...----------------...
"Kenapa penyesalan selalu datang terlambat?"
^^^~Carlisle Haven^^^
"Tidak ada gunanya penyesalan saat segalanya sudah terlambat."
^^^~Asha Pervaz^^^
...****************...
***FLASHBACK ON***
"Aku dengar, kemarin kamu balapan liar lagi?"
Asha memegang lembut pergelangan tangan Carl bagitu lelaki itu lewat di depannya. Sejak Asha beralih jurusan di kelas yang sama dengan Carl, pria itu menjadi lebih sering bolos kuliah.
Carlisle memicingkan matanya menatap pergelangan tangannya yang dicekal gadis di depannya, dengan keras Carlisle menghempaskan cekalan gadis itu dari pergelangan tangannya.
"Berisik! Siapa elo?!"
Asha berkedip ketika pria itu membentaknya dan berbalik pergi dari hadapannya.
Tidak bisa begini! Asha tidak akan membiarkan pria itu pergi begitu saja.
"Tunggu!"
Asha berlari. Menghembuskan nafas lega ketika dirinya berhasil menghadang laju pria itu. Asha merentangkan dua tangannya agar Carl tidak bisa kabur dari hadapannya. Dia menatap lekat pria yang sudah menjadi tunangannya itu.
"Kamu tanya siapa aku?" Asha bertanya, dengan kalem dia melanjutkan kalimatnya, "tentu saja aku tunanganmu."
Carl terperangah mendengar jawaban kalem gadis di depannya.
Sial! Bagaimana bisa dirinya terjebak dengan gadis bebal macam ini?!
...****************...
"Bro! Lu udah ngerjain tugas belum?"
"Hah? Tugas apa?"
Carl berkedip. Iris abunya melebar sempurna begitu menyadari bahwa hari ini ada resume harus di kumpulkan.
"Sial!"
Erlang terkekeh geli, iris kelamnya menyorot Carl mengejek. "Mampus, suruh siapa lu balapan nggak ngajak-ngajak. Rasain noh..."
"Sialan lo emang!" Carl menarik kerah baju Erlang. Apa-apaan temannya ini? Masa hanya gara-gara nggak dirinya ajak balapan semalam dia nggak ngasih tau dirinya kalau hari ini ada tugas? Teman macam apa itu?
Sedangkan Erlang, korban yang kerah bajunya tengah di tarik oleh Carl malah tertawa puas. Dia benar-benar puas melihat raut wajah kesal temanya. Apakah dia tidak marah diperlakukan seperti ini oleh Carl?
Jawabannya tidak. Tidak sama sekali. Erlang sudah terbiasa dengan sifat temannya yang satu ini. Justru, semakin Carl emosi, Erlang semakin puas melihatnya.
Melihat temannya yang tidak takut tapi malah tertawa puas, Carl mendecih. Melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Erlang, dia merapikan posisi duduknya. Mengambil iPad dari dalam tasnya dan mulai membuka kuncinya. Carl tidak punya banyak waktu lagi. Dua puluh menit lagi, dosen akan segera masuk kelas.
"Carl?"
Jari Carl yang tengah menyentuh layar iPadnya terhenti begitu sebuah suara memanggil namanya. Carlisle menghela nafas, lanjut menggeser iPadnya, membaca jurnal yang harus dirinya resume secepatnya. Tanpa mendongakkan wajahnya-pun Carl tau siapa yang memanggilnya. Suara yang sudah familier di telinganya. Suara yang sudah mengganggunya beberapa minggu ini.
Asha— gadis yang memanggil Carl— menghela nafas pasrah. Sudah biasa. Dirinya sudah terbiasa diabaikan oleh pria itu. Bahkan tadi, saat mereka bertemu di depan fakultas seni— fakultas yang harus anak fakultas bisnis lewati jika mereka ingin menuju ke fakultas mereka— Carl benar-benar menolaknya. Meskipun status mereka adalah tunangan, Asha memaklumi sikap Carl yang seperti itu padanya. Bagaimanapun juga, pertunangan ini adalah perjodohan, jadi wajar jika pria itu membencinya.
"Ah, kamu lagi baca file buat tugas resume ya?" Asha membungkuk, melihat apa yang Carl lakukan dengan iPadnya.
Carl berjengit, dia refleks menjauhkan tubuhnya begitu hembusan nafas gadis menerpa telinganya.
"LO!" Carl melotot, wajahnya memerah hingga telinganya. "LO GILA YA?! KENAPA LO NGOMONG SEDEKAT ITU?!"
Hening...
Satu kelas yang awalnya sedikit berisik mendadak hening begitu mendengar teriakan kencang Carl, pria arogan, menyebalkan yang mendapatkan julukan 'gila' oleh mahasiswa fakultas bisnis. Semua atensi kini teralih pada pria itu.
Sedangkan Asha sendiri kini memiringkan kepalanya bingung. Dia sendiri tidak tau kenapa Carl bereaksi seperti itu.
Tapi...
Melihat bagaimana pria itu mengusap-usap telinganya kasar dengan raut wajah yang memerah membuat Asha sedikit melengkungkan bibirnya. Sangat tipis hingga tidak ada yang menyadarinya. "Lucu," gumamnya pelan.
Carlisle memang pria arogan yang menyebalkan, tapi di mata Asha, Carl itu lucu. Menggemaskan sekali. Sikapnya yang ganas terkadang malah terlihat seperti kucing yang tengah berkelahi, dengan bulu-bulunya yang menegak sempurna.
Asha meraih bangkunya dan menariknya maju, menempelkannya di samping meja pria itu. Carl melotot, karena posisinya tengah berdiri menjauh dari mejanya, jadi dia tidak sempat mencegah Asha menempelkan meja mereka.
"MAU APA LO?!" Carl berteriak dari tempatnya berdiri. Dia masih belum berani mendekat. Hanya saja, rona merah di wajahnya berangsur angsur menghilang.
Asha tidak menjawab, meraih iPad pria itu yang masih tergeletak di atas mejanya, dia memberikan garis warna merah di bagian-bagian tertentu dengan cepat.
Setelah melakukannya, Asha berdiri, melangkah mendekati Carl dan menarik pergelangan tangan pria itu, membawanya duduk kembali ke bangkunya. Carl yang tampak masih linglung menurut saja saat Asha menarik pergelangan tangannya.
"HE–HEI!" Carl berkedip begitu mulai menyadari apa yang terjadi. "A– Apa-apaan ini?"
"Duduk." Alih-alih menjawab, Asha malah memerintahkan agar pria itu duduk di bangkunya. "Aku sudah memberikan garis di setiap point penting yang ada di jurnalnya."
"Si– siapa yang minta bantuan lo?!"
Gengsi.
Semua mahasiswa yang ada di dalam kelas itu refleks mendecih. Sudah terlalu hafal dengan sifat Carl yang satu ini juga. Selain arogan dan gila, Carl juga memiliki gengsi setinggi langit.
Asha duduk di bangkunya yang kini berada tepat di samping meja Carl. Menatap pria itu datar, mengendikkan bahunya. "Yaudah kalau nggak mau aku bisa hapus saja. Ah, sebentar lagi dosennya akan datang."
Carl kicep. Tanpa lihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya juga dia tau bahwa dosen akan masuk sebentar lagi. Jadi, dengan cepat, dia menarik kembali iPadnya dan mulai membuka Microsoft word di iPadnya. Karena Asha sudah memberikan garis di point penting yang ada di jurnal, Carl jadi tidak perlu lagi membuang-buang waktu untuk membaca jurnal hanya untuk mencari point pentingnya. Kini, dia hanya perlu fokus untuk mulai menuliskan resumenya.
"Gue nggak akan bilang makasih." Carl membuka suara tanpa menoleh ke arah Asha yang ada di sampingnya. Iris abunya dan tangannya fokus mengerjakan resumenya. "Lo sendiri yang inisiatif. Gue ngga minta, jadi gue nggak akan bilang makasih."
Asha menoleh, mengulas senyum tipis. Dia mengangguk. "Hm, nggak masalah."
Senyum Asha semakin lebar melihat pria di sampingnya yang kini fokus mengerjakan tugasnya. Rasanya... Asha ingin sekali menepuk-nepuk pucuk kepala pria itu. Mengelus rambutnya yang terlihat menggemaskan. Tapi Asha sadar diri. Dia tidak mungkin melakukan hal itu.
Asha merenung. Iris kelamnya menerawang...
Kira-kira... Kapan ya, dia bisa menyentuh kepala Carl?
Asha menggeleng kecil. Menghela nafas.
Tidak... Tidak...
Tidak perlu memegang rambut Carl. Bisa duduk bersebelahan seperti ini saja sudah suatu kemajuan.
Senyum tipis kembali terulas di bibir Asha. Gadis itu mengangguk.
Ya, semua itu butuh proses. Tidak perlu terburu-buru. Asha akan menantinya dengan sabar. Dia yakin, bahwa dia bisa meluluhkan hati pria itu seiring berjalannya waktu.
Asha sudah membulatkan tekad.
Hanya saja... Saat itu, Asha tidak pernah menyadari, bahwa keputusannya mencintai pria itu akan menjadi penyesan terbesar dalam hidupnya.
***FLASHBACK OFF***
"A... Ashaa..."
Suara serak sarat putus asa kembali bergema di dalam kamar gelap yang tampak berantakan. Carl— Pria dengan rambut panjang kusut yang merupakan pemilik kamar kembali terisak. Tubuhnya yang ringkih terlihat bergetar, meringkuk di samping ranjangnya.
"Hiks... Asha... Maaf... Hiks... A... Aku salah... Hiks... Tolongh... Kembali.. Hiks..."
Hancur...
Sejak kematian Asha, Carlisle benar-benar hancur.
Hidupnya kini hanya sekedar mengurung diri di kamar yang gelap. Menangis, dan terus menyalahkan dirinya sendiri.
Carlisle bahkan menolak makan. Orangtuanya sampai harus mengundang dokter pribadi untuk menyuntikkan vitamin agar putra mereka tetap hidup. Sesekali, Carlisle akan jatuh tertidur. Tapi, meskipun Carlisle tertidur, dia terus berteriak dalam tidurnya.
Mengalami mimpi buruk setiap saat nya. Mimpi di mana Asha meregang nyawa tepat di hadapannya. Mimpi di mana dia benar-benar membunuh Asha dan mimpi di mana Asha mengatakan bahwa wanita itu membencinya. Mimpi buruk yang terus terulang setiap detiknya.
Tidak hanya depresi. Carl sudah rusak. Fisik dan mentalnya sudah benar–benar tidak bisa tertolong lagi.
"Hiks... Apa... Apa yang harus aku lakukan Asha...?" Air mata Carlisle jatuh semakin deras.
"Apaa.. Yang harus aku... Lakukan hiks untuk menebus... Hiks... kesalahanku?"
Perih...
Karena bibirnya yang kering dan pecah-pecah, rasanya... Bahkan untuk mengucapakan sesuatu terasa menyakitkan. Tidak hanya bibirnya yang perih, tenggorokannya yang kering juga terasa sakit luar biasa.
"Hiks... Haruskah... Aku mengakhiri... Hidupku untuk menebus kesalahanku?"
...***To Be Continued***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments