Bagian 2

Setelah selesai, lelaki berseragam putih abu itu langsung cus pergi dengan muka merah merona yang sangat kegirangan. Eits, bukan? bukan dia dapat lotre, tapi, dia kegirangan udah bisa foto sama idolanya Dina. Cuman nggak terbang doang saking senengnya. Bukan hanya idola sih tapi bocah SMA itu juga menaruh hati pada Dina, lelaki mana sih yang nggak tertarik dan jatuh hati akan kecantikan seorang Dina. Kulit putih, rambut terurai lurus postur tubuh yang ramping dan sedikit agak tinggi.

Namanya juga bocah, ya, malu lah mungkin kalau mesti ngomong terang-terangan. Kalau kamu ketemu idola dan bisa foto bareng, ekspresi lo bakal gimana. Kalau aku sih so pasti bakalan salto saking senengnya, hehe.

"Cie yang abis foto sama fans, fans apa calon pacar?" ucap Rafa dengan nada mengejek, sambil mencolek bahu Dina. Dengan sigap, Dina menghempas jauh jauh tangan lelaki yang telah membuat emosi, darah naik drastis.

Terlihat sekali dari raut wajah Dina yang memerah, bibir yang menyungging mata melotot. Tanda darah di kepalanya benar-benar sedang mendidih. Mencoba mengoptimalkan pernapasan, sedikit tersendat gegara bocah tengik satu ini yang membuat pagi hari Dina kal ini begitu membosankan.

"Ini semua gara-gara lo yah!" Dina mengalihkan pandangannya kepada Rafa. Sedikit kesal serta marah marah tepat di depan matanya.

Menatap sinis, serta menuju-nunjuk kearah Rafa dan meremas kerah bajunya sehingga Rafa sedikit tertarik kedepan dan saling bertatap mata penuh kebencian. Bagi Dina penuh kebencian, tapi tidak dengan Rafa yang mengartikan ini semua, sebuah keindahan. Momen langka yang jarang banget terjadi. Dina memberikan bibir sinis, sedangkan Rafa mengulas senyum bahagia. "Din, lo kalau lagi marah makin cantik aja?" Benak hatinya Rafa menuju wanita yang sedang marah marah di hadapannya.

Setelah melepaskan cengkeramannya, Dina berkecak pinggang seraya berucap kembali dan masih tepat di hadapan Rafa yang masih cengengesan. "Pokoknya, ini peringatan terakhir. Sampe lo kaya tadi lagi? Nggak segan gue. Gue bakalan jadiin lo adonan donat!"

"Ihhh,, atut!" Rafa memundurkan tubuhnya berapa langkah.

"Buset dah, kejam amat lo ama gue Din." Rafa sedikit terkejut dengan ancaman Dina, meskipun menyikapinya hanya dengan senyum yang terukir di bibirnya. Tapi tetap Rafa selalu merasa senang kalau tiap bertemu harus berdebat dengannya.

Dimas yang sedang duduk di kursi kasir tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku kedua sahabatnya yang sedang bersitegang. Hanya karena hal sepele yang nggak mesti sama sekali di ributkan. Tinggal jalani dengan happy dan senyuman yang manis semanis Dimas Anggara. beres dah, segitu simpelnya.

"Tapi, kan dia pelanggan kita! Kasian dong kalau nggak di turuti permintaannya?" Rafa menelan ludah.

"Lagian juga, lumayan, Din. Kan penglaris?" Bela si cowok berkacamata, agar dirinya tak kena amuk Dina terus.

Menarik kursi, lalu duduk. Dirasa kakinya pegal terus berdiri dan berdebat. Tapi sebelum berhasil untuk duduk, kembali Dina marah marah padanya.

Dina menoleh kearah lelaki itu.

"TRUS! MESTI GUE GITU. KENAPA BUKAN LO AJA COBA!" Suara Dina semakin meninggi. Omelan Dina selanjutnya dan menghadiahi Rafa tonjokan di bagian perutnya.

"Aaww!" Rafa meringis, memegangi perutnya yang terasa nyeri.

"Sakit tau Din! Dimas? Dina jahat." Keluh Rafa memalingkan wajah ke arah Dimas dan berharap ada pembelaan darinya.

"Ya kan, dia cowok. Terus lo cewek? Masa dia minta foto sama gue yang cowok. Nggak mungkin kan!" Rafa kembali berucap, serta memperjelas ucapannya. Masih memegangi perutnya.

"Sumpah ini tuh sakit banget tau." Lalu meraih kursi kembali dan berhasil untuk duduk kali ini tanpa hambatan.

Detik berikutnya.

"Liat tuh Din temen lo?" Rafa mengalihkan perdebatannya. Menujukkan jari telunjuknya kearah dimana Dimas sedang duduk termenung. Membuat Dina reflek membalikan badannya dan memerhatikan Dimas dengan seksama. Rasa bingung mulai menghiasi isi kepalanya sambil sesekali menggaruk kepalanya yang sebetulnya tidak gatal.

Cepet banget berubahnya si Dimas, yang tadi cengengesan sekarang terlihat sedang melamun di tempat kasir. Entah apa yang cowok itu lamun-kan dan pikirkan. Nggak jelas cerita. Padahal masih muda loh, tapi sering sakali dia melamun nggak jelas. Kayak yang banyak pikiran dan banyak beban hidup yang dia pikul. Dina pun mulai meraih kursi dan duduk berhadapan dengan Rafa.

Terlihat jelas sekali Dimas duduk, sembari memandangi pigura kecil yang bergambarkan gadis kecil kuncir dua. Mungkin itu gambar seseorang yang selalu ingin dia temui. Selain Dina teman masa kecilnya, ada lagi sosok gadis yang membuat Dimas tidak bisa melupakannya hingga saat ini.

Dengan perlahan-lahan lelaki parubaya, udah lah panggil aja Paman Pongki ribet amat. Lebih tepatnya Pongki ajalah biar simpel. Bermaksud untuk mengagetkan Dimas. Namun, sebelum berhasil malah niatnya untuk mengagetkan dan menghancurkan lamunan keponakannya itu, telah terlebih dahulu diketahui oleh Dimas. Dari suara telapak kakinya yang begitu terdengar jelas di telinga si pemilik netra hijau.

Dina dan Rafa menggeleng melihat tingkah bosnya, juga sedikit cekikikan mereka tapi juga di tahan agar Pongki tidak menoleh kearah mereka. Mereka cekikikan akibat melihat Pongki berjalan merangkak seperti bayi. Terus berjalan dengan berjinjit.

"DARRR!!!"

"Eha, ayam ayam ayam...."

"Hayo, Paman mau ngapain?" ujar Dimas sambil merangkak dari kursi kasir dan balik mengagetkan laki-laki setengah tua itu.

Pongki pun benar benar terjingkrak kaget. "Astaghfirullahhalazim!!" Terkaget-kaget sembari mengusap dada serta menetralkan napasnya yang tersendat, senjata makan tuan. Rafa, Dina terbahak bahak melihat pertunjukan yang sangat lucu ini, setelah beberapa detik mereka tahan tahan. Bwahaha... Akhirnya meledak juga tawa mereka berdua. Hingga terdengar oleh telinga Dimas dan Pongki, lalu menoleh secara bersamaan kepada kedua orang yang sedang mentertawakan Dimas dan Pongki.

Sedikit terdiam sejenak agar rasa gemetar di kakinya hilang, meraih kursi lalu duduk. Mengoptimalkan pernapasannya. "Liat ini jam berapa!" Sembari menunjuk lengan kanannya yang melingkar jam tangan warna hitam. Bermaksud memberi tahu bahwa ini masih waktunya kerja, kepada keponakannya itu.

Secara bersamaan mata Dimas dan Pongki terfokus dengan jam tangan yang melingkar sempurna. Hal ini sih sudah menjadi hal yang tidak asing di kehidupan Dimas.

"Tenang, sabar, nanti penyakit asma Paman kumat lagi loh?"

"Enak aja," Pongki menjitak Dimas. Dimas meringis kesakitan. "Sejak kapan gue punya penyakit." Pongki berdiri kembali, serta menepis ucapan keponakannya yang menuduh dirinya punya penyakit asma.

Setelahnya, Dimas berbalik arah melihat Dina dan Rafa. Ternyata kedua sahabatnya itu sedang cengengesan mentertawakan dirinya dan Pamannya. Lalu Dimas mengepalkan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menunjuk kearah Dina dan Rafa secara bergantian. Dina, Rafa sedikit bergetar melihat ancaman yang sama sekali nggak ngaruh bagi kedua sahabat Dimas.

"Yang lain kerja, kamu sudah enak-enakkan melamun. Ayo, tuh! bantuin si Rafa sama Dina beres-beres." Lanjut ucap Paman Pongki dengan nada tinggi. Sambil menjewer telinga Dimas, dan menyuruh keponakannya kembali bekerja. Kepalan tangan Dimas pun seketika turun begitu saja.

Dimas terkejut, mendapati tangan sang paman udah ada di telinganya. "Ampun Paman ampun. Sakit! Ah, elah. Lepasin napa." Rengek Dimas kesakitan.

Paman Pongki berkecak pinggang sebelah sambil komat kamit. "Kalau kerja itu jangan malas-malasan. Jam segini sudah melamun manusia macam apa kau itu. Gimana negara ini mau maju kalau rakyatnya aja kayak lo sering melamun nggak jelas." Setalah memberikan kata-kata mutiara, Pongki segera melepaskan tangan yang sedari tadi menjewer telinga keponakannya itu.

Itulah Paman Pongki selain dia galak, keras, namun juga tegas.

Ia juga suka jahil sama karyawanya. Apalagi kepada keponakannya sendiri. Makanya mereka bertiga sangat sayang sama Paman Pongki. Selain galak dia juga lucu udah kaya pelawak di tv aja, bisa ber metamorfosa sesuai tempat dan kondisi.

Kadang jadi pelawak, kadang jadi guru, kadang juga jadi orang tua. Nggak sekalian aja jadi Ultraman wkwkwkwk. Itulah sifat paman Pongki ke siapapun dan di mana pun selalu memberikan nasihat yang baik.

Apalagi sama Dimas. Karena mungkin dia kan keponakan satu-satunya. Yang sedari kecil duda itu rawat dengan penuh kasih sayang, karena Ibu Bapaknya sudah pergi meninggalkanya sejak Dimas berusia sepuluh tahun. Kecelakaan mobil yang di alami kedua orang tua Dimas, yang mengakibatkan mobil yang mereka tunggangi masuk jurang di karenakan rem blong dan mobil tidak terkendalikan dan orang tuanya tidak terselamatkan.

Dimas mendengus dengan suara malas. "Ia Paman." Melangkah sembari menghentakkan kakinya kesal.

Ketika hendak menanyakan sesuatu, ucapan Dimas terpotong. "Paman ak_"

"Udah kerja sana," itulah Pongki kalau sudah memerintah tidak akan ada yang bisa mengganggu gugat dengan ucapannya. Bahkan Dimas sekalipun yang selaku keponakannya, tidak bisa membantah segala ucapan pamannya.

Segeralah Dimas beranjak dari tempat duduknya meninggalkan khayalan yang menghiasi pikirannya saat ini. Diambilnya satu buah lap dan kemoceng, di bersihkannya kaca-kaca di cafe itu hingga tak tersisa satu butir debu pun. Begitupun dengan Dina dan Rafa juga ikut beres beres. Mereka berdua takut kena semprot juga

"Oke guys, gue mau ngasih tau kalian bahwa bulan depan ada kuis yang hadiahnya sangat spektakuler. Penasaran,? penasaran,? Makanya pantengin terus yah. Sebuah lagu dari seorang penyanyi yang lagi hitz, hitz nya cekidot"

Masih dari suara radio butut itu. Menginformasikan bahwa sebentar lagi akan ada kuis akhir taun. Menutup acara dengan satu buah lagu yang sangat enak di dengar.

Sontak mereka bertiga yang lagi beres-beres ter kaget dan melebarkan bola matanya secara bersamaan mendengar pengumuman penting itu. Dengan sigap mereka berlari mendekati radio. Soalnya, di setiap satu tahun sekali penyiar radio itu suka mengadakan kuis yang hadiahnya sangat menggembirakan bagi para pendengar dan para pemenangnya.

Tahun lalu saja kuis itu hadiahnya pergi liburan ke Turki tepatnya ke Cappadocia. Mereka berharap sih voucher liburan kali ini ke Jepang dan mereka berharap bisa memenangkan voucher itu. Namanya juga usaha boleh kali. Hal apapun tidak akan mereka lewatkan untuk mendengarkan suara sang penyiar dari radio butut.

"Nah? kailan dengar kan," ucap Rafa sambil mendekatkan telinganya ke radio. Soalnya Radio itu kadang-kadang suaranya suka tidak jelas. Macam suara apa yah "krasak krusuk" Maklum lah namanya juga radio sudah tua butut lagi.

"Mudah-mudahan, kuis kali ini gue yang dapet. Dan voucher liburannya ke Jepang." Ucap Dimas dengan penuh harapan. Sembari mendongakkan kepalanya ke atas langit langit cafe, menandakan mulai akan mengkhayal kembali.

"HAH! Mimpi kali lo!" Ejek Rafa sambil sedikit menoyor kepala Dimas, dan berhasil membuyarkan khayalannya.

"Aw!" Keluh Dimas sembari mengusap kepalanya sedikit terasa sakit.

"Kalau gue sih pengen ke Korea, pengen foto sama Taehyung sama Jimin, pokonya semuanya aja deh." Sahut Dina yang mengidolakan artis Korea "BTS". Kalau udah bicara tentang Korea semangat banget ni si Dina. Takkan pernah terlewatkan sedikitpun hal hal yang berbau negri ginseng yang banyak melahirkan cowok cowok ganteng dan cewek cewek cantik.

Rafa berdecih mendengarnya. "Iya sih, yang si paling k-poprs! Ganteng-an juga gue kali daripada mereka," dengan nanda sombong sambil menepuk-nepuk dada seakan dia cowok paling ganteng di muka bumi ini. Berdiri, berkacak pinggang, belahan sombong.

"HAH!!"

Dina dan Dimas terbelalak, ternganga lah mereka berdua sambil menutup telinga mendengar celoteh Rafa yang membuat telinga mereka berdengung kesakitan. Untung aja lalat nggak masuk tuh ke mulut saking kagetnya.

"Kenapa lo pada kaget!! Iri bilang bos." Rafa berucap kembali, kali ini ucapannya menuduh Dina, Dimas iri padanya sembari meluruskan telunjuknya kearah Dina dan bergantian kearah Dimas. udah kayak burung pipit aja ngoceh mulu tuh makhluk.

Lalu sepersekian detik Dimas menepis telunjuk itemnya Rafa. "Tak sudi gue iri sama orang yang mukanya macam kemoceng gitu!" Balas Dimas kejam.

Yang membuat Dina terkekeh sambil menahan sakit di perut. Saking lucunya ucapan si cowok paling tampan.

"Dia itu bukan kemoceng, tapi pantat panci yang item, dan berkarat. Haha." Dina menimpali. Yang berhasil membuat Dimas ngakak tak berdosa. Rafa mendengus keasl. Ini alasannya Rafa selalu di bandingkan dengan sodara kembarnya oleh keluarganya sendiri. Selain hal lain, warna kulit juga mereka permasalahkan.

Itulah khayalan mereka di hari itu yang memecah gelak tawa di antaran kedua sahabat Rafa. Tapi tidak dengan dirinya yang cemberut dan melipatkan tangannya di dada, menatap sinis kepada dua orang yang sedang tertawa di hadapannya. "Awas yah kalau gue yang menag voucher nya. Nggak bakalan gue ajak kalian berdua!" suara hatinya Rafa.

Jangan tanya Rafa ingin pergi kemana, so pasti dia mah ikut-ikut aja kemana pun yang penting asik. Apalagi gratisan so pasti dia paling terdepan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!