Perdebatan

Apa yang dirasakan Rania saat ini. Bukan seperti apa yang dirasakan oleh wanita yang baru menikah. Kebahagiaan, kebebasan seakan menjauh dari kehidupan Rania.

Sama seperti Ayumi yang mengurus Sofia sendiri sejak bayi. Begitu juga keinginan para orang tua. Mereka menginginkan Rania mengurus Rio tanpa bantuan baby sitter.

Rania ingin protes. Sebagai mahasiswa yang baru mendapatkan gelar sarjana. Jujur, Rania ingin bekerja. Tapi sayang, keinginan itu terpendam karena harus mengurus Rio. Bayi yang berusia hitungan Minggu itu butuh sosok seorang ibu.

"Sini, biar aku saja yang memberikan Rio susu."

Rania menatap Arya yang baru masuk ke kamar Rio. Sejak keluar dari kamar Arya. Rania berada di kamar bayi itu. Kamar itu terasa lebih nyaman untuk dirinya yang dilanda perasaan tak menentu.

"Sepertinya Rio sudah kenyang kak," jawab Rania. Dia meletakkan botol susu yang masih tersisa sedikit.

"Berikan Rio padaku. Di depan ada kekasihmu. Temui dia!"

Tubuh Rania menegang. Sungguh, saat ini dia belum siap untuk bertemu dengan Randi. Bukan tak siap untuk memberitahukan status saat ini tapi ini terlalu tiba tiba. Rania tidak ingin mematahkan semangat Randi. Apalagi, besok laki laki itu akan bekerja untuk pertama kalinya.

"Pergilah Rania. Temui dia. Kamu boleh merahasiakan pernikahan kita ini. Aku bisa memastikan dirimu masih suci ketika kita berpisah nanti. Kekasih mu tidak akan rugi jika kelak menjadi suami mu."

Rania memalingkan wajahnya. Pernikahan mereka memang terpaksa tapi tidak seharusnya membicarakan perpisahan di saat pernikahan itu masih hitungan jam. Entah mengapa kata kata Arya seperti ujung tombak yang menancap di hatinya.

Rania bisa paham mengapa sikap Arya seperti itu. Menolak dirinya dan akan memberikan imbalan atas pernikahannya. Tapi seharusnya laki laki itu juga paham jika Rania juga terpaksa melakukan pernikahan. Sebelumnya, Rania sudah menawarkan diri akan mengurus Sofia dan Rio tanpa adanya pernikahan. Tapi kedua orang tua mereka menolak dengan tegas. Para orang tua beralasan akan lebih tenang meninggalkan rumah itu juga Arya dan Rania terikat pernikahan.

"Aku tidak ingin penghalang kebahagiaan mu. Begitu juga sebaliknya. Tanpa kamu. Aku sangat yakin kami bertiga bisa hidup berbahagia."

Rania mengulurkan tangannya memberikan Rio pada suaminya itu. Dia tidak ingin berlama lama di kamar itu dengan Arya. Laki laki itu seakan sudah mempunyai gambaran tentang pernikahan mereka. Kata kata Arya kali ini sangat menyakitkan.

"Kakak bisa saja tidak butuh sosok istri. Karena sebagian peran istri bisa kamu dapatkan di luar sana dengan materi yang kamu punya. Tapi tidak dengan Sofia dan Rio. Sebanyak apapun materi yang kamu punya. Mereka butuh sosok yang tulus menyayangi mereka. Dan kedua orang tuamu mempercayakan itu padaku."

Rania tidak bisa menahan dirinya untuk membalas kata kata Arya. Jika Arya tidak membutuhkan dirinya setidaknya laki laki itu sadar jika kedua anaknya membutuhkan sosok ibu yang tulus.

Bisa jadi Arya memang tidak butuh sosok wanita yang menggantikan Ayumi di hatinya. Tapi sebagai laki laki dewasa, Arya pasti butuh kebutuhan biologis. Tidak adanya istri bisa saja dia mendapatkan kebutuhan itu dari wanita bayaran.

Lain hal dengan Sofia dan Rio. Mereka tidak bisa membeli ketulusan seorang wanita untuk berperan sebagai ibu mereka.

"Dan kamu merasa bangga karena kepercayaan kedua orangtuaku?. Jangan jangan kamu sudah lama menunggu momen ini supaya bisa menjadi istriku kan?"

"Apa????"

Rania memicingkan matanya. Merasa tidak percaya dengan perkataan laki laki itu. Perkataan Arya seakan dirinya menginginkan pernikahan ini dan sudah lama mengharapkan kepergian kakak kandungnya sendiri. Rania tidak sejahat itu. Kehilangan Ayumi seperti kehilangan separuh jiwanya.

"Asal kamu tahu ya. Yang paling kehilangan karena kepergian Ayumi adalah aku dan kedua orangtuaku. Orang tuaku kehilangan satu putrinya. Dan aku kehilangan saudara kandungku yang tidak tergantikan sampai kapanpun. Istri bisa diganti. Tapi kami tidak bisa mengganti sosok Ayumi dengan wanita manapun."

Rania berkata dengan dada yang bergemuruh hebat. Matanya juga sudah berkaca kaca karena tuduhan Arya yang tidak berdasar. Dengan tangan yang terkepal, Rania hendak meninggalkan kamar itu tapi suara Arya menghentikan langkahnya.

"Tenangkan dirimu sebelum keluar dari kamar ini. Jangan sampai mereka menduga kita bertengkar."

"Lebih baik mereka mengetahui semua yang kamu ucapkan tadi. Jangan sampai mereka berpikir kita baik baik saja. Nyatanya tidak."

Rania menatap Arya yang sedang mengelus kepala Rio. Sungguh, tidak ada terlihat rasa bersalah di pancaran matanya. Rania tadi berpikir laki laki itu akan meminta maaf atas kata katanya. Nyatanya Arya meminta dirinya untuk bersikap baik baik saja di hadapan para orang tua mereka.

Wajah Rania semakin memerah melihat sikap tenang Arya.

"Kamu sangat berbeda dengan Ayumi. Ayumi wanita yang baik dan lembut. Berbeda dengan kamu wanita yang pembangkang. Aku tidak yakin kamu bisa sosok ibu yang pas untuk kedua anakku."

"Terserah berpikir apapun tentang diriku."

Rania keluar dari kamar itu. Andaikan tidak ada bayi di kamar itu. Bisa dipastikan Rania akan membanting pintu untuk melampiaskan kekesalannya.

Keluar dari kamar Rio. Nyatanya Rania mengatur nafas dan berusaha mengendalikan diri dari kekesalan hatinya. Seperti perkataan Arya, Rania tidak ingin menunjukkan kekesalan hatinya kepada siapapun yang ada di rumah itu. Terutama pada Randi yang menunggunya di teras rumah.

"Mama sudah menyuruhnya pergi Ran."

Bukan Randi yang ditemui di teras melainkan mama Sonia. Sepertinya wanita yang melahirkan Rania itu baru saja menyuruh Randi pergi.

"Kamu sudah menjadi istri Arya. Selesaikan hubungan mu dengan Randi. Jangan sampai dia datang khusus menemui kamu lagi."

Rania tidak membantah kata kata mamanya. Benar kata wanita itu. Dirinya harus memutuskan hubungannya dengan Randi segera. Supaya laki laki itu tidak berharap banyak akan dirinya lagi.

Rania masuk beriringan dengan mamanya masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu berkumpul kedua mertuanya dan papanya. Melihat Sofia tidak ada di sana. Rania berbelok menuju kamar Sofia.

"Tante Rania, Sofia," jawab Rania ketika Sofia bertanya siapa yang mengetuk pintu kamarnya.

"Masuk Tan."

Rania bernafas lega. Sofia tidak menolak dirinya masuk.

"Sofia?. Rania menyentuh bahu Sofia yang berbaring di ranjang dengan membelakangi pintu kamar. Anak itu tidak bergeming. Ketika Rania membalikkan tubuh anak itu. Rania terkejut. Wajah Sofia basah dengan air mata.

Rania membawa Sofia ke pelukannya. Di saat dirinya dan Arya berdebat dan merasa yang paling kehilangan. Ternyata Sofia yang paling kehilangan. Anak berusia sepuluh tahun itu tidak dapat menahan kerinduannya pada sang mama. Dia sudah paham jika mamanya meninggal dan tidak mungkin kembali lagi. Tapi ada hal lain yang sangat dikhawatirkannya dalam hati.

"Tante, benarkah mama tiri itu jahat?" tanya anak itu di sela sela tangisannya.

"Aku tidak mau mama tiri, Tante. Kata temanku mama tiri itu jahat dan membawa papa pergi."

Rania terkejut bercampur sedih dengan perkataan Sofia. Saat pernikahan tadi berlangsung. Sofia sedang tidur. Jika anak itu tahu jika dirinya sudah menjadi mama tirinya. Apakah Sofia juga mengatai dirinya jahat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!