P R O V O K A S I

Satu bulan berada di Densbosco Corporate Aldina Muzart sudah seperti pemilik perusahaan itu.

Pembawaannya yang judes dengan suaranya yang lantang membuat semua karyawan takut dan lebih baik menghindar darinya daripada bermasalah.

Sementara Wena Ayu Eriyan sebagai CEO malah kalah power. Tapi kedua wanita itu karena sebagai wakil atau kepanjangan tangan dari bos besar Tuan Densbosco, maka masih tetap dihormati oleh seluruh karyawan.

Perbedaannya apabila Aldina Muszart memimpin dengan tangan besi, Wena Ayu Eriyan menjalankan tugas yang diserahkan kepadanya dengan tangan dingin dan hati sejuk.

Hari itu Muszart memanggil dua anak buahnya Agung Putra Sengkuyung dan Nandia ke kantornya.

Mereka didamprat habis-habisan tanpa mereka mengerti apa kesalahan mereka. Bahkan diancam akan dikeluarkan dari perusahaan bila tidak bisa memperbaiki diri dalam waktu singkat.

"Apa Maksudnya kamu bertindak sewenang-wenang begitu?" tanya Wena dengan sikap kesal di depan meja kerjanya.

"Ya tidak apa-apa," jawab Aldina santai.

"Mereka itu salah apa sampai diancam akan kau pecat?" tanya Wena lagi.

Kali ini Wena sudah tidak mau toleransi lagi kepada Aldina Muszart yang semakin menjengkelkannya itu.

"Tidak perlu kau ikut campur dalam urusanku. Selain memegang manajemen saya diperintahkan sebagai HRD. Jadi wajar kalau saya memanggil mereka sebagai pembinaan," kata Muszart beralasan.

"Mestinya kau sampaikan dulu apa kesalahan mereka. Jangan ada karyawan yang tidak bersalah kau damprat yang tidak jelas. Kau tahu mereka semua itu karyawan senior. Tidak seperti kamu yang baru sebulan disini gayanya sudah seperti pemilik perusahaan ini," omel Wena sengit.

"Memang sekarang aku bukan pemilik. Tapi sebentar lagi mereka semua akan tunduk kepadaku. Termasuk kamu," Muszart menunjukan sikap arogansinya kepada Wena.

"Tunduk? Tunduk apa? Ini yang kau maksud tunduk!" kata Wena dengan menonjok muka gadis itu.

Wena memang sudah sangat emosional. Bagaimana tidak. Agung Putra Sengkuyung adalah kakak kandungnya. Sedangkan Nandia adalah teman akrabnya. Jelas sekali bahwa Aldina Muszart tendensius dalam menjalankan jabatannya. Sengaja memilih karyawan yang dekat dengan Wena untuk ia buat mainan.

Aldina malah senang melihat Wena tersinggung dan marah. Ternyata provokasinya berhasil. Dengan menonjok muka Aldina hal itu justru menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan Wena di depan Densbosco.

Benar. Sepulang kerja dia langsung menemui Densbosco di rumah. Sedangkan Wena belum pulang. Karena masih menyelesaikan tugas-tugasnya lebih dulu di kantor. Dia bekerja lebih serius daripada Akdina Muszart yang punya tujuan lain bekerja di Densbosco Corporate.

"Abang lihat merah muka saya ini. Dia sudah menjadi wanita bar bar di kantor. Abang harus usir dia dari perusahaan. Kalau perlu pulangkan saja ke rumah ibunya," kata Aldina Muszart dengan sikap arogan. Tidak berpikir apakah abang iparnya itu suka atau tidak suka dengan sikap arogansinya itu.

"Aku tidak percaya Wena yang lembut itu bisa memukulmu seperti itu. Kalau kamu tidak cari gara-gara lebih dulu tidak mungkin dia akan menonjokmu ," kata Densbosco dengan suara datar.

"Tanyakan sendiri nanti kepadanya kalau Abang tidak percaya." Kata Aldina seolah Densbosco itu lebih dari kakak iparnya.

Tidak lama setelah itu nampak Wena pulang. Dia melangkah ke dalam rumah dengan muka cemberut. Melihat Densbosco sedang duduk dengan gadis yang baru ditonjoknya itu ia cuek saja masuk ke dalam kamarnya.

"Lihat! Abang tahu sendiri. Angkuh sekali kan sekarang sikapnya. Abang yang suaminya sendiri saja dicuekin. Apalagi saya," ungkap Aldina Muszart memprovokasi Densbosco.

Dikatain begitu tentu saja perasaan Densbosco langsung terusik. Dia lalu berdiri dari kursinya dan menyusul Wena yang sudah berada di kamar.

"Kamu ada masalah apa dengan dia, sampai kamu tonjok mukanya?" tanya Densbosco langsung.

"Dia cuma saya peringatkan agar bersikap baik kepada karyawan. Jangan sewenang-wenang menghukum karyawan yang tidak bersalah dan sudah bekerja dengan baik selama ini."

"Kenapa sampai kau tonjok. Bukankah bisa kau ingatkan dengan cara lain," Densbosco tak suka kekerasan terjadi lagi di dalam keluarganya.

Kekerasan yang dilakukannya terhadap Meli Aldina hingga dia dipenjara sudah cukup baginya. Jangan sampai terulang lagi peristiwa itu sekarang ini.

"Tapi dia menjengkelkan sekali. Dia sudah mengajakku berantem sejak datang ke rumah ini pertama kali. Bahkan dia mengajak berkompetisi denganku."

"Kompetisi? Apa maksudnya itu?"

"Tuan pasti tidak percaya Aku sendiri tidak tahu apa maksudnya. Dia menantang aku siapa yang hamil duluan apabila dia menikah dengan Tuan. Apa tidak kebangetan itu," Wena sangat emosional bicara sehingga matanya sampai berkaca-kaca.

"Sudah..., sudah. Jangan menangis. Dia itu masih kekanak-kanakan sifatnya. Tidak perlu kau tanggapi dengan serius," Densbosco berkata sambil membelai rambut Wena.

"Sekarang terserah, Tuan. Mau percaya padaku atau dia. Saya sudah muak melihat mukanya," air mata Wena tumpah sudah melampiaskan kejengkelannya di depan Densbosco.

"Tentu saya lebih percaya kamu. Sungguh saya tidak tahu kenapa dia mengajak kompetisi seperti itu. Terus kalau dia hamil, memangnya aku yang menghamili? Kamu saja sampai sekarang belum bisa hamil."

Wena tidak mau menanggapi hal itu karena lebih menyakitkan kalau dijelaskan. Masalah yang sensitif baginya bila disinggung soal kehamilan.

Dulu ketika keputusan menikah itu diambil, yakin bahwa dia bisa hamil lebih cepat. Karena setelah melahirkan anak dia akan bebas dari Densbusco. Tapi kenyataan sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan hadir generasi penerus keturunan Densbosco.

Persoalan itu memang tidak lagi dibahas oleh lelaki kaya raya itu. Tapi tidak tahu bagaimana isi hatinya yang sebenarnya.

"Sudah sekarang kamu istirahat saja. Besok rencananya aku ingin mengajakmu rekreasi ke tempat kita dulu bercinta yang pertama kali. Aku sangat ingin mengenang lagi situasi waktu itu," rayu Densbosco.

"Selama dia ada disini lebih baik aku tinggal di rumah saja, Tuan," kata Wena sambil menangis.

Lalu tanpa menunggu tanggapan dari suaminya itu Wena beranjak keluar dari kamarnya.

"Hai! Tapi sebentar kamu tinggal di rumah Ibumu, Ya?"

Wena tak menjawab terus membuka pintu kamar melangkah keluar dan menutupnya kembali.

Densbosco termangu melihat sikap protes Wena atas keberadaan Aldina Muszar di rumahnya yang kini diharapkan lebih damai sebelum dia dipenjara.

Hingga Wena pergi dia cuma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal di kamarnya.

Ketika keluar kamar Densbosco tidak melihat Aldina Muszart lagi. Mungkin sudah masuk ke kamarnya. Begitu perkiraan Densbosco sebelum Jeni datang mengabarkan bahwa Aldina Muszart keluar dari rumah dengan mengatakan akan mencari hiburan.

"Kenapa tidak kau cegah pamit dulu denganku?" tanya Densbosco.

"Sudah saya tanya tapi dia bilang Mbak Jeni saja yang bilang kepada, Bos."

Senut-senut juga Densbosco memikirkan Wena dan Muszart. Dua wanita di rumahnya itu tiba-tiba seperti boldoser yang akan melindas dirinya sampai gepeng.

Densbosco kemudian menugaskan beberapa anak buahnya untuk mencari Aldina Muszart. Sedangkan dia sendiri menghubungi sejumlah teman dekatnya di tempat-tempat hiburan.

Densbosco jadi teringat kata-kata pedas keluarga Meli Aldina. Kematian istri pertamanya itu menyebabkan keluarga istrinya menuduhnya sebagai lelaki sangat kejam. Tidak berperi kemanusiaan.

Maka kali ini dia tidak ingin ada apa-apa dengan Aldina Muszart. Maka dikerahkannya seluruh anak buah mencarinya.

Sampai kemudian pada pukul 9 malam seorang temannya di tempat hiburan mengabarkan bahwa Aldina Muszart berada di tengah kerumunan sebuah geng.

"Bencana apa lagi ini yang akan datang??" Densbosco mengumpat dalam hati.

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!