Ketika bel istirahat berbunyi, ada beberapa orang yang menghampiri meja ku. Dan dua orang yang kini sedang menatapku adalah orang yang melatarbelakangi kematian ku.
"Gina." Ucapku sambil mengulurkan tangan ku pada Zeta.
"Zeta." Sambutnya.
Kemudian aku mengulurkan tangan pada Jihan, "Jihan." Sambutnya malas.
"Ada hubungan apa Lo sama Gino?" Selidik seorang perempuan yang tiba-tiba nongol.
Ya dia adalah Marisa. Orang yang mengompori ku untuk melakukan tindakan di luar nalar pada Zeta.
"Aku kembarannya." Jawab sambil menatapnya dengan tatapan polos.
"Oh, kembaran Gino. Pantesan mirip." Batin Jihan.
"Kalau dia kembarannya Gino, gue harus baik-baikin dia dong." Batin Marisa.
"Oh, ikut kita ke kantin." Ajak Marisa sambil menarik tangan ku.
"Gina, Lo di panggil sama Bu Welti." Ucap Digo, ketua kelas.
"Oh, oke. Makasih ya." Ucapku.
"Sama-sama."
"Maaf ya, aku pergi dulu." Pamit ku.
Aku buru-buru pergi ke ruangan Bu Welti. Dan aku sudah mendung apa yang akan terjadi. Ya dia akan menawarkan ku ikut olimpiade Biologi. Dan ini adalah awal keretakan antara aku dan Morgan.
"Ibu sudah mendengar tentang mu. Dan ini ingin kamu mengikuti olimpiade Biologi." Ucapnya setelah aku duduk.
"Maaf Bu sebelumnya. Saya kan siswi baru disini. Jadi, aneh kalau tiba-tiba saya di tunjuk sebagai salah satu perwakilan sekolah untuk mengikuti olim Bio." Tolak ku secara halus.
Untuk menghindari perdebatan dengan Morgan lebih baik aku menghindar dan tak ikut campur dengannya.
"Kami sudah membicarakannya dengan kepala sekolah dan ada ayah mu juga yang menyarankan kami untuk kamu ikut dalam olimpiade kali ini." Jelas Bu Welti.
Seberapa keras aku mencoba sepertinya aku tak bisa merubah takdir.
"Em, saya akan ikut olimpiade tetapi bukan biologi Bu. Saya ingin ikut olimpiade matematika, bagaimana?" Tawar ku.
Bu Welti terlihat ragu padaku. Dan aku mencoba untuk meyakinkannya dengan berbagai cara.
"Bu, saya jago itung-itungan. Dan saya juga selalu menang lomba matematika. Piala saya berjejer di rumah." Ucapku.
Bu Welti masih saja berpikir, "baiklah kamu yang akan mewakili sekolah kita untuk olimpiade matematika." Ucapnya.
Ternyata aku bisa merubahnya. Dan ku harap aku tak akan bertemu dengan Morgan. Dia beneran arogan banget.
Dulu dia mikir bahwa aku sengaja mengalah padanya dan hal itu membuatnya membenci diriku.
"Pembimbing kamu, pak Boni. Kamu bisa temui beliau." Ucap Bu Welti.
"Baik, Bu. Terimakasih." Ucapku.
Setelah itu aku langsung menemui pak Boni untuk berkonsultasi. Dan yah tidak buruk karena aku sudah mengetahui soal-soal yang akan di ujikan nanti.
Cukup lama aku berkonsultasi dengan pak Boni. Bahkan ketika aku memasuki kelas di sana sudah ada Bu Welti.
"Permisi, Bu." Ucapku sambil mengetuk pintu kelas.
Bu Welti yang sedang menjelaskan pelajaran pun langsung melihat kearah ku.
"Masuk." Ucapnya.
Aku pun langsung masuk dan duduk di tempat ku.
"Bu, biasanya kalau ada yang telat masuk enggak dibolehin masuk ke kelas. Kok Gina boleh masuk?" Tanya Reza tak terima.
Semua mata langsung menatap ku. Termasuk Jino yang melirik sekilas kearah ku.
"Dia udah izin sama ibu. Dia konsultasi sama pak Boni untuk olimpiade Matematika. Awalnya Gina mau ibu rekrut ke olim Bio tapi dia nolak dan mau ke matematika." Jelas Bu Welti.
Semuanya terkejut dan menatap ku lagi, "hehehe." Aku cuma bisa nyengir sambil garuk tengkukku.
"Udah, kita lanjutin pelajarannya." Ucap Bu Welti.
Asen sedari tadi memainkan kursinya sehingga membuat Gino merasa kesal.
"Ngapain sih?"
"Gue, tuh penasaran sama adek Lo. Kenapa dia enggak ke kantin sih?" Tanya Asen pada Gino yang kini sedang menatapnya tajam.
"Dia di panggil sama Bu Welti tadi." Jelas Morgan.
"Ngapain?" Tanya Bian yang ikutan nimbrung.
Morgan sedikit ragu tetapi tadi ketika ia masuk ke ruang guru ia samar-samar mendengarkan percakapan antara Gina dan Bu Welti mengena olimpiade Biologi.
"Dia ditawarin ikut olimpiade Biologi." Jawab Morgan.
Mereka tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Morgan termasuk Regan.
"Padahal baru masuk tapi udah di tawarin ikut olim?" Heran Regan.
"Si Gina tuh jenius. Banyak piala dia berjejer di rumah." Keluh Gino.
"Gue kira cuma panjangan doang. Nyatanya itu beneran piala." Komen Asen.
Mereka sering main ke rumah Gino dan mereka melihat banyak piala di sana. Dan piala itu bukanlah piala kaleng-kaleng.
"Udahlah enggak usah bahas dia lagi. Males gue." Kesal Gino.
Kelas mereka sekarang ini sedang jam kosong. Dan bagaimana bisa mereka berlima sekelas? Ya, karena mereka mau sekelas. Karena sekolah ini adalah swasta maka dengan mudahnya mereka berlima meminta untuk di satukan.
"Entar kita main ke rumah Lo ya." Ucap Asen tiba-tiba.
Gino menaikan sebelah alisnya, "ngapain main ke rumah gue?"
Asen cuma cengengesan dan Bian tahu kemana arah otak Asen. Si Asen pasti pengen modus sama Gina.
"Ya, enggak papa. Numpang makan." Jawab Asen santai sambil menepuk bahu Gino.
"Dia tuh pengen ketemu sama adek Lo." Ucap Morgan dingin.
Gino menghela napas panjang, "kalau mau ketemu ya samperin aja. Nanti kan bakalan ketemu juga di parkiran. Ngapain harus ke rumah gue segala sih." Heran Gino.
Asen malah tertawa, "ya gue mau ngobrol banyak lah sama dia." Jelasnya.
"Terserah." Ketus Gino.
Regan melirik Morgan yang tampangnya seperti ingin memakan orang.
"Kenapa Lo?" Tanya Regan.
Mau tak mau semua langsung menatap kearah Morgan.
"Enggak papa." Jawa Morgan.
"Apa mungkin karena Gina bakalan ikut oleh Biologi makanya Lo khawatir bakalan kalah?" Tanya Bian dengan nada bercanda.
Dan yang sedang di berandai malah memasang wajah horor membuat Bian langsung diam.
"Gue enggak takut kalah ya. Lagian di kamus gue enggak ada tuh yang namanya kalah." Kesal Morgan.
Asen menendang pelan kursi Bian, "jangan pancing dia." Ucap Asen dengan gerakan bibir tanpa bersuara.
"Tapi, gue denger-denger sih si Gina memang pinter banget. Lo kan lihat sendiri berapa banyak piala yang terpampang di rumah Gino." Ucap Regan yang disambut tatapan tajam oleh Asen.
"Nih anak malah nambahin minyak kedalam api." Batin Asen.
"Adek Lo belajar setiap hari atau gimana kok bisa pinter banget?" Tanya Bian sambil cengengesan.
Morgan yang kesal diam-diam memekakkan telinganya.
Gino berpikir sejenak dan dia sama sekali tak tahu bahwa Gina bisa sepintar itu karena mereka berpistol sejak SD dan baru sekarang mereka ketemu lagi.
"Gue enggak tahu. Tapi, yang jelas dia dari kecil memang suka banget belajar. Waktu dia belum pindah ke asrama, dia selalu belajar sampek pagi. Saking sukanya belajar dia enggak ada waktu untuk main. Dia selalu bimbel dan bimbel." Gino mencoba mengingat tentang Gina.
"Masak sih?" Ucap Morgan tak percaya.
Mereka berempat melihat kearah Morgan. Bian mencoba menahan tawanya. Karena dia yakin bahwa Morgan sangat penasaran dengan sistem belajar yang digunakan oleh Gina.
"Iya." Jawab Gino malas.
"Kalau gitu wajar aja sih kalau dia pinter." Batin Morgan.
Ada sesuatu yang menganggu pikiran Morgan, untuk apa Gina mati-matian belajar samapi ia tak memiliki waktu untuk bermain?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments