Hidup ini memang tidak pernah mulus jalannya. Selalu saja gangguan datang. Begitu yang dirasakan oleh Wena Ayu Eriyan. Ia pikir di rumah Tuan Densbosco yang bergelimang harta itu kini hanya ada dirinya saja. Tanpa pesaing yang menyakitkan. Namun ternyata kini muncul lagi sebuah ancaman yang lebih sengit.
"Kenalkan, Namaku Aldina Muszart. Masih cling belum pernah menikah," wanita muda yang baru datang di rumah Densbosco itu memperkenalkan diri kepada Wena Ayu Eriyan.
Melihat wajah dan bentuk tubuhnya, wanita ini mirip dengan Meli Aldina. Karena memang dia adik bungsu almarhum Meli yang tewas ditembak oleh Densbosko karena ketahuan berselingkuh dengan Dermawan Wibisana.
"Aku kecewa dengan penjaga pintu gerbang tadi. Memangnya mereka itu tidak mengenali wajahku yang hampir tidak ada bedanya dengan Kak Meli," kata wanita itu lagi.
"Sudahlah.... tidak usah kau permasalahkan lagi petugas jaga pintu yang tidak mengenalimu. Mereka memang kusuruh selektif mengijinkan tamu masuk untuk bertemu denganku," kata Tuan Densbosco yang menemuinya setelah baru saja mandi junub.
"Wena kamu mandi sana. Gantian aku yang menemani dia," suruh Densbosco setelah beberapa menit Wena menemui Aldina Muszart di ruang tamu.
"Oh itu to wanita yang Abang kontrak rahimnya," kata Aldina setengah mengejek setelah Wena pergi untuk mandi juga.
"Sekarang dia bukan lagi wanita yang rahimnya aku kontrak. Tapi dia sudah menjadi istriku sepenuhnya," kata Densbosco meluruskan pengertian Muszart.
"Abang sangat menyayangi dia?" ucap Muszart lebih terkesan mencemooh.
"Iya, saya bahkan sangat mencintainya," balas Densbosco penuh percaya diri.
"Abang percaya dia bisa hamil?" cemooh wanita muda itu lagi.
"Pada dasarnya semua wanita itu bisa hamil. Tinggal kapan dia akan menerima anugerah itu dari Tuhan."
"Luar biasa...! Ternyata abang sekarang sudah banyak berubah. Mungkin karena banyak mendengarkan ceramah agama di penjara ya, Bang?"
Densbosco sekarang memang berusaha bersikap baik. Emosinya yang sering muncul tiba-tiba selalu ia rem agar tidak keluar. Termasuk ketika mendengar pujian Aldina Muszart, emosinya ia tahan untuk tidak menempeleng mulut yang selalu menyemburkan kalimat menyindir itu.
"Tahu apa kamu tentang penjara, orang belum pernah mengalaminya," lunak sekali Densbosco menanggapi kalimat adik iparnya itu.
"Maaf Bang aku bukan bermaksud mengejek tapi Abang memang pantas aku puji begitu."
"Aku tidak butuh pujian. Karena biasanya orang yang memuji itu punya maksud tertentu," kata Densbosco kesal. Belum mengatakan maksud adik iparnya itu datang ke rumahnya tiba-tiba sudah memujinya.
"Ok, aku kesini bukan untuk bermusuhan dengan Abang. Walaupun Abang telah membunuh kakak kandungku. Aku kesini bermaksud untuk mohon maaf serta memperbaiki citra Kak Meli yang buruk itu."
Kata-kata gadis itu tidak lebih dari bersilat lidah. Karena sebenarnya dia punya maksud tersembunyi yang hanya dirinya sendiri yang tahu.
"Baguslah kalau kau punya niatan baik seperti itu. Terus apa rencanamu sekarang?"
"Agar tidak putus hubungan silaturachim dan kekeluargaan yang selama ini telah terjalin baik, aku ingin tinggal disini beberapa waktu saja. Sekalian aku ingin mempraktikan ilmuku dengan bekerja di perusahaan Abang."
"Kamu sudah lulus sarjana? Baguslah. Mulai besok saja kamu masuk ke jajaran manajemen. Sesuai ilmumu itu kan?" Densbosco menyambutnya dengan baik.
"Betul Bang?! Saya senang sekali Abang kasih di bagian itu. Mudah-mudahan kehadiranku bisa memberikan angin segar bagi perusahaan Abang."
Maka Aldina Muszart menjadi anggota keluarga baru di rumah Densbosco. Pembawaan gadis itu yang selalu ceria dan lincah serta pandai berbicara, beberapa hari kemudian menjadi cepat akrab dengan semua orang yang ada di rumah Densbosco.
Tapi ada satu orang yang tidak suka dengan Aldina Muszart. Yaitu Wena Ayu Eriyan. Bukan karena Wena sirik dengan keadaan gadis itu yang lebih muda dan cantik. Namun sikap gadis itu yang selalu ingin bermusuhan kepada Wena.
Lima hari setelah tinggal di rumah dan bekerja di perusahaan Densbosco, Aldina Muszart sudah terang-terangan mengatakan ingin berkompetisi dengan Wena. Apa yang dimaksudkan kompetisi itu tidak lain adalah bertarung untuk merebutkan perhatian dari Densbosco.
"Aku tidak ingin bertarung karena Densbosco sekarang sudah menjadi milikku. Kenapa mesti susah-susah bertarung denganmu?" Kata Wena ketika mereka ada kesempatan bicara empat mata di kantor.
"Pengecut! Tidak usah banyak bacot. Kamu takut kalah bertarung denganku, kan?" Aldina berusaha memancing emosi Wena.
"Aku tidak takut kalah. Tapi buang-buang energi saja untuk suatu hal yang tidak penting itu," Wena masih tetap tenang.
"Halaah! Bilang saja kamu menyerah dan Densbosco akan saya suruh kamu meninggalkan tempat ini," serang Aldina sengit.
"Wanita tidak tahu malu! Mau merebut suami orang dengan cara tidak sportif," Wena mulai terpancing emosinya.
"Saya sportif. Buktinya aku terang-terangan mengajak kamu berkompetisi. Bukan diam-diam menohok dari belakang."
"Memangnya tidak ada pria yang lebih baik lagi dari Densbosco di otakmu. Sampai mati-matian mau kau rebut dariku?"
"Kamu tidak paham maksudku. Aku mengajakmu berkompetisi bukan untuk merebutkan Abang iparku. Tapi untuk merebutkan keturunannya. Siapa diantara kita yang bisa hamil lebih dulu. Aku atau kamu," Muszart menjelaskan tujuannya mengapa dia mengajak bertarung dengan Wena.
"Kamu sama liciknya dengan kakakmu. Bilang saja kalau kamu ingin memiliki Densbosco beserta harta kekayaannya. Tidak perlu berdalih macem-macem merebutkan keturunannya."
"Ya boleh saja kamu bilang aku licik. Tapi kamu sendiri lebih licik dari Kak Meli."
"Darimana kamu melihat aku lebih licik dari kakamu. Aku ini malah jadi korban kelicikan kakakmu."
"Kamu tidak licik bagaimana. Pura-pura menyodorkan tubuhmu hanya untuk dikontrak rahimnya. Tapi sebenarnya kau ingin menguasai semuanya yang dimiliki Densbosco."
"Meli meninggal bukan karena diriku. Queen cerai juga bukan karena aku. Semua terjadi karena sudah takdir Illahi. Bukan karena atas rekayasa atau kelicikanku. Ngawur kamu kalau bicara," Wena emosi.
"Sudah tidak perlu banyak bicara kamu siap tidak berkompetisi?"
Jengkel juga melihat Aldina terus ngotot begitu. Tapi Wena pesimistis melayani tantangan itu. Bagaimana tidak. Sejak pertama berhubungan dengan Densbosco belum nampak dirinya akan hamil. Kenyataan itulah yang membuatnya keder ditantang Aldina Muszart.
"Bagaimana kau terima tantanganku?"
Gila! Benar-benar gila gadis ini, gumam Wena.
"Ok. Tapi pertandingan itu harus berjalan sportif," jawab Wena akhirnya.
"Maksudmu?"
"Bisa saja kamu hamil lebih dulu dengan lelaki lain tapi mengakunya dengan abang iparmu. Mudah kan wanita seperti kamu melakukan perbuatan seperti itu. Sama juga almarhum kakakmu."
"Gila kamu! Aku masih perawan dan keperawananku tidak akan kuberikan kepada siapa pun kecuali suamiku!"
"Siapa yang bisa tahu kalau kamu masih perawan. Bisa saja di KTP statusmu gadis padahal sudah tidak perawan." Wena terus memojokan Muszart.
"Setan! Sialan kamu, Wen!" Serunya seraya beranjak meninggalkan ruang yang tadi untuk berdebat.
Sebuah ruangan yang tertutup dan kedap suara. Ruangan itu biasa digunakan untuk rapat penting para staf dan Tuan Densbisco. Sehingga bisa dipastikan tidak akan ada orang yang melihat atau mendengar pembicaraan mereka.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments