Teringat akan kejadian di mana dirinya memergoki Ayara bersama pria lain. Membuat mood Marvin di pagi hari, akhir pekan ini turun drastis. Rencananya untuk bersantai ria pun lenyap, kala ingatan itu tak kunjung pergi dari pikirannya.
Tidak mau terus-menerus memikirkan kejadian kemarin. Marvin beranjak dari tidurnya untuk keluar kamar. Dia harus olahraga atau setidaknya berjemur di taman belakang, guna menjernihkan pikirannya.
Akan tetapi, bukannya pikirannya jernih. Dia semakin kesal saat mendapati Ayara yang tengah menikmati teh hijau di taman belakang rumahnya. Seolah kejadian kemarin bukanlah suatu hal yang berarti. Jadi, di sini posisinya, hanya dia yang merasa kesal. Sedangkan, wanita itu tidak.
Hal itu semakin membuat emosi Marvin menumpuk di kepalanya dan siap untuk diledakkan. Namun, sebisa mungkin dia menahannya. Ingat Marvin! Jangan melewati batas. Lagian, mau dia sama laki-laki lain itu privasi dia. Tapi, kan, dia istri sah gue.
Dengan mendengus, Marvin tetap berjalan menuju taman belakang. Bahkan, dia dengan sengaja menyenggol kaki Ayara yang kebetulan sedikit memakan jalan.
“Anjir!” Ayara refleks mengumpat saat kakinya disenggol keras.
Namun, bukannya minta maaf. Marvin malah terus berjalan, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, raut wajah pria itu lempeng saja, semakin terlihat menyebalkan di mata Ayara.
“Buta, lo!” sembur Ayara yang sudah kesal.
Mendengar itu, Marvin refleks menoleh ke Ayara dan menatap tajam ke arah wanita itu. “Mulut lo itu minta disekolahin lagi kayaknya,” balasnya tidak merasa bersalah.
Mata Ayara sontak membola dengan mulut ternganga. Dia pun berdiri dan menunjuk wajah Marvin dengan berani. “Lo duluan yang mulai, ya!”
“Apa? Kaki lo aja, tuh, yang makan tempat,” sahut Marvin tidak mau disalahkan. Kemudian, pria itu kembali melanjutkan langkahnya untuk lebih ke tengah di area taman belakang itu.
Melihat itu, Ayara semakin dibuat kesal. Dia mengepalkan kedua tangannya, menahan emosinya yang sebentar lagi akan meluap. “Buaya Gila!”
Setelah menyumpah serapahi Marvin. Ayara pergi dari tempat itu, masuk ke dalam rumah dengan mengentak-entak kakinya emosi. Akhir pekan yang dia harapkan akan tenang, harus hancur seketika, karena ulah Marvin.
Tanpa Ayara sadari, tingkahnya itu berhasil menimbulkan seutas senyum tipis di bibir Marvin. Sebelum pria itu kembali melakukan olahraga ringan. Sudah di atas seperempat abad, tapi tingkahnya masih cukup menggemaskan.
***
Efek tidak ada ART di akhir pekan. Membuat Ayara mau tidak mau harus turun tangan sendiri ke dapur, saat perutnya mulai berbunyi. Tidak tahan dengan rasa lapar, di waktu siang hari. Ayara segera melihat-lihat isi kulkas, untuk melihat bahan apa yang ada.
Isi kulkas yang cukup lengkap, berhasil membuat Ayara tersenyum lebar. Setidaknya, dia tidak perlu repot untuk berbelanja. Tinggal mengeksekusi bahan makan yang ada, lalu siap untuk disantap.
Tengah serius dengan bahan-bahan makanan untuk dia masak. Marvin tiba-tiba datang. Sebisa mungkin Ayara diam, dan mengacuhkan keberadaan pria itu. Demi kenyamanan hati dan juga moodnya. Ayara terus memfokuskan diri untuk tidak menoleh ke arah Marvin.
“Sifat manusia itu memang cukup sulit berubah. Kalau asalnya udah tebar sana-sini. Sampai kapan pun juga tetap tebar pesona,” celetuk Marvin sembari membuka kulkas.
Ayara mencoba tetap tenang, dan menulikan telinganya. Tidak memedulikan apa pun yang terlontar dari mulut Marvin. Toh, apa yang dilontarkan Marvin tidak mengarah padanya. Anggap saja, pria itu tengah berbicara sendiri layaknya orang gila.
Merasa pancingannya tidak berefek. Membuat Marvin menggeram marah. Dia tidak terima dengan itu. Entah apa alasan pastinya. Tetapi, dia sungguh kesal melihat Ayara yang seolah tidak melakukan kesalahan. Ya, walaupun sebenarnya dari awal sudah berkomitmen untuk tidak mengusik pribadi masing-masing. Tetap saja, Marvin tidak terima dengan apa yang dilakukan Ayara.
“Sok cantik banget! Giliran di depan pria lain senyum-senyum. Bahkan, tertawa. Giliran di rumah, di depan suaminya berasa ngajak perang.” Marvin kembali bersuara.
Brak!
Ayara muak sudah dengan Marvin yang sedari tadi memancing amarahnya. Mungkin, dia masih bisa mentolerir ucapan pria itu. Tetapi, tidak bisa lagi untuk sekarang. Saat dengan jelas Marvin berkata seperti itu, yang mengarah ke dirinya.
“Mau lo apa, sih? Gue udah diam gak ngerecokin lo! Kenapa lo sendiri yang panas buat ngerecokin gue?!” Ayara berseru lantang.
Mendengar itu, Marvin hanya menaikkan sebelah alisnya itu dengan tetap menampilkan wajah datarnya. “Lah! Siapa yang ngerecokin coba? Dasar aneh!” balasnya santai.
Hal itu membuat Ayara kembali bertambah emosi. “Lo pikir gue bodoh! Jelas-jelas lo nyindir-nyindir gue dari tadi!”
“Emang kapan gue nyindir lo? Gue gak ada nyebut-nyebut nama lo!” elak Marvin acuh tak acuh.
Rasanya emosi Ayara tidak lagi bisa ditampung. Dia benar-benar jengah dengan sikap Marvin yang menyebalkan dan kekanak-kanakan itu. Dia pun menatap nyalang ke arah Marvin.
“Dari dulu ... lo gak berubah! Lo egois dan lo selalu menghindar saat ada masalah! Dan gue bener-bener muak dengan lo, Marvin!” Ayara meluapkan amarahnya yang terpendam cukup lama..
Setelah meluapkan amarahnya. Ayara pergi dari dapur meninggalkan Marvin yang terdiam sendiri. Ayara tidak lagi peduli dengan makanan yang akan dia masak, tidak lagi peduli dengan perut laparnya. Sungguh dia lelah, dan dia hanya butuh waktu sendiri, sekaligus istirahat.
Sedangkan Marvin tersenyum kecut sembari melihat bahan-bahan makanan yang ditinggalkan Ayara. Bukan cuma lo yang muak, Ayara. Gue juga muak!
***
Sejak pertengkaran siang tadi. Ayara sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Dia tertidur dan terbangun saat matahari sudah terbenam. Dia menggeliat pelan dan memutuskan untuk mandi. Agar badannya bisa lebih segar.
Setelah menyelesaikan acara mandinya dan moodnya sudah mulai membaik. Ayara berniat untuk melanjutkan masaknya yang dia tinggalkan tadi. Namun, sebelum itu, Ayara lebih dulu menutup jendela kamarnya, karena tiba-tiba hujan turun dengan deras beserta angin dan petirnya.
Ayara suka hujan, tetapi tidak dengan petir. Karena menurutnya, petir itu sangat mengerikan. Di saat hujan seperti ini, ingatan Ayara kembali mengingat saat-saat sebelum menikah. Biasanya, dia akan menyelinap masuk ke kamar kedua orang tuanya. Karena, dia takut petir dan kegelapan.
Tetapi, sekarang dia harus sendiri. Dia hanya bisa berharap, cukup petir saja yang datang. Jangan berbarengan dengan kegelapan. Sungguh, jika itu terjadi, dia tidak tahu harus ke mana. Dia pasti akan sangat ketakutan.
Tidak mau berlarut akan pikiran buruknya. Ayara pun segera menutup gorden kamarnya dan segera keluar dari kamarnya. “Indomie dan telur sangat pas dimakan saat hujan seperti sekarang,” monolognya dengan terus melangkahkan kakinya ke arah dapur.
Hingga tiba-tiba seluruh cahaya lampu mati serentak. Membuat tubuh Ayara membeku di ujung anak tangga. “Arghhhh!”
Mendengar lengkingan suara Ayara membuat Marvin tersentak. Dia yang tengah mencari lampu emergency pun memutuskan untuk menghampiri Ayara. Namun, tiba-tiba daya ponselnya mati. Membuat dia urung untuk keluar kamar dan mencari power bank miliknya. Oh shit! Ayara takut sama gelap dan petir!
Ayara masih berdiri di tempat. Dengan mengandalkan pegangan besi tangga. Tubuh Ayara gemetar. Dia mencoba menuruni tangga perlahan. Tetapi, dia tiba-tiba mulai sesak nafas.
“T–tolong! A–aku ... mohon. M–mar ... vin!”
*
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa like, komen, dan bintang lima ya guys 😘
See you 🫶
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments