Pukul 8 kurang 15 menit.
Dimas udah berada di jalanan kota, mengemudikan mobil milik bos cafe. Di temani Rafa yang duduk persis di sampingnya. Sebenarnya Dimas malas sekali pagi-pagi jam segini harus bawa mobil, di tambah posisi masih ngantuk berat akibat begadang main catur bersama satpam sekitar tempat tinggalnya.
Ya mau gimana lagi, karena ini perintah bos dan kebetulan emang stok bahan-bahan keperluan cafe sudah mulai menipis. Makanya, laki-laki bernetra hijau di suruh Pamannya untuk belanja kepasar swalayan yang lebih murah tapi berkualitas. Rafa juga tumben, sepagi ini sudah ada di di cafe. Apa mungkin, dia juga di telpon Pongki untuk pergi ke pasar menemani Dimas.
Memilih jalan pintas untuk menghindari drama kemacetan, tapi hanya sia sia. Hari hari seperti inilah jalanan ibu kota, kapan lenggang dari kemacetan. Suara bising bajaj, klakson mobil, klakson motor penuh emosi memekakkan telinga Dimas. Serta makian banya orang yang tidak sabaran. Kapan satu hari jalanan kota itu benar benar lenggang tak sedikitpun ada kendaraan yang melintas. Tapi itu hal mustahil terjadi.
Rafa mulai bersuara, memecah keheningan di antara mereka.
"Dim! Emang bener yah si Dina suka sama lo?"
Decitan rem begitu mengilukan, Dimas menghentikan laju mobil yang ia kemudikan. Dengan menginjak rem secara kasar hingga tubuh dirinya dan orang yang ada di sebelahnya terpelanting kedepan. Rafa benar benar terkejut, tidak habis pikir ini akan terjadi.
Setelah mendengar ucapan Rafa yang membuatnya benar-benar terkejut. Namun, tatapan Dimas hanya kosong mengarah ke depan. Sama sekali tak menghiraukan pertanyaan Rafa. Dimas hanya tak ingin mebuka kembali goresan luka kecil itu kembali teringat.
"Astaga, hati-hati Dim. Kenapa sih lo! Jantung gue serasa mau copot dari tempatnya?" Rafa kembali bersuara setelah terpontang panting dan membenarkan posisi duduknya.
Dimas membenarkan posisi duduknya. "Sorry, sorry. Raf. Gue ngantuk, ada roko nggak? Biar gue nggak ngantuk?" Pinta Dimas sembari berusaha menetralkan napasnya.
"Nih ada sebatang, mau loh!" Rafa menunjukkan sebatang roko yang menyisakan setengah lagi.
Dimas menoleh dan menatap datar kearah orang yang duduk di sebelahnya.
"Dih najis gue. Bekas lo!" Dimas berdecih.
"Sama aja gue ciuman sama lo." Dimas menggeleng merasa jijik.
Rafa menela ludahnya mendengar ucapan sahabatnya yang begitu menjijikan.
"Normal gue bangsat!" Menatap manik mata Dimas sinis. Setelahnya Rafa menoleh kearah spion mobil yang berubah posisi akibat senggolan dari pengendara motor ibu-ibu.
"Woyy! Bisa bawa motor nggak!" Suara Rafa ngegas. Memaki ibu ibu yang kurang mahir mengendarai motornya.
Setela berdebat beberapa menit, kini Dimas mengemudikan mobilnya kembali dengan pelan. Setelah berjalan beberapa meter, suara decitan itu terdengar dan mengilukan kembali.
"Dimas! Apa-apaan sih! Lo. Sengaja mau buat gue jantungan." Makian Rafa terdengar kembali.
Dimas hanya tertawa terbahak-bahak melihat temannya yang panik dengan wajah kemerahan. Kali ini Dimas menghentikan mobil untuk yang kedua kalinya bukan karena terkejut, tapi ia sengaja ingin ngerjain si Rafa. Dan ternyata itu membuahkan hasil, beberapa kali ia kena bogeman dari sahabatnya yang sangat sangat panik di buatnya.
Ternyata kantuk benar-benar tidak bisa di ajak kompromi dan masih menguasai diri Dimas. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, Rafa menawarkan diri untuk mengemudikan mobil itu. Daripada nanti terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dan membahayakan mereka, mungkin membahayakan orang lain juga.
"Dim, gimana kalau gue aja yang mengemudikan? Gue takut, jantung gue serasa mau copot." Pinta Rafa. Menoleh kearah sahabatnya itu.
Dimas pun mengangguk, menepikan kendaraan itu sebentar dan setelahnya bergantian posisi duduk. Mobil itu melaju kembali di kemudikan Rafa. Dimas terfokus kembali ke pertanyaan yang di tanyakan sahabatnya itu. Lelaki itu mengambil napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Sebelum menjawab pertanyaan dari sahabatnya yang sekarang sedang mengemudikan mobil.
"Lo kan tau Raf, gue udah punya pacar. Kan tadi juga sebelum berangkat gue abis chatan sama dia. Lo tau kan?"
Rafa mengangguk mengerti dengan penjelasan Dimas.
"Iya, Dim."
Laki laki tu ternyata sengaja menanyakan hal itu, ia hanya menguji sahabatnya itu apakah dia juga mencintai orang yang dirinya cintai juga. Ada rasa lega di dalam dada setelah mendengar penjelasannya. Yang asma sekali tidak ada rasa terhadap Dina. Begitupun dengan Dimas yang mengerti akan pertanyaan sahabatnya yang sedang terfokus ke jalanan. Paham betul Dimas, akan ucapan Rafa mengarah kemana. Yang di pikiran ia sekarang adalah bagaimana caranya agar tidak membuat sahabatnya kecewa, dan selalu menghindari apa bentuk perhatian yang selalu di berikan Dina. Meskipun itu hanya bentuk perhatian sebagai sahabat dari kecil.
Beberapa kali Rafa menekan klakson mobil, ketika ada motor yang menyalip sembarangan. Tak lupa pula makian serta sumpah serapa terucap dari mulutnya yang tersulut emosi.
Mobil itu melesat dengan cepat, berbelok kerah kiri, maju lurus, belok lagi kearah kanan. Dan menepi di parkiran pasar.
...🌸...
Paman Pongki masih sibuk melayani customer yang Alhamdulillah hari ini begitu sangat ramai. Dina sedang duduk di pojokan cafe. Sembari mengipasi diri sendiri karena lelah dan keringat membasahi.
"Hari ini benar-benar kesabaran gue di uji. Ya tuhan besarkan lah sabar hamba." Gumam Dina sembari melahap makanan kesukaannya.
Pancake matcha yang wanita itu pesan lewat aplikasi ojol. Kenapa nggak beli di cafe tempat dia kerja? Karena di tempat Dina bekerja nggak menjual menu makanan yang Dina suka. Makanya dia beli dari tempat lain.
"Din, tolong dong ambilkan gula di atas meja belakang?" Titah pemilik cafe.
Dina mengangguk dan bersegera bangkit dari duduknya. "Iya Paman," meletakan pancake yang tinggal setengah gigit lagi.
Satu jerigen berukuran besar berhasil Dina angkat dengan susa payah, memindahkan dari meja belajar ke meja depan. Setelahnya tangan Dina merasa pegal-pegal. Maklumlah kalau terlihat lemah namanya juga perempuan fisiknya tidak sekuat lelaki. Tapi, ia hebat udah mau berusaha untuk melakukan hal itu sendiri. Namanya juga seorang karyawan yang harus patuh pada sama atasannya jika masih ingin bekerja di tempat dia bekerja. Ini semua Dina lakukan untuk tambah-tambah keperluan diri sendiri dan keperluan kampus. Kalau ada lebih kadang Dina kasih untuk Mamanya.
Setelah Ayahnya dan Mamanya memilih berpisah, kini kehidupan Dina berubah 180 derajat. Yang tadinya apa-apa tinggal minta, kini tidak. Makanya ia harus bisa mandiri dan tidak lebih berharap pada Mamanya yang sekarang hanya pedagang kelontongan di pasar. Sedangkan Ayahnya sama sekali tidak ada membantu keuangannya semenjak dia pergi dari kehidupannya dan memilih wanita selingkuhan-nya. Hal ini yang membuat kecewa Dina terhadap sosok Ayah dan malas kalau suruh untuk bertemu kembali dengannya.
Dina melahap kembali pancake yang tinggal setengah itu, kembali mengipasi, masih duduk di pojokan.
Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya mobil milik bos cafe tiba di halaman cafe. Menandakan Dimas dan Rafa sudah selesai berbelanja barang keperluan cafe. Tak lama setelah suara mobil itu terhenti, Dina segera melangkah mendekat. ia menyambut antusias.
Dina tersenyum kearah pujaannya. "Eh, Dimas cape yah? Ni gue udah buatin minuman spesial buat lo." Menyodorkan gelas minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokan yang kering.
"Makasih yah Din." Dimas meraih gelas minuman dingin dan meneguknya hingga menyisakan setengah lagi.
Rafa melotot melihat itu semua, dia merasa tidak adil. Padahal yang lebih capek itu dirinya dibandingkan dengan Dimas. Lelaki yang meneguk minuman dari Dina menyadari akan perkataannya di dalam mobil waktu di jalan tadi. Tapi tak apalah, ini sudah terlanjur. Lalu melengos berjalan kearah mobil.
"Lah, gue nggak di bikinin!" Keluh Rafa kesal.
"Lo, ambil sendiri aja yah Raf. Jangan manja!" Dina menepuk bahu Rafa hingga sedikit terhuyung. Karena barang di atas pundaknya yang membuat jalannya kurang seimbang.
"Hah! Manja." Rafa melotot. "Tega banget lo Din, ama sahabat sendiri." Sembari mengangkut barang belanja, Rafa terus mengoceh tak henti kaya burung beo.
Mata Rafa berkali-kali melotot mendengar ucapan Dina, yang menurutnya sama sekali nggak ada rasa kasihan terhadap dirinya juga sebagai sahabatnya dan sebagai partner kerjanya. Rafa menggaruk tengkuknya yang samasekali tidak gatal. Ia merasa kecewa, berharap dapat perhatian setelah datang dari belanja, tapi itu hanyalah khayalan semata. Rafa meneguk ludahnya merasakan kenyataan pahit.
Dimas, dan Rafa, mengangkut semua barang-barang yang ada di dalam mobil pickup. Begitupun dengan Dina, membatu sebisa dan sekuat tenaga. Dengan mengangkut yang ringan ringan saja. Mengangkat satu persatu, memindahkannya kedalam rumah yang semula berada di dalam mobil. Pongki hanya mengawasi sembari menghitung barang dan menghitung jumlah yang ada di bon belanja. Takut ada yang salah atau keliru.
Dirasa sudah las dan tidak ada keliru sama sekali, Pongki memasukan bon itu kedalam laci. Lalu melangkah mendekati ketiga karyawannya.
"Yaudah, kalian mandi bersih-bersih, kotor, bau lagi. Trus udah itu makan? Udah di siapin di meja." Titah Paman Pongki.
"Oke, Paman." Dimas dan Rafa mengaguk secara bersamaan.
"Gue boleh ikut makan kan Paman?" Dina mengacung berseru.
Mereka bertiga melangkah pergi masuk ke rumah untuk bersih-bersih setalah selesai memindahkan barang-barang. Karena nggak mungkin dengan keadaan badan dan baju penuh keringat, melayani consumer. Bukannya banyak yang beli malah pergi kembali melihat kondisi perayaannya bau keringat, dekil dan kucel.
Rupanya Dimas masih teringat akan ucapan Rafa di dalam mobil yang mengatakan bahwa Dina menyukainya. Menurutnya mungkin ini karma buat cewek itu, karena Dina pernah menolak cintanya Dimas sewaktu mereka masih duduk di masa putih biru. Sebelum cintanya berlabuh di hati Nara, pacarnya hingga saat ini. Meskipun sudah terpisah lama, Dimas masih tetap menganggap Nara itu pacarnya. Karena di antara mereka tidak pernah ada kata putus. Maka dari itu Dimas selalu menunggu kehadiran Nara kembali, meskipun itu mustahil.
Tapi kini Dina yang mengejar cinta Dimas, setelah Dimas menemukan orang yang lebih bisa menghargai dirinya dan cintanya. Namu itu juga tidak bertahan lama, mungkin hanya setengah tahun Dimas bersamanya, setelah gadis itu pergi tanpa pamit padanya.
...🌸...
Dimas terlihat sedang duduk termenung di balkon lantai dua rumah Pamannya, sembari menyesap sebatang roko yang menyisakan setengah. Di temani semilir angin malam begitu dingin menusuk hingga tulang terdalam. Dimas masih saja kepikiran apa yang di ucapkan sahabatnya tadi pagi. Ia hanya tak percaya saja, dulunya mengejar sekarang di kejar. Emang sakit rasanya menyukai seseorang yang kita sayangi, tapi orang yang kita sukai memilih orang lain buat mengisi ruang kosong di hatinya.
Detik berikutnya, terdengar suara hentakan kaki. Makin lama kian medekat, hal itu membuyarkan semua lamunannya. Dimas sudah paham, suara langkah kaki siapa itu. Kalau nggak Pamannya ya si cucunguk Rafa. Karena Rafa, suka nggak langsung pulang kalau setelah cafe tutup, dia lebih memilih naik keatas ke balkon rumah milik bos cafe dan mengobrol santai bersama keponakan bosnya.
Menenangkan pikiran, menghindari drama drama yang terjadi dalam hidupnya. Mungkin disinilah pikiran Rafa sedikit rada tenang. Bercanda dan mengobrol bersama sahabatnya.
"Eh, elu Raf. Nggak pulang?" Dimas menoleh kearah hentakan kaki, mendapati Rafa sedang berdiri serta membawa satu piring pisang goreng di tangannya.
"Males gue! Males liat drama nyokap bokap gue." Rafa mulai duduk di sebelah Dimas, dan sedikit curhat apa yang di rasakan ketika di rumah. Setelahnya Rafa menyahut sebatang roko. Tapi sebelum tangannya samai ke bungus roko, Dimas lebih dulu berhasil menepis tangannya hingga terpelanting ke belakang.
Rafa terkejut, menelan ludahnya.
"Pelit amat sih lo sama temen!" Keluh Rafa kesal.
"Itu roko Paman, Nih yang ini baru punya gue." Rafa nyengir tak tau kalau itu roko milik bosnya. Lalu, kembali menyahut rokok milik Dimas.
Setelahnya, Dimas tertawa terbahak melihat pisang goreng yang di bawa Rafa begitu gosong, menurutnya itu sudah tidak layak lagi untuk dimakan.
"Set dah Raf, Raf. Lo bikin pisang goreng apa arang goreng sih!" Ledek Dimas.
Rafa melotot kesal kearah Dimas yang menghina makanannya, padahal itu sama sekali tidak gosong cuman mendekati doang. Menghembuskan napas kesal dan marah.
Di detik ke lima belas, Rafa muali bercerita kembali tentang orang tuanya. Ia menceritakan keluh kesahnya, yang merasa kurang beruntung memiliki orang tua yang kurang sayang padanya, tidak seperti orang lain. Merasa selalu di beda-bedakan dengan anak kesayangan mereka. Yaitu kembarannya sediri Rafi.
"Gue, nggak ngerti Dim! Sama jalan pikiran Nyokap, Bokap gue. Disini kan mereka punya anak dua kembar lagi. Gue sama si Rafi? Tau kenapa mereka nggak pernah nganggep gue ada! Apa-apa gue tuh selalu di asingkan kayak orang asing di rumah."
Dimas mendengarkan, ia mengaguk paham atas apa yang Rafa rasakan, lalu Dimas menepuk bahu Rafa memberi semangat. Dimas yakin bahwa Rafa bisa melewati ini semua.
"Sabar yah Raf. Gue yakin lo biasa lewatin ini semua? Di sini ada gue yang akan selalu mendengar curhatan lo. Juga ada Paman Pongki. Trus ada pujaan hati loh. Eh,,," Dimas reflek menutup mulutnya.
"Eh, maksud gue ada Dina, sahabat kita." Dimas memukul mukul mulutnya, yang sembarangan berbicara.
"Makasih, Dim. Udah mau jadi sahabat gue. Tapi gue nggak ngerti aja sama jalan pikiran mereka. Bahkan waktu wisuda SMP aja, yang nemenin gue bukan mereka? malah Bi Inah." Jelas Rafa, menahan airmata di ujung matanya. Yang kapan saja siap mebasahi pipinya.
Dimas tersenyum kearah Rafa, begitu pun Rafa tersenyum kearah Dimas. Meskipun Dimas terenyuh mendengarkan cerita sahabatnya, tapi dia harus tetap terlihat tenang agar Rafa tidak semakin bersedih.
Malam semakin larut, dingin mulai tak karuan. Mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri percakapan itu. Dimas pergi ke kamarnya, sedangkan Rafa pergi pulang ke rumah. Karena dia nggak mau Bi Inah mengkhawatirkannya. Meskipun hanya sekedar pembantu tapi kedekatan mereka sudah seperti sedarah semenjak perilaku kedua orang tuanya mulai berubah semenjak Rafa kelas satu SMP.
Sebelum Rafa benar-benar pergi, Dimas menatap wajah laki-laki itu dan berkata.
"Raf, kok wajah kamu pucat? Trus hidung kamu juga berdarah."
Rafa menoleh ke arah Dimas, tapi tidak sedikitpun menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Melainkan dia memilih menoleh ke kembali kearah depan, lalu mempercepat langkah kakinya untuk pulang. Agar Dimas tidak menaruh curiga akan penyakit yang di deritanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments