Siapakah dia?

"Ayo Rani.. om antar kamu ke sekolahmu yang baru", kata Om Hendri sambil mengulurkan tangan kanannya kepada ku.

"Iya om... Tapi sarapanku belum habis ni om... Gimana?"

"Yaudah... kalau begitu habiskan dulu deh sarapanmu itu... Om tunggu di ruang tamu yaaa... Aah tidak... Di teras aja ya... Om tunggu kamu di teras... Ok?", jari telunjuk kanan dan jempolnya menyatu membentuk lingkaran sambil tersenyum, matanya berkedip-kedip, seperti orang yang matanya kemasukan debu.

"Ok", jawabku sambil mengikuti tingkahnya dengan jari telunjuk dan jempol yang menyatu membentuk lingkaran, tapi mataku tidak ikut berkedip.

Selesai sarapan, aku membawa piring bekas makanku ke dapur, berniat untuk mencucinya terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah pagi ini. Tapi urung kulakukan karena mendengar suara dibelakangku yang melarang untuk aku mencucinya.

"Sudah non rani, letakkan saja disitu piring kotornya, biar kami yang nanti mencucinya non..."

Aku menolehkan kepalaku ke kanan mencari sumber suara tadi. Dan kudapati dua orang gadis yang aku tebak usianya hanya beda beberapa tahun dariku sedang tersenyum malu-malu sambil sedikit menundukkan kepalanya.

"Aah.. Nggak apa-apa bi... Cuma satu piring ini aja kok. Biarlah kucuci sebentar, tak kan lama, Om Hendri masih bisa menungguku melakukannya", aku pun menarik sedikit ujung bibirku dan menampakkan deretan gigi putihku kepada mereka berdua.

"Tapi non, kami nanti bisa dimarahi Tuan Hendri kalau non Rani sampai mencuci piring itu, padahal Tuan Hendri sudah bersiap dan bahkan sudah menunggu dari tadi di teras luar".

"Bik Eni jangan kawatir... Tenang aja.. Aku akan mencucinya dengan cepat".

"Maap non, nama saya Rini... Kalau Eni itu yang berdiri di belakang saya ini non", katanya sambil tangan kanannya menarik tangan kiri Bik Eni agar maju mendekat ke arahku.

"Ooh.. Bik Rini yang ini ya... Terus yang ini Bik Eni ya... Maap bik, aku belum hapal... Habisnya namanya mirip sih... Sama sama berakhiran kata "Ni" he he he he...", aku berusaha tertawa walau terlihat canggung karena menahan malu.

"Ya non, nggak apa-apa... Sudah selesai belum non nyucinya? Bukankah Non Rani sudah ditunggu Tuan Hendri dari tadi?".

"Iya ni udah selesai bik... Aku berangkat dulu ya bik?".

"Iya non... Hati-hati di jalan... Semoga lancar sekolahnya hari ini".

"Makasih bik", jawabku sambil mengelap tanganku yang basah pada serbet yang tergantung di samping rak piring.

Setengah berlari, aku menghampiri Om Hendri yang duduk di bangku kayu di teras. "Bentar ya om, aku pake sepatu dulu", cepat-cepat kaos kaki ku pakai dan memakai sepatu.

"Sudah siap", ku tegakkan punggungku dengan kedua tangan lurus di samping badan dan senyum di bibir yang menampakkan deretan gigi.

"Ayo", diulurkannya tangan kanannya padaku, aku pun meraihnya dan kami berjalan beriringan. Lalu kami pun masuk ke mobil. Setelah memakai sabuk pengaman, Om Hendri melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Aku gak liat ayah pas kita sarapan tadi om", kata ku memecah keheningan dalam perjalanan menuju sekolah.

"Ayahmu masih di rumah sakit menjaga kakek, belum pulang".

"Ayah semalam gak pulang? Apa kakek masih belum sadar om?", aku menatapnya dengan sedikit memiringkan kepala.

Aku ingat begitu kami turun dari pesawat dua hari yang lalu, ayah mengajak kami langsung menengok kakek, jadi saat keluar dari bandara siang hari itu Om Hendri langsung mengantar kami menuju rumah sakit tempat kakek dirawat.

"Sudah, barusan aja kakek tersadar, nenek tuti yang ngabari tadi pas kamu pake sepatu".

Nenek Tuti, nama lengkapnya Darmastuti Dewayani, adalah seorang wanita tua yang kecantikannya masih terjaga dengan baik. Sehingga kalau diliat orang sekilas seperti wanita berusia 40 tahun, padahal beberapa bulan lagi dia akan berulang tahun yang ke 60. Aku ingin sekali mengetahui rahasia kecantikan dari nenek tuti, biar aku juga bisa merawat wajahku agar tetap cantik walau pun sudah tua. Tapi niat itu hanya ada di dalam hati saja, karena sejak dulu kami, aku, ayah, ibu, dan Fendi, tidak begitu dekat dengannya. Karena setiap kami ada waktu untuk datang mengunjungi kakek jauh-jauh dari Sumatera ke Jawa, tidak pernah aku melihatnya tersenyum, apalagi bersenda gurau, beliau seperti menjaga jarak dengan kami. Entah itu hanya perasaanku saja, atau memang pembawaan dari nenek yg mahal senyum.

"Ooh ya", aku menganggukkan kepala ku, hanya itu kata yang keluar dari mulutku menanggapi kabar kakek yang sudah sadar dari tidurnya selama hampir sepuluh hari ini.

"Kita sudah sampai di sekolahmu yang baru", katanya menatapku sambil melepas sabuk pengaman. Pandanganku lurus ke depan menatap gedung sekolah yang bertingkat. Aku belum juga membuka sabuk pengamanku, ragu-ragu untuk turun. Perlahan-lahan aku keluar dari mobil. Ada rasa takut yang tiba-tiba ku rasakan saat kaki ku turunkan hingga aku seperti mematung di parkiran sambil kedua tanganku memegang kuat tali tas punggung yang melingkar di bahu.

"Itu ruangan guru laki-laki dan itu ruangan guru perempuan. Di sebelah ruangan guru laki-laki ada ruangan kepala sekolah, kita kesana dulu, menghadap bapak kepala sekolah, ok?", jari telunjuknya kembali menyatu dengan jempolnya membentuk lingkaran.

Aku menarik bibirku keatas, kanan dan kiri sambil menganggukkan kepala. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan-lahan. Lalu kakiku mulai ku langkahkan berjalan di belakang Om Hendri.

"Liat ndro, liat itu... Ada cewek cantik lewat di depan ruang guru laki-laki", kata siswa laki-laki yang memegang beberapa tumpukan buku di kedua tangannya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Andro, siswa laki-yang diajak bicara pun menatap punggung gadis yang membawa tas merah itu melewati ruang guru tersebut.

"Aah... Kau ini, semua cewek kamu bilang cantik, jangan-jangan kambing pake lipstik juga kamu bilang cantik", Andro mendorong temannya itu dengan bahu kanannya. "Beneran cantik, aku ga boong ndro", Feri nama siswa laki-laki itu, ia pun membalas Andro dengan mendorongnya menggunakan bahu kirinya.

"Eh... Eh... Apa-apaan ini? Maen dorong-dorongan di depan pintu. Minggir ibu mau lewat", tiba-tiba Bu Dewi, guru kelas yang tingginya hanya sebahu Andro dan Feri.

"iy iya bu, silahkan bu", dengan gugup sambil menundukkan kepala Andro dan Feri akhirnya menyingkir untuk memberi jalan Bu Dewi, lalu mereka masuk ke ruang guru perempuan.

Deg

Jantung Andro seperti berhenti berdetak kala dia keluar dari ruang guru dan berpapasan dengan Rani yang didampingi Om Hendri dan Pak Cahyono, kepala sekolah, saat mereka akan masuk.

Siapakah dia?

Terpopuler

Comments

Liswantoani Ani

Liswantoani Ani

aku seneng pas baca " kelapa sekolah"🤣🤣

2024-01-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!