Aku mendengar suara motor masuk kedalam garasi dan aku yakin bahwa Gino baru pulang dari balapan.
Aku pura-pura pergi ke dapur untuk mengambil minum setelah itu aku ingin kembali ke kamar ku dan langkah ku terhenti ketika aku melihat Gino pulang dengan keadaan yang membuat ku senang.
"Ngapain Lo?" Sinis Gino.
Ngapain? Ya jelas menunggu mu. Melihat wajah mu yang babak belur membuat ku bahagia. Karena aku tak bisa memukul mu maka kamu haus sering-sering di pukuli sama orang.
"Ambil minum. Kamu kenapa kok mukanya kayak gitu?" Tanyaku.
Aku memasang wajah panik dan khawatir dan mendekatinya.
"Bukan urusan Lo!" Bentaknya.
"Ini minum dulu." Ucapku sambil menyodorkan gelas.
Dan dia menepis tanganku kasar sehingga gelas yang ku pegang pun terlepas dari genggaman ku.
"Enggak usah sok perduli! Lo pasti ketawa kan dalam hati." Sorot mata Gino terlihat marah.
Sial, hampir aja aku mau ketawa. Tapi, yang dia katakan enggak salah sih. Aku rasanya pengen ketawa tapi enggak mungkin aku ketawa depan dia. Dia enggak berhak lihat tawaku yang manis ini.
"Aku obati ya." Aku bergegas pergi mengambil kotak P3K dan buru-buru menghampiri Gino yang masih berdiri di tempatnya.
"Duduk-duduk." Ajak ku.
Gino awalnya menolak tetapi anehnya dia malah nurut sama aku. Kalau dia nurut kan enak. Jadi aku sama dia enggak perlu adu bacot setiap hari.
Melihat Gino yang hanya diam saja, aku pun langsung membersihkan lukanya dan mengobatinya.
"Nggrokkk."
Begitulah kira-kira suara dia ngorok. Aku yang serius ngobatin dia, eh dia malah tidur dengan tampang tak berdosa.
Padahal dulu dia yang bunuh aku. Kali ini aku enggak akan biarin dia bunuh aku lagi.
"Kak, tidurnya di kamar aja. Jangan disini nanti lehernya sakit." Ucapku mencoba untuk membangunkannya.
Memang dasar kebo mau di bangunin pakai cara apa aja susah. Jadinya aku tinggalin dia aja.
Awalnya aku mau langsung tidur tapi misalnya besok dia bangun pasti bakalan mikir kalau aku sengaja tinggalin dia.
Karena aku ingin terlihat baik maka aku turun lagi dan membawa bantal serta selimut untuknya.
"Semoga besok aku bisa bersantai tanpa adanya suaranya." Harap ku.
Aku pun langsung terlelap dan kali ini aku ingin tidur dan tidur.
Keesokan paginya aku terbangun gara-gara suara Gino yang mengendor pintu kamarku.
Aku sih males ya. Jadi, aku milih untuk tarik selimut dan lanjut tidur.
Brakkkk
Pintu dibuka dengan paksa sampai engsel pintu rusak. Dan aku pun langsung duduk karena kaget.
"Dibangunin enggak bangun-bangun! Simulasi mati!" Ejeknya.
"Kenapa?" Tanyaku menahan ngantuk.
"Sekolah!" Tegasnya.
Hah? Aku mengucek mataku dan mengorek telinga ku. Aku enggak mungkin salah denger kan? Sekolah? Harusnya kan besok aku sekolahnya. Hari ini aku masih harus istirahat.
"Besok aku sekolahnya." Ucapku sambil naik ke atas kasur lagi. Tapi, sialnya Gino menahan tanganku sehingga aku harus berpisah dengan kasur yang baru temui belum 24 jam.
"Jangan malas. Lo harus sekolah hari ini. Dan berangkat bareng gue." Ucapnya.
Aku langsung melek detik itu juga. Padahal kita enggak sedekat dan seakrab itu sampai berangkat sekolah bareng.
Biasanya juga dulu aku yang mohon-mohon untuk berangkat bareng tapi dia selalu nolak dengan alasan yang enggak masuk akal.
"Kalau enggak Lo, bakalan gue aduin ke ayah." Ancamnya.
Mendengar kata ayah aku langsung merinding. Di masa lalu dan masa depan aku selalu saja takut padanya.
"Iya, tunggu ya." Ucapku.
"Gue tunggu di bawah." Setelah itu Gino pergi.
Dan aku langsung bersiap-siap. Mandi, ganti seragam, pakai kaus kaki, sepatu dan apa lagi yang kurang?
"Oh iya buku. Aku bawa buku betapa ya? Satu aja cukup kali ya? Eh kalau satu aneh kan ya?"
Aku asal memasukkan buku kedalam tas dan langsung turun ke bawah untuk ikut sarapan dengan Gino.
"Ayah, mana?" Tanyaku yang tak melihat ayah.
"Di luar negeri." Jawabnya cuek.
Aku mengangguk dan ikut sarapan bersama dengan Gino.
Setelah sarapan aku berangkat bersamanya. Awalnya aku menolak tapi dia maksa. Ya udah deh jadinya berangkat bareng sama dia.
"Siapa tuh cewek yang bareng Gino?" Tanya Jihan pada Zeta.
Zeta hanya diam dan mengamatinya Gino yang kini sedang membantu Gina melepaskan helem.
"kenapa helem bisa nyangkut di kepala Lo sih." Heran Gino.
Dasar kakak enggak punya perasaan dia main asal tarik aja nih helem sampek kepalaku rasanya mau ikut kecabut.
"Nah, gini kan dari tadi." Tawanya setelah berhasil melepaskan helem dari kepala ku.
"Mereka kelihatan serasi. Apalagi Gino yang ketawa karena cewek itu. Kan enggak biasanya Gino ketawa. Apalagi sampek selepas itu." Komentar Jihan.
Lagi dan lagi Zeta hanya mengangguk Gina yang meninggalkan Gino dan Gino yang mencoba untuk berjalan beriringan dengan Gina.
"Ikut gue. Gue anterin ke ruang guru." Ajak Gino.
Aku sih ngikut aja. Aku merasa akrab dengan sekolah ini. Dan hal ini semakin membuat ku yakin bahwa aku tidak berhalusinasi. Aku benar-benar bisa melihat masa depanku, ataupun aku kembali ke masa lalu? Entahlah aku bingung dengan keadaan ini.
"Ini ruangannya. Gue balik kelas dulu."
Aku masih berdiri di sini dan Gino udah menghilang entah kemana.
Dan pada akhirnya aku bertemu dengan wali kelasku dan mengajak ku pergi ke kelas.
"Perkenalkan namaku Gina Marlela. Panggil aja Gina. Asal sekolah ku SMA Raflesia. Salam kenal semuanya, semoga kita bisa akrab." Ucapku memperkenalkan diri.
Semuanya tampak baik-baik saja di awal. Dan aku harus berhubungan baik dengan mereka supaya ketika aku berbuat salah atau ada orang yang mencoba menjelekkan ku, maka mereka akan percaya padaku.
"Gina, kamu duduk di samping Jino." Ucap Bu Ani.
"Baik, Bu." Ucapku sambil tersenyum manis.
Aku duduk bersama dengan Jino. Cowok ini pura-pura cupu padahal dia suhu dan dia anak orang kaya. Bapaknya aja mafia.
"Salam kenal Jino." Ucapku sambil mengulurkan tangan.
Dia menatap tanganku lama, samapi pegel rasanya.
"Jino." Ucapnya tanpa menjabat tangan ku.
Aku tetap tersenyum walaupun aslinya aku sangat kesal padanya.
Selintas bayangan muncul di ingatan ku. Bahwa dulu aku juga ikut menindaknya. Bahkan setelah aku mati di tangan Gino dan geng Insta, Jino mengambil jasad ku dan melemparkan ke kandang harimau kesayangannya.
"Kenapa?" Tanya Jino yang risih karena sedari tadi tanpa ku sadari aku memandanginya.
"Em, boleh lihat buku paketnya enggak?" Tanyaku sambil tersenyum.
Jino tak menjawab tetapi dia menggeser bukunya.
"Makasih." Ucapku.
Dan dia hanya diam saja. Ku rasa wajar saja dia di buli oleh orang-orang karena sifat-sifat ini. Ya walaupun penampilannya cupu, dia enggak aka di buli kalau dia enggak nyebelin kayak gini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
hiro😼
Bjiirr dilemparin cokk
2023-12-31
1