku ibunya Nino, gurumu,” ujar Bibi itu lagi padaku.

—Ibu dari Pak Nino, Guru mata pelajaran Biologi di sekolahku. Anak-anak memanggilnya dengan sebutan Killer Bear atau Beruang pembunuh.

“Ah, hai Bibi. Maaf saya melamun,” ujarku tak enak hati.

Ibunda dari Pak Nino itu hanya tersenyum sembari menatapku. Tatapan ini, tatapan yang memberikanku ketenangan, sama seperti tatapan milik Mama.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya sekali lagi sambil memindai tubuhku dari atas sampai bawah, “kau masuk rumah sakit juga?”

Aku mengangguk, “Kata Mama saya baru saja mengalami kecelakaan, saya tertabrak sebuah mobil, tapi saya justru tidak ingat sama sekali.”

“Ya ampun bagaimana bisa?” jawab Bibi sambil menutup mulutnya tak percaya. Aku hanya menggeleng karena aku sendiri juga tidak tahu.

“Ah, maaf Bibi tidak tahu jika kau baru saja mengalami kecelakaan, kalau saja Bibi mengetahuinya, Bibi akan membesukmu,” ujar Ibu Pak Nino ini.

Ya ampun anaknya sendiri saja masih di sini, bagaimana bisa ia membesuk orang lain, siapa yang akan menjaga Pak Nino nanti?

“Saya mengerti jika Bibi masih merasa sedih dan kelelahan karena menjaga Pak Nino,” jawabku.

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum teduh ke arahku.

“Bagaimana keadaan Pak Nino?” tanyaku lagi.

“Masih sama seperti saat kau membesuknya, Bibi juga berharap akan ada keajaiban untuk Nino, tapi Bibi rasa ini sebuah ujian untuk kami, tentu saja kami harus tetap bersabar dan tetap kuat demi Nino,” jelas Bibi dengan sorot mata sendu. Aku jadi kasihan padanya.

“Saya yakin Pak Nino akan baik-baik saja, Pak Nino adalah orang yang kuat dan pantang menyerah,” ujarku berusaha memberikan penghiburan.

“Omong-omong kau tidak memakai kursi roda?” tanya Bibi lagi.

“Mama sedang pulang sejenak dan saya kesusahan memindahkan infusnya sendirian jika keluar menggunakan kursi roda. Jadi, saya memutuskan untuk jalan pelan-pelan saja dengan membawa tiang infus ini, Bi,” jawabku.

“Di kamar mana kau dirawat?”

“Kamar xxx,” jawabku.

“Tunggu di sini dan jangan pergi ke mana pun sampai aku kembali!” ujar Bibi kemudian meninggalkanku.

Aku masih duduk di sebuah bangku, sejujurnya aku belum terlalu kuat untuk berdiri, menapak lantai beberapa saja, sudah membuat kakiku bergetar hebat.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tak lama kemudian Bibi sudah kembali menghampiriku dengan sebuah kursi roda dan seorang perawat di sampingnya.

“Duduk di sini. Jika ingin berjalan-jalan Bibi akan menemanimu!” ujar Bibi menyuruhku duduk, dibantu oleh perawat.

Aku hanya menurutinya saja, lama-lama pegal juga berjalan di saat kondisimu sedang tidak sehat.

Kami mulai berjalan menyusuri koridor rumah sakit, dengan kursi rodaku yang didorong oleh Bibi, tidak hanya itu, kami juga mengobrol ringan.

“Bibi,” panggilku.

“Ada apa?” jawabnya.

“Bolehkah saya menengok dan melihat keadaan Pak Nino?” pintaku.

“Kau ingin menjenguknya?” tanya Bibi, aku mengangguk.

“Baiklah kita akan ke ruangan Nino. Siapa tahu anak itu bangun jika kau kembali menjenguknya,” ujar Bibi, sebenarnya aku tidak yakin akan hal itu. Memang aku siapanya? Aku saja juga bukan murid yang dekat dengan Pak Nino.

Entahlah Pak Nino itu seperti menjaga jarak dengan para muridnya. Sepertinya murid satu sekolah pun tidak ada yang dekat padanya.

Wajahnya yang menyeramkan seolah bisa membunuh kami kapan saja, membuat kami enggan mendekatinya.

“Nah, kita sudah sampai,” suara Bibi menyadarkanku dari lamunan.

“Nino, muridmu datang lagi, dia anak yang baik bukan?” ujar Bibi.

Dapat kulihat beberapa selang dan alat bantu pernapasan masih menghiasi tubuhnya yang atletis dan sempurna itu.

Ah, iya. Aku lupa bilang juga kalau sebenarnya beliau ini memiliki banyak pengagum rahasia, tapi karena beliau tidak ramah, maka para kaum hawa hanya bisa mengaguminya dari jauh.

Bagaimana tidak? Ia memiliki mata yang tajam, rahang yang tegas, hidungnya juga mancung seperti perosotan taman kanak-kanak, ditambah dengan tubuh yang atletis, tegap, dan jangan lupakan kulit yang eksotis itu.

Mungkin jika aku seorang wanita, aku juga akan jatuh cinta padanya, tapi sayangnya aku laki-laki.

Secara fisik beliau ini memang sempurna tanpa cacat, tak heran ia digandrungi para siswa dan guru wanita. Bahkan aku pernah mendengar ada seorang guru wanita yang mengajaknya kencan secara terang-terangan, tapi yang guru itu dapatkan adalah penolakan secara mentah-mentah.

Aku jadi ingin berada di posisinya, pasti menyenangkan sekali. Tidak perlu berusaha keras agar dilirik dengan tatapan memuja.

Ah, Pak Nino aku iri padamu.

Terpopuler

Comments

ℛᵉˣArleta shin𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ

ℛᵉˣArleta shin𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ

Oalah kirain bertukar roh.. ternyata masih dalam tubuh masing-masing semoga semuanya baik baik aja dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi

2024-08-22

0

gapapa sih kalau mau😭🙊🙊🙊

2024-08-22

0

❁🅢🅐🅛❁$aly

❁🅢🅐🅛❁$aly

weh penggambaran fisik yg sempurna😊

2024-08-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!