Antara Trauma dan Takut Kehilangan

Di dalam kamar inap rumah sakit, Yuda terbaring pingsan tak sadarkan diri di atas ranjang. Zia sedari tadi tak bisa menghentikan air matanya, walaupun Merisya dan Evan sudah membujuknya.

Antara masih trauma dengan kejadian yang baru saja menimpanya, Zia juga takut jika kehilangan orang yang disayanginya lagi. Melihat luka di perut Yuda yang cukup parah karena pukulan bertubi-tubi dari lelaki asing tadi.

Walaupun, Yuda sudah menyakiti hatinya, namun Zia sudah melupakan semua itu.

"Maafkan Zia om, ini ... ini semua salah Zia, Zia rela menerima konsekuensinya" ucap Zia terbata sambil menunduk dalam. Dia merasa sangat bersalah, dan berpikir Yuda terluka karena dirinya.

Pria paruh baya, berbadan jangkung, dengan memakai blazer hitam, celana kantoran serta sepatu pantofel hitam, mendekat ke arah Zia. Memegang kedua pundaknya.

"Semua ini bukan salah kamu, anak om hanya ingin menyelamatkan cintanya, itu saja. Jika om di posisinya, tentu om juga akan pergi bertarung demi menyelamatkan gadis pujangga hati om. Sekalipun, nyawa taruhannya." jawab Andika, papa Yuda dengan tersenyum lembut.

"Zia ..." lirih Yuda yang baru saja sadar, mengalihkan atensi semua orang.

Zia segera mendekat ke arah Yuda dan meraih tangannya, "Zia di sini," Zia mencium punggung tangan Zia, tersenyum haru, hatinya merasa lega melihat Yuda sudah siuman.

"Hei, my princess jangan nangis, nanti manisnya hilang, gula jadi nggak punya saingan loh nanti" goda Yuda sambil menghapus air mata di pipi Zia.

"Zia ... takut, takut sekali ... jika ..." Zia mulai menangis.

"Shut, gue udah sembuh kok sebenarnya, perawatnya aja yang terlalu lebay. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, gue janji bakal selalu di samping kamu. Tenang aja." timpal Yuda lalu mencium tangan halus Zia. Dan menghapus air matanya.

Andika yang ada di samping kanan Yuda, "Betapa beruntung kau Yuda, memang buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Zia adalah anak yang baik, sama seperti kedua orang tuanya dahulu. Mereka yang telah berjasa saat kondisi finansial kita hancur. Jaga Zia baik-baik." pinta Andika dengan serius.

"Tentu pa, tanpa disuruh, Yuda pasti akan selalu menjaganya" Yuda segera menatap paras cantik Zia, mengelus pipinya.

"Bagus"

"Cepat sembuh yah bro, jangan lama-lama sakit, nanti Zia jadi hambar" sahut Evan.

"Hambar maksudnya??" tanya Yuda tak paham.

"Yah hambar, soalnya gulanya keseringan nangis" Zia yang tersipu malu segera menoer lengan Evan, ini anak suka sekali menggoda orang yang lagi sedih.

"Ah, nggak salah kan?" sambung Evan. Semua orang tergelak. Zia masih tersipu. Ada-ada saja.

***

Di sebuah desa kecil di Wonosari, Malang, Jawa Timur. Desa tersebut terletak di pegunungan serta tak jauh dari kebun teh. Sehingga keindahan alam tak lepas dari pandangan.

Raidhan yang sedang menyalakan tungku api dengan kayu bakar. Raidhan anak yang baik, selalu membantu pekerjaan ibunya.

"Rai, apa nggak waktunya kamu melanjutkan sekolah?" tanya ibunya yang sedang memarut kelapa.

"Nggak Bu, Raidhan nggak mau membebani ibu karena biayanya, Raidhan juga nggak tega ninggalin ibu sendirian di sini." balas Raidhan tersenyum lembut.

"Kalau soal biaya, kamu kan pernah ditawari beasiswa oleh pihak sekolah, itu bisa digunakan. Jangan pikirkan ibu nak, di sini banyak orang yang peduli dengan ibu..." ujar Ambar lembut.

Raidhan terdiam sejenak, "Yasudah nanti Raidhan pikirkan lagi" lanjutnya.

***

Kini Zia sedang duduk merenung menikmati gemericik air dari pancuran kolam ikan yang ada di luar kamar,

"Mama, mama, Adel mau makan itu" Ucap seorang gadis kecil yang digandeng mamanya. Sambil menunjuk orang yang sedang makan es krim.

"Iya sayang nanti kita pergi beli yah" jawab mamanya tersenyum.

"Hore, asyik!!!" serunya girang.

Zia yang melihat itu, tiba-tiba teringat akan kedua orang tuanya.

"Seandainya mama dan papa masih ada, Zia nggak akan kesepian seperti sekarang ini." ucap Zia murung.

"Lo nggak sendirian kok," kata seseorang dari belakang membuat Zia terperanjat, segera membalikkan badan.

"Kakak di sini?"

Evan kemudian duduk di sebelah Zia,

"Memang berat jika ditinggal pergi orang yang kita sayang selamanya, bahkan keduanya sekaligus. Terlepas dari semua itu, masih banyak yang menyayangimu dengan tulus." ujarnya menatap lembut Zia dan mengelus kepala gadis itu.

Zia mulai menitikkan air mata, "Kakak" lalu berhambur memeluk Evan.

"Sudah, lampiaskan semuanya, kakak di sini" Evan mengelus punggung Zia.

Zia terbaru, sangat bersyukur memiliki kakak yang selalu baik kepadanya serta banyak yang masih menyayanginya dan peduli kepadanya.

Sebuah hati akan rapuh, ketika telah menemukan tempat sandaran hatinya. Tak melihat, seberapa kuat dia bertahan menahan luka.

***

Malam datang menggantikan siang. Sang rembulan berpijar beserta bintang-bintang di langit yang cerah.

Di dalam kamar rawat inap, Yuda masih terbaring di ranjang dengan Zia yang setia menemaninya. Perawat baru saja keluar dari kamar, setelah mengganti perban di perut Yuda.

"Zia, tante tinggal pulang sebentar ya, mau ambil baju ganti. Kamu tetap di sini jaga Yuda." pamit Merisya sudah menenteng tasnya.

"Iya tante, hati-hati di jalan" balas Zia tersenyum.

Zia sekeluarga memutuskan menginap di rumah sakit untuk menemani Yuda, melihat kondisinya masih parah, Andika tidak bisa menemani lama sebab sibuk dengan pekerjaannya.

Merisya pun keluar dari kamar, menyisakan Zia bersama Yuda.

"Zia, Lo tahu kenapa gue nggak beri tahu Lo jika mau pergi ke Perancis buat bantuin papa mengurus proyek barunya?" tanya Yuda dengan raut wajah mulai serius.

Zia yang mengelus pundak tangan Yuda, "Nggak, kenapa emangnya?" Zia mulai penasaran.

"Awalnya, Gue mau pamit ke Lo dulu, tapi Sebastian nawarin biar dia aja yang beritahu Lo sendiri nanti dan supaya gue yang saat itu juga terburu-buru sebab papa memberitahunya mendadak, bisa langsung berangkat ke Perancis." Yuda mengaku.

"Dan, soal gue mengganti nomor itu juga atas saran dari Sebastian. Bodohnya gue waktu itu telah memercayai pria licik seperti Sebastian." sambung Yuda penuh penyesalan.

"Namun, ketahuilah Zia ... gue sangat mencintaimu dan nggak akan pernah terpikirkan buat menjauhi atau menduakan Lo." sambung Yuda sembari mencium tangan Zia.

"Iya, Zia percaya, maafkan Zia sudah salah paham waktu itu dan nggak mau mendengar penjelasan dari Yuda" timpal Zia dengan sedih.

"Gue juga minta maaf, udah buat Lo khawatir"

"Sekarang, kita pacaran lagi?" tanya Yuda.

Zia mengangguk setuju, merekapun berpelukan. Tak tahu jika Evan baru saja kembali dari kantin,

"Ekhem, ini rotinya" ucapnya membuat kedua insan itu tersipu malu.

"Iya, makasih, taruh aja di atas nakas." pinta Zia.

"Mama di mana?" tanya Evan menyadari Merisya tidak ada di dalam kamar.

"Tante tadi izin pulang sebentar untuk mengambil baju ganti kita." jawab Zia dan dibalas Evan dengan anggukan.

"Makan yah, Yuda belum makan dari tadi siang" tawar Zia.

"Nggak mau, maunya disuapin" balas Yuda merengek seperti anak kecil.

"Kayak anak kecil aja, makan pake disuapin, sini biar gue yang nyuapi" sahut Evan, mengambil bubur di tangan Zia.

"Maunya hanya disuapi Zia." timpal Yuda menggeliat. Bibirnya di manyunkan.

Zia pun menghela napas panjang, mengambil kembali mangkuk bubur dari Evan.

"Yasudah, sini, biar Zia suapin." dan benar saja, Yuda langsung mau makan dengan lahap.

Evan melihat itu, seakan mau memuntahkan isi perutnya. Mengingat, cowok itu tidak memiliki pasangan alias jomblo.

Memang benar, jika orang sudah jatuh cinta, semua bisa dilakukannya termasuk hal se absurd ini.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!