Bagian 5

Setelah kuis berlalu beberapa hari yang lalu, dan di menangkan oleh orang lain.

Dari pagi hingga siang mereka bertiga masih terlihat cemberut yang terpancar dari raut wajahnya, dan sedikit memonyongkan bibirnya. Dina yang sibuk mencabuti bulu kemoceng nya hingga botak, Rafa yang sibuk menghayal dengan menopang kepala dengan kedua tangannya di meja. Sedangkan Dimas sedang duduk di bagian kasir sambil memutar-mutar kan pulpen yang ada di tangan kanannya.

Hari-hati mereka seperti ini setelah gagal kuis.

Paman Pongki hanya menggeleng melihat tingkah laku karyawannya, yang sama sekali terlihat tidak punya semangat untuk hidup. Menghela napas panjang dan mengembuskannya kasar. Sembari melangkah menuju karyawannya yang lagi malas-malasan.

"Udah, daripada kalian memikirkan beban hidup kalian yang besar, mending kalian makan." Titah Paman Pongki seraya menepuk punggung karyawannya.

Dan berhasil memecah semua lamunan mereka.

"Paman udah masak tuh. Ada balado jengkol, ikan asin sama sambal. Uhh, mantap. Pokoknya, setelah makan pasti mod kalian bagus lagi." Sembari mengacungkan dua jempolnya kearah Dimas, Rafa, dan Dina.

Yang sekarang sedang menatap dirinya dengan seksama.

Mendengar penjelasan Pongki, mengenai tentang makanan yang begitu menggugah selera, mereka langsung terperanjat dari tempat duduknya masing-masing. Kemudian berlari menghampiri Paman Pongki yang lagi berdiri tepat di tengah-tengah cafe.

"Balado jengkol? Yang bener paman." Tanya Rafa memastikan ucapan Paman Pongki tidak berbohong.

Pemilik cafe itu mengangguk mengiakan pertanyaan karyawannya, pertanda tidak ada kebohongan dari dirinya.

Setelahnya, Pongki mengulas senyum lega, melihat ketiga karyawannya kini sudah tersenyum kembali dan mudah-mudahan bisa melupakan masalah tiket ke Jepang yang mereka gagal dapatkan.

"Iya, beneran. Liat aja tuh di meja makan." Sembari menunjuk kearah dapur yang terlihat jelas dari ruangan cafe.

Dimas menggapai kedua tangan Pamannya yang sedang berdiri tegap di hadapannya.

"Paman makasih yah, Paman selalu baik sama kita. Selalu buat makanan untuk kita." Lalu menciumi punggung tangan yang nampak jelas guratan urat yang ke biruan.

"Pasti enak enak nih," ucap Rafa sembari mengelus-elus perutnya yang sudah keroncongan.

Let's go kawan, jangan biarkan balado jengkol menganggur di meja makan.

"Tapi kan bau. Ahhh, nggak apa-apa lah yang penting jengkol is nomor one." Gumam Dina menyusul langkah Rafa yang sudah terduduk di kursi. Lalu Dina menarik kursi dan mulai duduk di sebelah Rafa.

Lantas, mata si cowok yang sedang lahap makan, melirik Dina yang duduk tepat di sebelah kanannya. Haya sepuluh jengkal dari tempat dia duduk.

"Katanya bau, kok mau?" Ledek Rafa.

Seketika mendengar ucapan Rafa, Dina menoleh ke sumber suara itu.

"Abisnya gue laper. Terus gue penasaran juga sama jengkol. Di tambah aroma makanannya, menggoda banget sih. Pasti ini lezat sekali." Balas Dina yang mulai mengambil nasi dan tentunya balado jengkol yang takan ketinggalan.

"Bukan maen, Din. Ini lezat sekali. Suer gue."

"Gue coba yah." Dina mencoba untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya makan jengkol.

Sekali, dua kali.

"Hmm, uwaahhhh. Ternyata bener enak Raf. Mantap." Rafa dan Dina, saling tatap dan saling memberikan acungan jempol.

Di susul Dimas, yang kini melenggang berjalan kearah dapur. Laki-laki itu tidak absen ketika mendengar ada menu yang terhidang di meja makan. Menu makanan khas Indonesia yang di nobatkan sebagai penambah nafsu makan. Hihi.. duduk di sebrang mereka berdua.

Cobain deh. So pasti kalian akan ketagihan dan pasti makanya bakalan nambah lagi nambah lagi. Meskipun bau kalau di olahnya benar pasti bakalan enak.

"Ehh, sisain gue dong?" Ucap Dimas, mulai mengambil piring dan menyiuk nasi serta tidak lupa balado jengkolnya, makanan kesukaannya sejak dulu. Meskipun bau tapi Dimas sangat suka.

Dina dan Rafa secara berbarengan menoleh kearah Dimas. "Tenang kok masih banyak."

"Apaan masih banyak, orang udah dikit lagi." Keluh Dimas ketika melihat balado buatan Paman Pongki yang menyisakan tinggal sedikit.

"Tuh, si Rafa yang ngabisin." Tuduh Dina, yang mebuat Rafa kesal mendengarnya.

"Itu kan masih banyak! Gue juga cuman dikit kok." Bela Rafa untuk dirinya sendiri. DIa merasa kesal, sebal, marah. Ketika dirinya di tuduh menghabiskan makanan buatan Paman Pongki. Yang jelas-jelas itu masih banyak belum habis semua.

Rafa berdecak kesal. "Kenapa, selalu gue sih yang jadi tuduhan." Merasa ini benar-benar tidak adil.

Dimas dan Dina cekikikan melihat sahabatnya itu sedang cemberut dan ngoceh sendiri. Padahal ini cuman becanda, eh si Rafa langsung baper aja. Ini sudah jadi pemandangan yang sehari-hari tercipta di cafe sekaligus rumah milik Paman Pongki.

Tak lama, ketika sedang lahap dengan makanan yang ada di hadapan mereka masing-masing. Paman Pongki datang menghampiri karyawannya itu yang sedang makan siang. Mengingat ini udah jamnya istirahat dan jamnya makan siang.

"Udah, jangan berebut. Itu kan masih banyak." Ucap Paman Pongki melerai pertikaian di meja makan.

"Waktu istirahat makan lima menit lagi yah." Paman Pongki mengingatkan.

Karena, bentar lagi masuk jam kerja. Dan sudah ada beberapa orang yang mengantri untuk memesan makanan dan minuman.

Begitu besar rasa sayang Paman Pongki kepada ketiga karyawan yang sudah dia anggap seperti anak-anaknya sendiri. Tak pernah sedikitpun membedakan antara keponakan sama teman keponakannya. Paman Pongki selalu adil dan sama rata. Karena merasa, mereka juga bagian dari hidupnya. Karena mereka juga ikut andil dalam memajukan cafe miliknya yang selama ini dia bangun dengan susah payah.

"Eh, beresin kunyuk! Masa gue sendirian." Rengek Rafa yang di tinggalkan begitu saja oleh Dimas. Tapi tidak dengan Dina yang merasa sedikit kasihan sama Rafa kalau harus membersihkan bekas makan mereka sendirian.

Ketika lagi asik membantu Rafa membersihkan bekas makan, tiba-tiba namanya di panggil.

"Din, Dina..? Sini bantuin gue. Banyak yang beli." Teriak Dimas dari cafe. Terlihat lebih dari tujuh anak SMA yang sedang berdiri menunggu antrian pesanan-nya tiba.

Dina pun bergegas menuju cafe dan meninggalkan Rafa dengan raut wajah yang begitu menyeramkan.

"Raf, sorry yah. Gue ke cafe dulu banyak yang beli tuh?"

Rafa mendengus, menghentakkan kakinya. Menandakan dia tuh lagi kesal kepada kedua sahabatnya itu. Ini sering terjadi kepada dirinya, dimana selalu apa-apa dialah yang selalu harus membereskan bekas apapun itu. Meskipun lelaki itu kesal, tapi dia juga sadar posisinya di situ sebagai apa.

Dan setelah membereskan piring bekas makan tadi, Rafa pun bersegera berjalan menuju cafe. Terlihat makin sore pembeli makin banyak. Maklum lah, namanya juga cafe tongkrongan anak muda. Wajar saja kalau kebanyakan anak muda yang sengaja nongkrong, dan ada pula yang mengajak kekasihnya makan-makan.

Sebelum sampai tepat di area cafe, Rafa mendapati getaran di saku celana kanannya, yang ternyata ada panggilan masuk dari ponsel miliknya. Rafa bergegas rogoh benda pipih itu dan menatapnya lekat. Dia terkejut mendapati Bi Inah pembantu di rumahnya yang menghubunginya.

"Halo, Bi. Ada apa?" Dima menerima telepon sambil berbunyi dan bersuara pelan.

"Den, Den Rafa. Jangan lupa obatnya di minum." Suara dari balik telepon yang sudah tertempel di telinga Rafa.

Rafa mengaguk meskipun Bi Inah tidak melihatnya.

"Iya, Bi. Udah aku minum kok. Bibi tenang aja. Bi, udah dulu yah. Aku lagi sibuk." Rafa menutup teleponnya, tanpa memberi kesempatan Bi Inah untuk menjawabnya.

Hanya dialah orang yang perhatian kepada Rafa dimana pun dirinya berada selalu meningkatkan untuk meminum obat.

Setelah menutup telepon dan bersikap biasa saja, memasukan kemabli teleponnya ke saku celananya, Rafa bergegas melangkah kearah cafe dan membantu kedua sahabatnya yang sedang kewalahan.

"Mba, mau pesen menu apa?" Tanya Dina kepada seseorang yang berdiri tepat di hadapannya.

"Mba, aku mau vanilla latte nya dua, french fries satu dan roti bakar mozzarella nya satu." Salah satu suara dari seorang pelanggan setia love story.

Dari jaman baru buka sampe sekarang masih setia sering datang ke tempat ini.

"Itu aja, ada lagi yang di pesan."

"Udah itu aja."

"Silahkan duduk kembali yah Mba, dan tunggu sebentar nanti kami antar ke meja nomor tujuh kan?"

Pelanggan itu mengangguk pertanda mengiakan ucapan Dina. Dan kembali dudu ke meja yang sudah terduduk seorang lelaki yang sedang santai menghisap rokok. Mungkin itu kekasih hatinya atau suaminya, soalnya mereka terlihat begitu mesra dan mebuat cemburu siapa saja yang melihatnya.

Dina pun memberikan selembar kertas kepada Rafa, yang bertuliskan beberapa menu pesanan pelanggan. Di bantu oleh Dimas yang kasian melihat sahabatnya itu kewalahan kalau harus mengerjakannya sendirian. Mengingat ada sepuluh lembar kertas bertuliskan beberapa menu pesanan.

"Ini yang terakhir kan?" Tanya Rafa kepada sahabatnya yang kini menjadi kasir cantik di cafe itu.

Sembari memegangi nampan yang berisikan makanan di atasnya. Pesanan terakhir untuk sore itu. Pesanan dari orang yang duduk di kursi nomor lima. Terlihat satu keluarga sedang menikmati makanan yang telah Rafa sajikan.

Dina mengangguk dan tersenyum kearah Rafa. ""Iya, ini pesanan yang terakhir."

"Alhamdulillah, beres juga." Rafa merebahkan tubuhnya di atas kursi dekat Dina berdiri. Sedangkan Dimas sedang asik dengan alat membuat kopi latte nya, yang kini sedang dia bersihkan satu persatu.

"Wafel, masih ada nggak? Din," tanya Rafa dengan nada sedikit ngos-ngosan.

"Udah abis! Emang lo udah laper lagi?" Jawab Dina serta balik tanya ke Rafa.

"Tau, baru juga makan udah laper lagi. Dasar rakus Lo!" Dimas menimpali perkataan Dina.

Rafa menghela napas berat mendengar ucapan dari dua sahabatnya. Lalu mengacak-acak rambutnya asal, hingga tercipta begitu berantakan terlihat.

"Itukan tadi siang pas istirahat, liat sekarang udah jam berapa?" Ucap Rafa sembari menunjuk kearah jam tergantung di dinding cafe itu.

Suara perut yang keroncongan tidak bisa Rafa sembunyikan, pertanda dia benar-benar sedang kelaparan. Secara bersamaan kedua sahabatnya, Dina dan Dimas menoleh kearah si Rafa dengan tatapan tajam. Setelah mendengar bunyi suara perut yang berasal dari seorang laki-laki yang tengah terduduk di kursi panjang dan mengelus-elus perutnya.

"Yang sabar yah anak-anak?" Celoteh Rafa melas, dan matanya yang terfokus kearah perutnya. Bermaksud menenangkan segerombolan cacing yang menghuni bagian isi perutnya.

Terpopuler

Comments

Letitia

Letitia

Aku nggak bisa bayangin kalau novel ini berakhir. Teruslah menulis, thor! 🎉

2023-12-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!