Sementara itu Wena yang sudah sampai di rumah sendiri sore itu disambut ibunya dengan perasaan was-was.
"Ada apalagi anakku pulang ke rumah mendadak begini," gumam Wigati ketika melihat Wena berjalan dengan tanpa semangat memasuki rumahnya.
"Ini mungkin yang terakhir aku pulang ke rumah, Bu. Setelah itu aku akan menjadi penghuni rumah ini selamanya," kata Wena dengan hati hancur setelah duduk bersama ibunya di ruang keluarga.
"Denbosco mengusirmu lagi?" langsung saja Wigati menebaknya begitu.
"Dia tidak mengusir Wena. Tapi kehadiran gadis itu pada akhirnya nanti pasti akan mendorong Tuan Densbosco mengusirku pergi dari rumahnya."
"Ngomong yang jelas ibu tidak paham ada maslah apa?" Perasaan ibunya makin tudak karuan.
"Gadis bernama Aldina Muszart adalah biang keroknya. Gadis itu adalah adik kandung Meli Aldina, mantan istri pertama Densbosco yangvsudah beninggal itu."
"Lalu ada urusan apa gadis itu datang menemui Densbosco?"
"Ibu kok bertanya ada urusan apa. Ya suda jelas maksudnya dia mau menggantikan kakanya menjadi istri Densbosco."
"Terus kamu belum apa-apa langsung cemburu dan berprasangka seperti itu?"
"Ini memang baru perkiraanku. Tapi sangat mendekati kebenaran. Nantinya akan terjadi peristiwa turun ranjang. Sikap gadis itu sudah menunjukkan ke arah itu. Apalagi dia berani menantangku siapa yang bisa hamil duluan akan menjadi istri Tuan Densbosco."
"Kok kamu punya pikiran buruk seperti itu? Bukankah belum tentu terjadi. Cobalah kamu berpikirnya yang baik-baik saja dulu. Sehingga suasananya bisa lebih tenang untuk berpikir."
"Aku bukan berpikiran buruk, Bu. Tapi melihat dari sikapnya dia memang punya niat buruk datang ke rumah Drnsbusco. Nahkan sudah mengajakku berkompetisi siapa yang hamil duluan. Jelas kan kalau ingin menggantikan kakaknya menjadi istri Tuan Densbosco?"
"Kok ada wanita seperti itu, ya. Terang-terangan mau menjaili kamu."
"Aku sendiri heran, Bu. Mungkin karena dia merasa yang paling berhak menjadi istrinya Densbosco."
"Kamu juga punya hak. Malah kamu menjadi istri Densbosco melalui perjanjian tertulis. Bahwa Densbusco akan menjadi suamimu sampai kau menghasilkan keturunan untuknya."
"Halah perjanjian seperti itu bisa saja dia langgar. Ibu tidak tahu disamping licik Densbosco itu kejam."
"Apa dia tidak jera sudah dipenjara beberapa tahun sikapnya masih tetap saja licik dan kejam."
"Mungkin ya jera juga. Tapi siapa sih Bu ada gadis muda cantik di rumahnya dia tidak tergiur. Apalagi gadis itu malah sudah siap dinikahinya."
"Bukankah sejak pulang dari penjara Densbosco sudah terlihat baik kepadamu, Nduk?"
Pertanyaan itu justru membuat semakin sedih perasaan Wena. Memang Densbosco kelihatan sudah berubah sikapnya dibandingkan sebelum di penjara. Bahkan mencumbunya dengan sepenuh hati. Wena merasakan curahan kasih sayang dari pria yang dulu sangat ia benci itu.
Tak sadar Wena menitikkan air mata. Lalu diusapnya sendiri air yang membasahi pipinya itu.
"Aku tidak tahu kenapa hidupku terus dirundung cobaan demi cobaan seperti ini. Aku pernah berharap sekarang ini adalah masa kebahagiaanku hidup dengan Densbosco. Ternyata harapan itu menjadi keputusasaan saat ini."
"Maafkan Ibu ya, Nduk. Ibu tidak mengira hidupmu akan berlangsung seperti ini. Ibu dan almarhum ayahmu dulu sangat yakin kamu akan bahagia hidup bersama Densbosco. Karena dia kaya raya. Apa pun yang kau minta pasti akan terkabul."
"Sudahlah, Bu. Tidak perlu menyesali rencana Ibu dan Ayah yang ternyata kurang tepat itu."
"Sekali lagi maafkan ibu ya, Nduk. Ibu tidak pernah berhenti berdoa agar kamu cepat hamil dan melahirkan bayi keturunan dari Densbosco. Dengan begitu selesai sudah ikatan perjanjian kontrak rahim itu. Setelah itu kamu bisa bebas memilih hidupmu sendiri dengan perasaan bahagia."
Wena menitikkan air mata lagi. Sampai sejauh ini dia memang menjalani kehidupan ini bukan berdasarkan pilihannya. Tapi atas pilihan Ibu dan almarhum Ayahnya. Betapa sedihnya menjalani kehidupan bukan atas pilihannya sendiri.
"Sekarang kamu istirahat dulu, Nduk. Tenangkan dulu pikiranmu. Nanti kita bahas lagi bagaimana menghadapi masalahmu yang baru ini."
\*\*\*\*\*\*\*\*
Pagi merekah berwarna jingga.
Wena ketika membuka mata mengira masih tidur di kamar Densbosco. Tangannya yang meraba-raba ke samping tidak menemukan badan suaminya melainkan bantal guling.
Agak berat kepalanya ketika ia beranjak bangun dari tempat tidur. Dan tiba-tiba terasa perutnya mual ingin muntah. Maka segeralah Wena berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya yang pagi itu tentu saja belum terisi apa-apa. Sehingga hanya cairan kental yang meleleh dari mulutnya.
Beberapa kali ia menghoek di kamar mandi tapi hanya cairan itu yang keluar. Padahal kedua matanya sudah berair dan wajahnya memerah.
Wigati yang mendengar suara menghoek beberapa kali di kamar mandi segera menghampiri.
"Ya, Tuhan! Kamu kenapa, Nduk?" tanya ibunya belum menyadari kalau Wena muntah-muntah yang tidak wajar.
Hoeeekkh...hoeeeekh....hoeeeekh!!
"Ya, Tuhan! Kamu ini hamil, Nduk!" teriak Wigati kegirangan.
"Hufs..., lemes sekali badanku, Bu," suara Wena terdengar pelan. Lalu dihelanya nafasnya dalam-dalam.
"Ayo saya bantu kembali ke kamar. Kamu ndak usah ngapa-ngapain dulu. Tidur saja tanpa berpikir yang berat-berat. Jelas ini pertanda rahimu sudah mulai ada isinya," ujar Wigati senang.
"Apa iya, Bu. Sayang saya tidak bawa tespack untuk mengecek kebenarannya."
"Sudah kamu tidur saja dulu. Nanti kalau sudah agak reda mualnya kita ke puskesmas saja periksa," kata Wigati sambil membantu Wena merebahkan badannya.
"Sudah agak mending perasaan mualnya kok, Bu," kata Wena dan beranjak bangun lagi dari kasur.
"Apa sekarang saja kita ke puskesmas ya, Nduk. Tapi nanti saja pagi buta begini puskesmas pasti belum buka. Sudah kamu berbaring saja. Ibu buatkan teh manis, ya. Biar rasa mualnya hilang...," ribut Wigati bicaranya kesana-kemari saking senangnya.
Lalu perempuan paruh baya itu berlari ke dapur membuatkan teh manis hangat. Setelah diserahkan kepada Wena. Ia berlari lagi ke dapur menghidupkan kompor kembali yang tadi sudah dimatikan.
"Sarapan apa pagi ini yang cocok untuk Wena, ya" gumam Wigati lalu berlari lagi ke kamar bertanya kepada anaknya itu.
"Terserah Ibu sajalah mau apa. Tidak usah tegang dan gugup begitu."
"Masak sayuran saja, ya. Bagus untuk wanita yang lagi hamil."
"Halah! Ibu kok sudah yakin dan pasti kalau aku hamil. Apa tidak nanti saja hal itu dipastikan melalui pemeriksaan dokter, Bu. Bisa jadi saya mual dan muntah karena masuk angin," ujar Wena.
"Kamu kayaknya kok tidak bahagia. Ini bakal menjadi peristiwa luar biasa bagi Densbosco lho, Nduk. Bayangkan bertahun-tahun dia menunggu punya keturunan sekarang baru akan terkabul dari rahim istrinya yang terakhir."
"Itu kalau dia mau menerima bayi yang kukandung. Tapi karena sekarang sudah ada calon istrinya yang baru apa mungkin dia akan memilih keturunan itu dari rahimku."
"Apa yang kau ceritakan kemarin itu belum tentu benar, Nduk. Mungkin karena kamu terbawa emosi akibat pengaruh kehamilanmu ini."
Beberapa saat kemudian ibu dan anak gadisnya itu bersiap-siap untuk pergi ke puskesmas yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya.
Ketika mereka sampai di pagar depan, kakak Wena, Agung datang dengan muka kusut.
Agung mengabarkan sudah tidak bekerja lagi. Perusahaan sudah mengeluarkan surat hubungan kerja (PHK) kepadanya.
BERSAMBUNG
"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments