Siapa itu?", akhirnya nenek Tuti mengeluarkan suara emasnya".
"Ranti mah... Dia bilang sudah sampai di bandara... Minta dijemput sekarang katanya".
Miranti... Biasa dipanggil Ranti, dia adalah menantu nenek Tuti, istri dari Hendri. Selama ini dia lebih sering tinggal di Australia menemani anak semata wayang mereka, Indira.
"Suruh dia naik taksi aja... Terserah mau taksi bandara atau taksi online... Bilang padanya kamu gak bisa jemput karena sedang mengantar ayahmu ke rumah sakit".
"Ga bisa gitu mah... Dia sendirian nungguin disana, kasihan mah..."
"Apa kamu gak kasihan sama ayahmu? Dia baru aja siuman dari tidur panjangnya, bahkan sekarang kita sedang mengantarnya ke rumah sakit... Gimana sih kamu ini? Masak gitu aja kamu gak tau mana yang harus di prioritaskan lebih dulu?".
"Sudah... Sudah.. Hendri, kamu bisa minta tolong pak Anto untuk jemput Ranti... Atau Ranti suruh nunggu sebentar di sana. Nanti kalo ayah sudah masuk kamar, kamu bisa pergi untuk menjemputnya", akhirnya Wibisono memberikan saran untuk menengahi perdebatan ibu dan anak itu.
"Gak perlu kamu yang jemput dia, cukup suruh pak Anto aja... Kamu tetap harus menemani ayahmu di sini", nenek Tuti tetap tak mengijinkan Hendri untuk sekedar menjemput istrinya.
Akhirnya suasana kembali hening, dan mereka pun sampai di tujuan.
****************
Teeet
Bel tanda waktu istirahat berbunyi.
"Gimana ceritanya kamu bisa pindah ke ibukota Ran?", Clara meletakkan dagu di atas kedua tangannya yang bertumpu menjadi satu, menatap seorang gadis yang sedang merapikan buku di atas mejanya.
"Kakekku sakit, beliau tidak sadarkan diri hampir 10 hari gara-gara jatuh di kamarnya. Ayahku merasa tidak tenang karena walaupun kakek sudah tua tapi jarang sakit apalagi sampai seperti itu. Ayah benar-benar ingin tau penyebab sakitnya kakek, jadi ayah mengajak kami pindah agar bisa selalu menjaga dan mengawasi kakek".
"Trus kalian tinggal dimana?".
"Sementara ini aku, ayah dan ibuku ikut tinggal di rumah kakek, sedang adik ku Fendi masih di sana, di Sumatera. Setelah selesai ujian dan lulus SMP tahun ini, dia akan masuk SMA di sini.Kata ayah minggu depan mau cari rumah yang dekat dengan rumah kakek".
"Aku liat tadi pak Cahyono dan Pak Hendri Wisesa Sutrisna mengantarmu ke kelas ini. Apa hubunganmu dengan pak Hendri itu?
""Kok kamu tau om ku? Kamu kenal dia?".
"Gak kenal... Cuman tau aja... Dia kan penyumbang dana terbesar di yayasan sekolah ini".
"Dia pamanku, adik tiri ayahku. Dulu jaman ayahku masih SMA, nenek kandungku meninggal, tak berapa lama kakek menikah dengan sekretarisnya yang seorang janda beranak satu, dialah om Hendri, anak dari sekretaris kakek dengan suami sebelumnya. Karena ayahku tidak mau kakek menikah lagi, akhirnya setelah lulus SMA, ayah pergi dari sini lalu ikut keluarga nenek kandungku yang tinggal di Sumatera".
"Bukankah ibu dari pak Hendri adalah Bunda Tuti? Suaminya bernama pak Pieter Van Mook Ardijaya, berarti kamu adalah cucunya pak Pieter?".
"Iya".
"Waow... Boleh liat kartu siswa mu?".
"Ini", aku menyerahkan kartu siswa kepada Clara
"Lihat".
"Lihat".
"Lihat".
Tanpa ku sadari, tiba-tiba tiga orang siswi mendekat ke arah aku dan Clara, berdesak-desakan ingin melihat kartu namaku juga.
"Maharani Paramita Ardijaya", kata siswi berambut pendek di atas bahu yang sedang membaca nama yang tertera di kartu siswa itu. "Kenalin, aku Hastaningrum Prameswari, biasa di panggil Ningrum", di sodorkannya tangan kanannya, aku pun meraihnya.
"Yang ini namanya Sabihana Adya Sari, biasa dipanggil Ana", dia memperkenalkan nama temannya.
"Ana", kata gadis yang rambutnya di ikat seperti kuncir kuda menyodorkan tangannya.
"Dan yang ini Ristiyanti Anisa Fitri, biasa dipanggil Risti".
"Risti", gadis berambut ikal agak kecoklatan itu pun menyodorkan tangannya kepada ku.
"Yuk... Kita ke kantin, keburu habis jam istirahat", ajak Clara sambil menarik tangan kanan ku, terasa seperti setengah memaksa.
"Tapi aku bawa bekal... Tadi pagi ibuku sudah menyiapkannya untuk ku".
"Kamu tetap bisa makan bekal mu di sana sambil nemenin aku makan juga gitu"
"Ok... Ayo!", aku mengikuti langkah Clara menuju kantin. Tiga orang siswi yang berkenalan tadi pun ikut berjalan di belakang aku dan Clara.
****************
"Ndro... kamu liat ga cewek-cewek yang duduk di pojokkan sana?".
"Oh itu.. Si bening. Wuah... Kebetulan pas makan juga dia disini. Aku harus mendekatinya. Ingat Fer, dia milikku. Kau jangan mengganggunya. Atau kau akan tau akibatnya, ngerti?"
"Hei... Kau kan sudah ada Ningrum, mereka sedang duduk bersama tuh, apa gak kelihatan? Matamu gak kena katarak kan?".
"Husss... Enak aja! Mataku masih normal, gak sakit, apalagi katarak, sehat seratus persen. Pokoknya aku mau dia Fer".
Mereka membawa makanannya lalu mendekati para gadis yang sedang menikmati makan siang. Bersamaan dengan itu, Rani dan teman-temannya tiba-tiba kedatangan beberapa anak laki-laki yang berusaha mendekat ke arah meja mereka.
"Hai... aku belum pernah melihatmu makan disini, apakah kamu anak baru?", suara berat itu keluar dari mulut siswa yang tingginya kira-kira 185 cm sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dia berdiri paling depan diantara teman-temannya. Sepertinya dialah sang pemimpin kelompok.
"Iy iya", jawabku gugup. Ada masalah apa mereka? Kenapa mendatangi ku beramai-ramai seperti ini? Belum lagi tatapan mata anak laki-laki itu, seperti harimau lapar yang akan memangsa buruannya, kata ku dalam hati.
"Rani... Kenalin aku Andromeda, panggil aja aku Andro, kelasku ada di sebelah kelasmu", katanya menerobos rombongan anak laki-laki tadi dan langsung mengambil tempat duduk sesuka hatinya.
"Hei !!! Kau gak liat aku lagi ngomong ama cewek itu !!!", kata anak laki-laki pemimpin kelompok tadi sedikit mengeraskan suaranya. Aku melingkarkan tangan kiri ku ke lengan kanan Clara dengan erat. Tangan kanan ku memegang sendok dengan sedikit gemetar.
"Gak apa-apa, jangan takut. Mereka tak akan berani berkelahi. Habiskan makanmu dengan tenang", bisik Clara di telinga kiriku.
"Udah... Gak usah teriak-teriak gitu David, kau bikin cewek-cewek ketakutan. Mana ada cewek yang mau kenalan kalo seperti itu caranya. Yang ada malah pada kabur", Andro terkekeh melihat tingkah David. Feri yang duduk di sebelah Andro pun ikut tertawa tanpa mengeluarkan suara karena ditahan dengan tangan kanannya yang menutup mulut, hanya badannya yang bergetar.
"Awas kau !!!", telunjuk kanannya diarahkan ke muka Andro, lalu David dan teman-temannya pergi meninggalkan mereka dan memilih keluar dari kantin.
"Kenapa banyak laki-laki yang mendekatinya? Baru satu hari dia di sini, tapi sudah bisa memancing keributan seperti itu", Robby hanya bisa berkata dalam hati dan memandang Rani dari salah satu sudut ruang kantin itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments