Kesempatan

Mereka mulai memasuki gerbang Surga. Di dalam sana sangat indah sekali Nino sampai terkesima melihat keindahan Surga, rasanya tenang dan damai. Banyak orang di sana mengenakan pakaian serba putih. Mereka nampak gembira dan ramah, bahkan ada yang beberapa kali menyapa Nino dan sang malaikat kala mereka lewat.

Nino melihat burung-burung yang berkicau dengan merdu, dengan semilir angin yang seolah menuntun dan menyertai mereka sepanjang perjalanan.

Ia juga melihat pohon-pohon rindang dan berbuah lebat dan kelihatan manis.

“Wah, baunya harum!” batin Nino kala aroma buah mangga itu menyapa indera penciumannya.

Ia terus melirik buah mangga yang seakan-akan memanggilnya dan menyuruhnya untuk mencicipi.

“Argh, sial! Baunya membuatku ingin makan,” umpat Nino dalam hati.

“Dilarang mengumpat saat di Surga, mulutmu kotor sekali!?” ujar Malaikat yang masih menatap lurus ke depan.

“Dari mana kau tahu, kalau aku baru saja mengumpat?” tanya Nino.

“Level pertanyaanmu rendah sekali, tentu saja karena aku adalah seorang malaikat. Aku bisa mendengar suara hatimu,” jelas Malaikat itu lagi.

“Apakah buah mangga itu bisa dimakan?” tanya Nino yang mulutnya sudah merasa gatal sedari tadi, karena ingin menanyakan perihal mangga yang menggoda imannya itu.

“Tentu saja bisa, tapi kau belum boleh mengambilnya,” jawab Sang malaikat.

“Kenapa tidak boleh? Pelit sekali,” cibir Nino.

“Buah itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang baik, penghuni Surga. Sedangkan dirimu saja statusnya belum jelas, apakah kau akan tinggal di Surga, Neraka, atau pun masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia,” jelas Malaikat.

“Apa aku hanya memiliki hidup sesingkat itu?” tanya Nino merasa tertegun.

“Kenapa?”

“Apa aku benar-benar akan mati?”

“Memangnya kau masih ingin hidup di dunia?”

“Tentu saja aku ingin, aku belum siap mati!” pekik Nino.

“Kenapa belum siap?”

“Ya, karena aku memiliki dosa.”

“Kupikir orang sepertimu, tidak pernah memikirkan dosa.”

Nino hanya cemberut mendengar perkataan Malaikat itu.

“Kaupikir aku tidak tahu, hidupmu seperti apa selama di dunia?”

“Selama ini aku menjalani hidupku dengan baik. Tidak ada masalah,” jawab Nino.

“Pembohong!” cibir Malaikat.

“Malaikat tidak boleh mencibir, kau ingin dipecat oleh Tuhan?”

“Manusia sepertimu memang membuat tenaga dan emosiku terkuras dengan cepat. Aku heran, apakah Tuhan sedang merasa bosan saat menciptakan dirimu?” tanya Malaikat.

“Justru saat menciptakan diriku, suasana hati Tuhan sedang baik, bahkan sangat baik. Oleh karena itu aku terlahir ke dunia dengan paras yang tampan, otak yang cemerlang, sehingga menjadi idola para wanita,” sombong Nino.

Malaikat itu hanya menampilkan ekspresi datar, saat Nino menyombongkan dirinya.

“Ya Tuhan ingin sekali aku menendang hamba-Mu yang overdosis rasa percaya diri ini,” batin Sang malaikat merasa kesal.

“Ayo kita jalan lagi, ada yang ingin kutunjukkan padamu, dari pada mengobrol denganmu hanya membuatku naik darah, lebih baik kau diam!” perintah Malaikat.

Nino hanya menurut saja, menurutnya Malaikat di depannya ini agak aneh dan sangat moody, layaknya gadis remaja.

“Bukannya sedari tadi dia yang mengajakku berbicara, kenapa aku yang disalahkan?” gerutu Nino dalam hati.

“Tidak boleh menggerutu, aku bisa mendengar suaramu!”

“Maaf, aku tidak sengaja.”

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Selama itu pula Nino mengunci mulutnya, namun matanya tak melepaskan dari pemandangan indah sejauh mata memandang.

“Kau ingin tinggal di sini?” Malaikat itu bertanya sembari berjalan, namun sayang tidak ada tanggapan dari Nino.

“Dia tidak mengacuhkan pertanyaanku, berani sekali?” batinnya merasa dongkol dengan Hamba Tuhan yang berjalan di belakangnya itu.

Nino masih sibuk dengan melihat pemandangan Surga. Di saat yang bersamaan, ada Malaikat lain yang lewat dan berpapasan dengan dirinya.

“Bidadari yang cantik,” batin Nino seraya tersenyum tidak jelas.

Malaikat yang menjadi pemandunya untuk melihat suasana Surga pun hanya mendengus kesal.

“Dilarang menggoda Malaikat di sini.”

“Siapa yang menggoda, aku tidak menggoda Malaikat itu!” sangkal Nino.

“Akan tetapi kau mengatakan dia cantik. Kau tidak boleh memiliki perasaan terhadap Malaikat. Dunia kalian berbeda!” peringat Malaikat itu.

Nino hanya diam terlalu malas menanggapi Malaikat yang memiliki banyak aturan itu. Ia tidak boleh melakukan ini dan itu.

Sampai akhirnya mereka telah sampai di sebuah tempat, yang Nino sendiri tidak paham tempat apa itu, yang jelas tempat tersebut berisi kumpulan jam dinding dengan gerak jarum jam yang berbeda-beda.

“Apa Surga juga membuka tempat reparasi jam?” tanya Nino, “maksudku, lihatlah tempat ini, banyak sekali jam dinding di sini!”

“Kau diam dan lihat saja, dulu. Aku akan menjelaskannya untukmu, tempat apa ini!” jawab Malaikat.

Nino kembali mengunci mulutnya, kala mendapat tatapan tajam, bagai pedang yang bisa menikam jantungnya kapan saja.

“Baiklah, tempat ini dinamakan dengan jam kehidupan. Kau tahu, kenapa?” tanya Malaikat, dan Nino menggeleng karena benar-benar tidak tahu.

“Jam ini menunjukkan berapa tahun lagi usia manusia di dunia, yang dilihat dari segi amal dan perilaku.”

Nino masih mengerutkan keningnya, bingung.

“Jika jarum jam bergerak normal, maka orang itu berarti, melakukan amal baik, tapi terkadang melakukan hal buruk pula. Jika jarum jam bergerak lambat, berarti mereka diberkati, karena sudah pasti mereka orang baik,” jelas Malaikat panjang lebar.

Nino memperhatikan jam dinding itu dengan seksama, “Tunggu, jam ini memiliki nama?”

Malaikat itu mengangguk, “Ya, nama jam itu adalah nama mereka yang masih hidup di dunia.”

“Jika jam itu menunjukkan usia manusia di dunia, seharusnya aku juga memilikinya. Akan tetapi mengapa tidak ada jam dindingku di sini?!” tanya Nino dengan penekanan.

“Eh, itu—ada kok, tentu saja jam milikmu ada, karena kau belum sepenuhnya mati,” jawab Malaikat gugup.

“Lalu di mana kalian meletakkannya?” tanya Nino terkesan menuntut.

“Baiklah kau ikut aku. Aku akan mengantarmu ke tempat, di mana jam milikmu berada.” ujar Malaikat itu sambil beranjak dari tempatnya. Mau tak mau, Nino harus mengikutinya.

Mereka terus menyusuri jalan setapak Surga. Kali ini mereka berjalan dalam diam. Lebih tepatnya Nino yang mendiamkan sang malaikat, karena merajuk perihal jam dindingnya yang tak ada di Surga.

“Kalian akan pergi?” tanya Malaikat lain yang kebetulan berpapasan.

“Aku akan mengantarnya berkeliling, dan mungkin tugasku sudah selesai, sebentar lagi,” jawab Malaikat yang menemani Nino.

Setelah menjawab pertanyaan Malaikat lain, mereka pergi menuju gerbang Surga. Nino mengerutkan kening, mengapa ia dibawa kembali ke gerbang Surga?

“Oh, kalian sudah selesai?” tanya Iblis yang sedari tadi menunggu di depan gerbang dengan wajah tertekuk.

“Mengapa wajahmu kusut begitu?” tanya Malaikat Surga.

“Kaupikir kakiku tidak pegal menunggu kalian sambil berdiri?!” jawab Iblis tersebut dengan nada sinis.

“Maaf kalau lama. Kau tahu sendiri jalan setapak kami itu, sepanjang apa?”

“Lain kali siapkan sebuah kursi dan seporsi daging hewan untukku makan dan bersantai,” ujar Iblis itu.

“Dasar Iblis tidak tahu diri!” desis Malaikat Surga itu kesal.

“Terima kasih, kuanggap itu sebuah pujian, kami para iblis sudah terlalu biasa dengan omongan pedas kalian, bahkan sepedas omongan manusia yang sedang dipenuhi rasa iri dengki terhadap manusia lain,” jawab Iblis itu santai.

“Lupakan, sekarang giliranmu membawanya berkeliling. Ah, katakan juga di mana letak jam dinding kehidupannya berada!” perintah Malaikat tersebut.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dan di sinilah mereka, tepatnya Iblis dan Nino, mereka memasuki kawasan Neraka. Hawa panas langsung menyapa indera perabanya.

“Jadi kau ingin mencari letak jam kehidupan?” tanya Iblis itu mencoba basa-basi.

“Tepat sekali. Malaikat itu menunjukkan padaku jam kehidupan manusia, tapi di sana tidak ada jam dinding bertuliskan namaku!” pekik Nino kesal.

Iblis tersebut hanya mendengar pekikan Nino saja, tanpa berniat menanggapi.

“Ah apakah di sini tidak ada Air conditioner atau es jus. Rasanya panas sekali?!” keluh Nino.

“Kaupikir ini Warung. Di Neraka mana ada es jus?!” kesal Iblis itu.

Mereka melewati ruang penyiksaan, banyak orang berteriak meminta ampun serta pertolongan.

“Apa mereka tidak bisa lebih halus lagi dalam memberikan hukuman. Tolonglah perlakukan mereka dengan lembut?!” pinta Nino.

“Apa otak manusia ini bergeser dari tempat yang seharusnya, sejak kapan Neraka mengenal kata lembut dalam memperlakukan seseorang?” batin Iblis itu heran.

“Apa kau mengerti definisi Iblis dan Neraka, Nak?” tanya Iblis itu penasaran sekaligus dongkol dalam hatinya.

“Dasar Iblis tidak punya hati,” cibir Nino.

“Tentu saja kami tidak punya hati, karena kami bukanlah Malaikat Surga. Kau tahu itu dengan baik,” sahut Iblis dengan raut wajah kesal.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dan setelah memakan beberapa waktu, sampailah mereka ke tempat yang di tuju.

“Dengar Bocah, aku tidak ingin berbasa-basi denganmu. Kau ingin melihat jam dinding milikmu, bukan? Nah, itu dia di sebelah sana.” tunjuk Sang iblis pada satu objek.

Mata Nino membola, bagaimana bisa jam dinding miliknya ada di tempat terkutuk ini? Kurang ajar.

“Kenapa jam dindingku ada di sini?!” tanya Nino marah.

“Apa Malaikat Surga tidak menjelaskan cara kerja jam dinding kehidupan?”

“Tadi sudah menjelaskannya, tapi aku merasa tidak pernah berbuat jahat.” jawab Nino sambil menerawang.

“Kau selalu tinggi hati, selalu meremehkan orang lain, angkuh, bersikap acuh tak acuh. Itu semua adalah sifat yang disukai oleh bangsa kami, Nak—,” jelas Iblis itu.

“—maka dari itu jam dindingmu kami bawa ke mari, untuk kami jadikan kipas angin di Neraka ini, karena di Neraka itu panasnya luar biasa kau tahu?!” jelas Iblis tersebut.

“Akan tetapi aku belum mati secara resmi!”

“Itulah kenapa, kami para Iblis dan Malaikat berbaik hati padamu. Kau masih diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri,” ujar Iblis itu sambil menatap Iblis perempuan yang lain.

Nino pun ikut melirik apa yang sedang menjadi objek penglihatan Iblis di sampingnya itu.

“Apa bagusnya Medusa, sampai kau meliriknya penuh damba?”

“Anak kecil tak perlu ikut campur!” delik Iblis itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Mereka kembali di tengah-tengah gerbang, Malaikat dan Iblis pun berdiri di hadapan Nino.

“Jadi, apa kau bersedia memperbaiki hidupmu?” tanya Malaikat itu memastikan.

“Iya, aku bersedia. Mana mungkin aku membiarkan jam dinding kehidupanku berada di Neraka?!”

“Baiklah-baiklah, kau diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupmu, tapi ingat, kau hidup sebagai roh!”

“Lalu bagaimana aku bisa berbuat baik jika hidup sebagai roh?”

“Kau akan hidup menggunakan tubuh orang lain,” sambung Iblis tersebut.

“Lalu roh orang itu bagaimana?”

“Tenang saja semua itu sudah diatur oleh Tuhan,” jawab Iblis.

“Kau akan hidup sebagai kepribadian yang lain dari si pemilik tubuh,” jelas Malaikat.

“Ah, seperti itu,” ujar Nino.

“Baiklah, kau sudah siap?” tanya Malaikat dan Nino mengangguk.

Kemudian berjalan melewati portal dunia.

Terpopuler

Comments

ℛᵉˣArleta shin𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ

ℛᵉˣArleta shin𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ

wah .. beruntung tuh masih di kasih kesempatan kehidupan baru yang lebih baik.. manfaatkan semuanya itu dengan baik jangan di sia siakan

2024-08-22

0

𝐀⃝🥀𝐌𝐀𝐗❤V

𝐀⃝🥀𝐌𝐀𝐗❤V

wah di hdup kan kembali rupanya atau kualifikasi nih🤔agak lain sih. tapi ga apalah yg penting dia bisa berubah nya lagi.

2024-08-22

0

𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆꙳❂͜͡✯ᴳᴿ🐅●⑅⃝ᷟ◌ͩ

𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆꙳❂͜͡✯ᴳᴿ🐅●⑅⃝ᷟ◌ͩ

mau nyolong nih pasti 🤣

2024-08-22

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!