...----------------...
"Meskipun aku tidak ingin mengakuinya, tapi... Aku sadar bahwa aku mulai nyaman bersamamu."
^^^~ Carlisle Haven^^^
"Apa mungkin kau mulai membuka hatimu untukku?"
^^^~ Asha Pervas^^^
...****************...
***FLASHBACK ON***
"Asha, lu udah datang?" Erlang tersenyum begitu melihat seseorang yang beberapa waktu lalu dia hubungi kini telah berada di depannya.
Asha, wanita itu hanya diam. Iris kelamnya menyorot ke depan, tepatnya pada sosok pria di samping Erlang yang kini tengah tertidur dengan kepala terkulai di atas meja. Beberapa gelas kaca kecil dan botol kaca yang berserakan di atas meja membuat Asha bisa menebak apa yang tengah kedua pria itu lakukan.
Tanpa mengatakan apapun, Asha melangkahkan kakinya mendekati meja kedua pria itu, iris kelamnya menyorot iris kelam pria yang masih membuka matanya. Meskipun wajahnya tampak memerah dan sesekali pria itu mengerjab, jelas pria itu lebih sadar daripada temanya yang sudah tidak sadar lagi.
"Kalian mabuk?"
Pertanyaan retoris. Semua orang yang melihatnya juga tau bahwa kedua pria itu tengah mabuk sekarang. Asha juga tau itu.
"Maaf, Asha..." Erlang meringis, wajahnya yang memerah menunjukkan bahwa dia juga mabuk. Asha meraih lengan pria yang tergeletak di samping Erlang, berusaha memapahnya. "Bukan gue yang bikin Carl mabuk, justru Carl yang ngajak gue mabuk," lanjut Erlang pelan. Pria itu meringis saat mendapatkan tatapan tajam dari Asha.
"Hm." Asha hanya menggumam, masih berusaha menggendong Carl yang sudah tidak sadar. Menoleh ke arah Erlang, dia berujar, "bisa lo bantu gue?"
"E- eh?"
Untuk sesaat, Erlang masih tidak sadar apa yang Asha maksud. Bukan apa-apa. Masalahnya, pria itu juga dalam pengaruh alkohol. Jadi, wajar jika membutuhkan waktu bagi otak pria itu untuk memprosesnya.
"Thanks." Asha mengangguk. Dengan bantuan Erlang, dia berhasil membawa Carlisle di punggungnya. "Gue pamit ya, makasih udah ngasih tau gue buat jemput Carl," lanjut Asha datar. Erlang hanya mengangguk singkat, "Emm, sama-sama."
"Huh?"
Setelah Asha dan Carl menghilang dari pandangannya, Erlang mengerjab, seolah baru menyadari sesuatu. Pria itu meringis, menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya.
"Terus gue? gue ditinggal gitu aja?"
Erlang meringis, menumpukan kepalannya di atas meja, mendesah lelah. "Haaaahhhh... Bodoh banget sih gue?" Tangan Erlang memainkan botol wine yang hanya tinggal seperempatnya. menggoyang-goyangkannya. "Jadi, gue menelpon Asha buat jemput Carl doang? Gue nggak di ajak pulang sekalian?"
Erlang mendongak, menatap langit-langit cafe, tangan kanannya yang memegang botol wine dia angkat tinggi-tinggi.
"CARL!!! LU HARUS BERSYUKUR PUNYA TEMEN PERHATIAN SEPERTI GUE!" Erlang berteriak kelas. Beberapa pengunjung melihat ke arahnya sejenak sebelum kembali fokus pada kegiatan mereka masing-masing. Orang mabuk, wajar tingkahnya gila.
"Pokoknya gue bakal minta traktiran lu nanti, Carl!" serunya sebelum kembali merebahkan kepalanya di atas meja.
Sedangkan di tempat lain, Asha tengah berusaha membenarkan posisi Carl yang berada di punggungnya agar pria itu tidak terjatuh. Masalahnya, sejak tadi pria itu terus bergerak-gerak hingga membuat Asha berdecak kesal. Pria itu pikir dirinya tidak berat kali? Meskipun Asha kuat menggendongnya, tetap saja Asha itu wanita!
Karena pergerakan tangan Asha yang membenarkan posisi Carl di punggungnya membuat pria itu terusik, perlahan kelopak matanya terbuka, memperlihatkan iris abunya yang memerah.
"Mmh... Ashaa?" Carl mengerjab, tenggorokannya terasa sakit dan kepalanya terasa berputar. Tapi meskipun begitu, dia bisa merasakan samar aroma Asha begitu dekat dengannya.
"Sudah sadar?" Asha bertanya sambil mengangkat sedikit tubuh Carl, membenarkan gendongannya yang merosot.
"Hmh?" Carl menggumam, masih belum sadar sepenuhnya. Kembali mengerjab-ngerjabkan matanya begitu menyadari ada yang aneh.
Huh? rambut Asha?
Carl mengernyit bingung. Kenapa wajahnya dekat sekali sekali dengan rambut Asha? Bukan... Bukan rambutnya, ini adalah belakang kepala Asha.
"Mmh... Ashaa?" Carl memanggil serak, tenggorokannya masih sakit. Mengerjab bingung. "Lo... Gendong gue?" Asha hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Hm..."
Mendengar gumaman wanita itu membuat kelopak mata Carl yang baru saja tertutup kembali terbuka lebar.
"Huh? Lo benar-benar sedang gendong gue?"
"Hm."
"Eeeh... Impossible, hahaha... Gue cowok, nggak mungkin cewek kuat gendong gue, hahahahahaaa..."
Asha hanya menghela nafas panjang, tidak menjawab ucapan pria yang tengah dirinya gendong di punggungnya, membiarkan pria itu berceloteh dan tertawa sepuas hati. Biarkan saja Carl seperti itu. Dia sedang mabuk dan Asha tidak ingin membuang-buang tenaga untuk meladeni orang mabuk.
Carl tiba-tiba saja menghentikan tawanya, mengerjab saat mencium aroma familier memasuki indera penciumannya. Aroma yang sangat tidak asing, seperti aroma...
Asha?
Eh? Tidak mungkin Asha benar-benar tengah menggendongnya, kan?
Carl kembali terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalannya berusaha menyangkal pikiran bahwa Asha benar-benar tengah menggendongnya. Dia itu pria! Mau di taruh mana harga dirinya kalau Asha benar-benar menggendongnya? Ini pasti mimpi! Ya! Ini pasti hanya mimpi!
Carl mengerjab, menatap lurus ke depan, belakang kepala Asha yang begitu dekat dengannya. Jika ini hanya mimpi, bukankah tidak masalah jika dia menurunkan egonya sedikit saja? Sekali ini saja... Toh, ini juga hanya mimpi kan?
Memikirkan hal itu, Carl perlahan membawa kedua tangannya melingkari leher Asha lebih erat, wajahnya yang memerah oleh pengaruh alkohol dia sandarkan di ceruk leher Asha, memejamkan matanya, menghirup aroma lavender yang membuatnya tenang.
Tubuh Asha menegang. Wanita itu bahkan menghentikan langkah kakinya, iris kelamnya melebar sempurna. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak siap dengan prilaku Carl yang tiba-tiba.
"Hmm... Aku suka aroma ini..." Carl kembali menelusupkan wajahnya di ceruk leher Asha, memejamkan matanya dan menghirupnya. "Sangat menenangkan," lanjutnya.
Asha masih bergeming, berusaha mengatur degup jantungnya yang tengah berdemo di dalam sana.
Apa Carl mulai menerimanya?
Asha meringis, menggeleng perlahan. Mendengar gumaman tidak jelas pria itu, Asha tau, Carl bukannya menerimanya. Pria itu hanya sedang mabuk yang membuatnya tanpa sadar melakukan hal ini. Dengan langkah berat, Asha kembali melanjutkan langkah kakinya. Lebih baik dia segera sampai di parkiran agar bisa menurunkan Carl dari gendongannya dan membawa pria itu pulang secepatnya.
Asha sedikit mendengus kesal menyadari betapa jauhnya Carl memarkirkan mobilnya. Lama-lama punggungnya bisa encok menggendong pria ini.
"Ashaa~" Carl kembali berceloteh. Wajahnya yang memerah masih dia sandarkan di pundak Asha. Kedua kelopak matanya terpejam. "Kenapa gue terus mikirin lo, huh? Brengsek! lo pake pelet apa huh? Manjur banget~"
Deg!
Jantung Asha semakin berdegup kencang mendengar celotehan Carlisle. Asha tau jika pria itu tidak menyadari apa yang dirinya ucapkan karena pengaruh alkohol. Tapi... Meskipun begitu... Bisakah Asha menganggap bahwa apa yang baru saja Carl ucapkan adalah perasaanya yang sesungguhnya?
Apakah itu artinya... Carl mulai membuka hatinya dan menerimanya?
***FLASHBACK OFF***
Tangan kurus itu perlahan meraih gorden kamarnya, membukanya. Memejamkan matanya begitu silau cahaya matahari sore menerpa wajahnya. Meringis merasakan perih pada iris matanya.
Perlahan, Carlisle mulai membuka kelopak matanya, masih sambil meringis begitu sinar matahari kembali memasuki retinanya. Sudah sangat lama sejak terakhir kali dirinya melihat sinar matahari. Sangat lama...
Hampir setahun yang lalu...
Ya, hampir setahun yang lalu, tidak lama setelah kematian Asha...
Carlisle memejamkan matanya. Bulir- bulir bening jatuh dari kedua sudut matanya, melewati kedua pipinya yang begitu tirus.
Sudah satu tahun...
Itu artinya satu tahun telah berlalu sejak Asha pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya...
Mendorong pintu balkon kamarnya, Carl melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berjalan terseok sampai pada pagar balkon kamarnya.
Air mata kembali mengalir melewati pipi tirus pria itu. Rambutnya yang panjang acak-acakan terlihat jelas oleh paparan sinar matahari sore, juga kulitnya yang sepucat mayat. Untuk ukuran manusia yang mengurung dirinya di dalam kamar selama hampir satu tahun, masih menjadi sebuah keajaiban bahwa pria itu masih bernafas hingga saat ini.
Dengan tangan bergetar, Carl memanjat teralis besi balkon kamarnya, duduk di atasnya.
"Maaf... Ashaa... Maaf..." Air mata Carlisle jatuh. Tubuh ringkihnya bergetar. Dia kembali terisak.
"Hiks... Maaf... Maafkan aku.. Ashaaa...."
Bayangan di mana Asha tertabrak karenanya kembali terlintas di pikirannya, membuat tubuhnya semakin bergetar kencang. Seperti kaset rusak, adegan itu terus menerus berputar di dalam kepalanya, membuatnya semakin tertekan, sakit, dan hancur.
"Sakit Ashaaa... Hiks... Ampun... Hiks... Maaf... Maafkan aku..."
Tangan bergetar Carl meremat dadanya, berusaha meredakan nyeri di sana. Air matanya berjatuhan, tubuhnya bergetar semakin kencang.
"Sakit Ashaaa... Hiks..." Carlisle mengadu pada udara kosong. Tangannya semakin kuat meremas dadanya.
Sakit...
Ini sakit sekaliii...
Dia... Tidak kuat lagi...
"Ini terlalu menyakitkan Asha... Hiks... Aku tidak kuat lagi...." Carlisle menggeleng. Wajahnya memerah sempurna, basah oleh air mata.
Carlisle menatap ke bawah. Kamarnya ada di lantai tiga. Meneguk salivanya susah payah, Carl mulai berdiri dari posisi duduknya.
Carlisle memejamkan matanya, mulai mengambil ancang-ancang. Air matanya berjatuhan. "Maaf... Ashaa... Maafkan aku... Aku akan menebus kesalahanku padamu di neraka," ujarnya lirih sebelum akhirnya terjun dari bakon kamarnya yang berada di lantai tiga. Meninggalkan suara debuman keras beberapa detik setelahnya.
...***To Be Continued***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments