Istriku Perawan Tua

Istriku Perawan Tua

1. Kepergian Marisa

Di sebuah rumah kini tengah diliputi suasana duka. Anak kedua mereka yang bernama Marissa baru saja berpulang ke Rahmatullah. Semua orang merasa sangat sedih karena kehilangannya. Apalagi memikirkan bayi yang baru saja lahir, membuat suasana semakin sedih.

Suara tangisan bayi dari salah satu kamar mengundang simpati beberapa orang yang datang, sementara ayah dari bayi tersebut masih setia duduk di samping tubuh kaku sang istri. Orang-orang menatap prihatin ke arahnya. Seharusnya hari ini dia berbahagia bersama istrinya karena telah berhasil menjadi orang tua.

Teringat bagaimana bahagianya mereka saat pertama kali mengetahui kehadiran calon bayi mereka. Bahkan acara baby shower saja diadakan dengan begitu meriah di sebuah hotel berbintang. Kini semuanya tinggal kenangan, entah bagaimana nasib bayi itu ke depannya.

"Nak, sudah waktunya istrimu dimakamkan," ucap Mama Risa yang tidak lain adalah ibu pria itu.

"Iya, Ma. Anakku bagaimana?" tanya Fatih saat tersadar tidak melihat keberadaan putrinya.

"Ada sama Haira, kamu tenang saja. Dia bisa menenangkan bayimu."

Fatih mengangguk dan mulai melangkah menaiki mobil untuk menuju pemakaman. Meskipun dia tidak rela dengan kepergian sang istri yang begitu mendadak, tetapi pria itu bisa apa saat takdir yang berbicara. Fatih juga berusaha untuk ikhlas menerima semuanya walau dengan terpaksa.

Acara pemakaman berjalan dengan lancar, keluarga juga mengucapkan terima kasih pada para kerabat dan tetangga yang sudah ikut membantu. Mereka juga meminta maaf jika semasa hidup almarhumah memiliki kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak.

Satu persatu semua orang mulai meninggalkan area pemakaman, hanya meninggalkan keluarga inti. Mereka masih ingin menikmati waktu sambil mengikhlaskan hati atas kepergian salah satu keluarga mereka.

"Nak, ayo kita pulang! Ini sudah mulai petang," ajak Mama Risa yang dijawab gelengan oleh Fatih.

"Jangan terlalu larut dalam kesedihan, ikhlaskanlah istrimu," ucap Mama Zahra yang merupakan mertua Fatih dan mama dari almarhumah Marissa—istri Fatih.

"Aku sedang mencobanya, Ma," sahut Fatih dengan suara lirih. "Kalian pulanglah lebih dulu, nanti aku akan menyusul."

Mama Risa menatap sang suami dan kedua besannya, seolah bertanya harus bagaimana. Mereka sangat mengerti bagaimana perasaan Fatih dan tidak mungkin memaksakan kehendak. Apalagi mereka juga belum sepenuhnya ikhlas, terutama Mama Zahra.

"Baiklah, kami akan pulang, tapi biarkan Irfan menunggumu di sini," pungkas Papa Hadi—papanya Fatih—yang diangguki Fatih.

Irfan adalah asisten Fatih di kantor sekaligus sahabatnya. Mereka selalu ke mana-mana bersama, tidak ada rahasia apa pun diantara keduanya. Selalu saling membantu jika ada masalah.

Para orang tua pun akhirnya meninggalkan area pemakaman. Di sana hanya menyisakan Fatih. Irfan sengaja menjauh dari sana agar sahabatnya bisa menumpahkan perasaannya dengan bebas. Benar saja, saat hanya ditinggal sendiri pria itu mulai menangis.

Bayangan wajah bahagia sang istri memenuhi ingatan Fatih. Betapa cantiknya sang istri serta kelembutan tingkah lakunya selama ini, sungguh sulit dilupakan. Keluarga juga tidak lupa betapa baiknya almarhumah pada siapa pun, sungguh tidak ada cela semasa hidupnya.

Sementara itu, di rumah duka bayi kecil yang tidak berdosa itu saat ini berada dalam gendongan tantenya Haira.

"Neng, bayinya mau dikasih nama siapa?" tanya Bik Nur yang merupakan asisten rumah tangga di rumah ini. Dia yang menemani Haira menjaga bayi kecil itu saat semua orang pergi ke pemakaman.

Tadinya Haira ingin ikut. Namun, tidak tega meninggalkan keponakannya sendiri bersama Bik Nur. Apalagi bayi kecil itu sedari tadi terus menangis. Mama Zahra juga memintanya untuk menjaga bayi kecil itu, semakin membuat gadis itu tidak tega meninggalkannya.

"Aku tidak tahu, Bik. Biarlah papanya saja yang memberi nama, dia yang lebih berhak."

"Wajahnya sangat mirip dengan almarhumah Neng Marissa, ya, Neng?"

"Iya dong, Bik! Bayi ini 'kan anaknya," sahut Haira sambil tersenyum.

"Neng, bagaimana jika nanti bayi ini akan dibawa sama Den Fatin pergi dari rumah ini. Bukan apa-apa, ini sekarang 'kan Neng Marissa sudah tidak ada, pasti cepat atau lambat Den Fatih akan pulang ke rumah orang tuanya. Apakah bayi ini nanti akan diajak juga?"

Seketika Haira terdiam. Sebelumnya dia tidak memikirkan hal itu. Namun, sekarang Bik Nur membahasnya dan tiba-tiba saja dada Haira terasa sesak. Jujur dari awal gadis itu sudah jatuh cinta pada keponakannya itu. Rasanya tidak rela jika harus berpisah.

"Semoga saja tidak, Bik. Dia lucu dan manis sekali, rasanya tidak rela jika harus berjauhan."

"Iya, Neng. Dia cantik dan lucu."

Saat keduanya sudah berbincang, para orang tua datang dengan wajah sedihnya. Haira melihat itu menjadi ikut bersedih. Marissa adalah adiknya dan dia sangat menyayanginya. Hanya dua bersaudara membuat hubungan keduanya sangat dekat, sekarang hanya tinggal dirinya seorang diri, tidak ada teman berkeluh kesah lagi.

"Bagaimana? Baby-nya sudah tidak nangis lagi?" tanya Mama Zahra.

"Sudah tidak, Ma. Tadi memang haus, setelah aku buatkan susu formula tidak menangis lagi."

Mama Zahra menghela napas panjang guna mengurangi rasa sesak di dadanya, tetapi tetap saja tidak berubah. Dia merasa sedih melihat cucunya yang baru lahir harus kehilangan sosok ibu. Entah bagaimana nasib anak itu ke depannya.

"Kasihan sekali bayi ini. Baru lahir, tapi sudah kehilangan ibunya," gumam Mama Zahra.

"Iya, Ra, aku juga sedih memikirkan nasib cucu kita," sahut Risa.

"Mama jangan terlalu bersedih, itu akan semakin memberatkan jalan Marissa. Ikhlaskan saja dia, Insya Allah dia dalam keadaan khusnul khotimah. Bukankah wanita yang meninggal karena melahirkan itu meninggal dalam keadaan syahid jadi, Mama harusnya beruntung bisa memiliki putri seperti Marissa," ujar Papa Robi, papanya Marissa.

"Iya, Pa. Mama bersyukur, tapi tetap saja Mama sedih karena cucu kita harus kehilangan ibunya."

"Sebaiknya sekarang Mama persiapkan saja acara untuk tahlilan nanti malam. Mama catat semua apa yang dibutuhkan, biar Papa yang pergi belanja." Mama Zahra mengangguk sebagai jawaban.

Sementara itu, Fatih masih menangis di samping makam sang istri. Rasa kehilangan yang begitu dalam membuat pria yang selama ini dikenal tegar dan kuat menjadi tidak berdaya. Separuh hatinya telah pergi meninggalkannya, juga meninggalkan buah cinta mereka.

Andai saja tidak ada bayi itu mungkin Fatih akan memilih untuk mengikuti jejak sang istri. Namun, dia tidak akan melakukannya, teringat pesan sang istri saat sedang hamil.

"Mas, apa pun yang terjadi nanti, Kamu harus menjaga dan menyayangi anak kita. Jangan menelantarkannya, sungguh aku tidak rela," ucap Marissa di suatu malam.

"Kenapa kamu bicara seperti itu? Tentu saja aku akan menyayanginya. Kenapa kamu bicara seolah tidak mau menjaganya?" tanya Fatih dengan heran.

"Bukan tidak mau, tapi tidak sanggup."

Terpopuler

Comments

LISA

LISA

Aq mampir Kak

2023-12-26

0

💖widia aja💖

💖widia aja💖

hadirrr...🤩

2023-12-05

3

⁽⁽ଘ[🐾©️le🅾️🦋]ଓ⁾⁾

⁽⁽ଘ[🐾©️le🅾️🦋]ଓ⁾⁾

next Kak 👍👍❤️❤️

2023-12-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!