Duk
"Aduhhh... Kepala kuu...", Feri meringis mengusap-usap dahinya. "Kenapa kamu ini ndro... Kaki mu apa ada rem cakramnya, tiba-tiba aja berhenti mendadak..."
"Aku harusnya yang kesakitan... Kan kepala belakangku yang kena kepalamu... Gimana sih Fer?"
"Lha kamu sih... Kenapa lagi jalan trus tiba-tiba berhenti gitu? Kakiku kan gak ada ABS (Anti Lock Braking System)nya... Ya otomatis nabrak kamu lah".
"Itu tuh... Barusan ada cewek cantik lewat di depan sini bersama pak kepala sekolah sama om-om".
"Pake tas punggung merah kan?"
"Iya... Kok kamu tau? Emang kamu sempet liat barusan?"
"Tadi kan aku dah blang ada cewek cantik lewat di depan ruangan guru laki-laki... Trus kamu malah ngatain aku liat kambing pun kalo dikasih lipstik aku bilang cantik... Sekarang kamu percaya ama aku kan, beneran ada yang cantik".
Andro pun menganggukkan kepala sambil matanya tak lepas dari pergerakan Rani bersama Om Hendri dan pak Cahyono.
"Bening ya Fer", matanya membesar dengan senyum yang merekah si bibirnya.
Tangan kanannya diletakkan di depan dada, tepat di jantungnya. Dia masih merasakan jantungnya berdetak cepat tak karuan. Perlahan dihirupnya udara sebanyak-banyaknya melalui hidung dan dihembuskan secara cepat dengan mulutnya. Berharap detak jantungnya segera kembali normal.
Tak jauh dari tempat Andro dan Feri berdiri, tepatnya di depan ruangan guru laki-laki, ada seseorang yang juga ikut mengamati gadis itu. Tangan kanannya membawa dua buku tebal, sedangkan tangan kirinya membenarkan letak kacamatanya.
"Siapakah dia? Sepertinya dia bukan siswa dari SMA ini, tapi kenapa dia memakai seragam yang sama denganku?", gumamnya.
Anak laki-laki itu tentu tau mana yang benar-benar siswa di sekolah itu dan mana yang bukan, karena dia adalah ketua Osis. Banyak kegiatan Osis yg melibatkan seluruh siswa, dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. Walau tidak hapal nama-nama mereka, tapi dia tau wajah-wajah anak kelas satu yang masih malu-malu, wajah-wajah anak kelas dua yang mulai berani dengan kakak kelasnya, dan wajah-wajah anak kelas tiga yang serius dan seperti banyak beban pikiran karena memikirkan ujian kelulusan sekolah.
"Robby, kenapa kamu masih disini? Bukannya tadi kamu bilang buru-buru mau masuk kelas karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai?", pak Andi menepuk bahu Robby sehingga dia terkejut dan sontak memutar badannya menghadap gurunya itu.
"iy.. Iya pak.. In.. Ini juga mau jalan ke kelas", jawabnya dengan suara bergetar karena gugup.
Segera dia membalikkan badannya dan melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan pak Andi yang masih mengerutkan kedua alisnya sehingga menyatu di tengah.
"Ada apa dengan anak itu?", pak Andi pun berlalu dari ruangan guru dan melangkah menuju kelas karena sekarang adalah jadwal mengajarnya.
****************
"Nah... Ini kelasmu Rani".
Tok tok tok
Pak Cahyono mengetuk pintu yang tertutup itu. Gadis itu sejenak mengamati keadaan luar dari ruangan yang akan ia masuki. Dilihatnya ada tulisan "2 A" di depan kelas tersebut
Tak berapa lama, pintu itu pun terbuka. Nampak seorang guru yang sudah tidak muda lagi tapi masih cantik menganggukkan kepala kepada pak Cahyono.
"Silahkan masuk pak", bu guru itu mempersilahkan mereka untuk memasuki ruangan, kemudian dia berjalan kembali ke tempatnya. Pak Cahyono berjalan masuk diikuti Rani di belakangnya.
"Anak-anak maap bapak mengganggu sebentar. Bu Dewi, ini Rani... Siswa baru yang saya ceritakan beberapa hari yang lalu. Saya titipkan dia kepada bu Dewi. Silahkan dilanjut pelajarannya. Dan kepada anak-anakku semuanya, selamat belajar !!!", dikepalkan tangan kanannya dan diangkat agak ke atas sambil tersenyum lalu beliau berjalan keluar menuju pintu dan menutupnya. Rani berdiri di depan kelas didampingi Bu guru Dewi yang tersenyum kepadanya.
"Rani... Ibu minta kamu sekarang memperkenalkan dirimu kepada semua temanmu, silahkan...".
"Terima kasih bu... Selamat pagi... Namaku Maharani, teman-teman bisa memanggilku Rani. Aku pindahan dari pulau Sumatera. Aku harap teman-teman bisa menerimaku dan kita bisa belajar bersama. Sekian perkenalan dari ku. Terima kasih kepada bu Dewi dan teman-teman yang telah menyediakan waktu untuk aku memperkenalkan diri", terlihat gadis itu berkali-kali mengambil napas dengan berat dan mengeratkan genggaman kedua tangannya menahan rasa gugup.
"Rani... Kamu bisa duduk di bangku kosong di sebelah Clara".
"Baik bu...".
Senyuman dan lambaian tangan dari Clara menuntun Rani untuk mendekatinya.
"Hai... Kenalin aku Clara, selamat datang di kelas 2 A".
"Makasih Clara, semoga kita bisa jadi teman akrab yaa..." Keduanya pun tersenyum sambil berjabat tangan.
"Hmm... Jadi dia itu namanya Maharani... Dan panggilannya Rani", sambil membenarkan letak kacamatanya, anak laki-laki itu memasuki ruang kelasnya.
****************
"Hari ini kita akan memindahkan ayah ke rumah sakit yang lebih besar, urusan administrasi sudah aku selesaikan, tinggal menunggu Hendri menjemput setelah dia mengantar Rani ke sekolah", kata Wibisono sambil menggenggam tangan kakek Pieter.
Sebenarnya ada pak Anto, sopir yang sehari-harinya biasa mengantar kakek Pieter berangkat kerja. Tapi kali ini Hendri memaksa agar dia yang membawa mobil untuk mengantar kakek pindah rumah sakit.
"Iyaa...", terdengar lemah suara dari kakek Pieter tapi masih bisa di dengar oleh Wibisono dan nenek Tuti. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah lebih dari setengah abad itu duduk di kursi samping pembaringan suaminya. Tatapannya lurus pada kakek tanpa senyum sama sekali.
"Apa yang ayah rasakan? Apa ada yang sakit? Atau ayah mau sesuatu?".
"Enggak... Ayah cuma haus... Tenggorokan rasanya kering".
"Sebentar... Aku bantu ayah untuk duduk dulu", Wibisono berjalan mendekati nakas dan mengambil air putih di gelas kaca berukuran besar yang di dalamnya sudah ada sedotan.
"Ini yah...", disodorkannya gelas itu menggunakan tangan kiri sambil mengarahkan sedotan ke bibir kakek dengan tangan kanan.
"Sudah... Cukup", setelah dirasa tenggorokannya nyaman, kakek mendorong gelas itu kepada ayah. Dari tadi nenek Tuti hanya diam dan mengamati interaksi antara ayah dan anak di depannya.
"Apakah semua sudah siap?", tiba-tiba Hendri masuk ke ruang kakek sambil memegang lembaran biaya administrasi yang telah diselesaikan oleh Wibisono tadi.
"Sudah... sebentar lagi dokter dan perawat akan datang untuk membantu kita memindah ayah ke mobil".
"Kenapa gak pake mobil ambulance aja mas?".
"Ayah gak mau... Lebih nyaman di mobil sendiri katanya".
"Ya sudah...", helaan napas dari Hendri terdengar berat di telinga nenek Tuti tapi dia masih betah diam tak bersuara. Sedangkan Wibisono dibantu perawat dan dokter melepas alat di tubuh kakek tapi infus tetap terpasang.
Perjalanan menuju rumah sakit yang akan mereka tuju membutuhkan waktu hampir satu jam. Itu karena kebetulan tidak ada kemacetan di jalan yang akan mereka lewati.
Ketika mobil sudah hampir sampai di rumah sakit, tiba-tiba hp Hendri berbunyi nyaring. Segera dia mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang telah menghubunginya.
"Mas... Aku sudah sampai... Jemput aku di bandara sekarang ya?", terdengar suara manja dari seorang wanita di seberang sana.
"Siapa itu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments