Di rumah itu, semoga tidak ada lagi pertengkaran.
...Si... Do......
...♪♪♪...
Penampilan Miya berakhir, semua orang bersorak riang dan bertepuk tangan. Itu benar-benar penampilan terbaik dan terbagus dari klub musik tahun ini.
"Miya kau benar-benar sangat hebat." puji kapten klub musik kepada Miya.
"Benar, kau yang terbaik Miya."
"Iya kau sangat hebat."
Pembimbing klub musik datang menghampiri Miya memberi selamat serta pujian. Dia juga berkata bahwa baru Miya yang bisa menampilkan tampilan terbaik dari klub musik.
"Terimakasih banyak, ini semua juga berkat kalian semua." Miya tersenyum bahagia.
Setelah berbincang-bincang dengan teman klubnya, Miya meminta izin untuk pergi menghampiri orang tuanya. Dia berjalan ke area depan panggung. Terlihat orang tuanya berpindah posisi duduk di dekat orang tua Ana.
"Hai cantik..." sapaan dari Ibunya Ana kepada Miya saat Miya tiba. "Hai, Tante," sapaan balik dari Miya untuk Ibunya Ana dengan ekspresi yang sedikit canggung. Miya melihat ke arah Ana, namun Ana hanya fokus pada ponselnya saja.
"Bagaimana kita makan siang bersama?" ajak dan tanya Ibunya Ana. Ibunya Miya mengiyakan ajakannya. Mereka pun setelah selesai dari acara pergi bersama menuju rumah makan terdekat.
Setelah sampai di rumah makan sambil menunggu hidangan. Kakaknya Ana bertanya-tanya kepada Miya akan lanjut sekolah di mana. "A-ano... A-aku," Miya benar-benar bingung ingin menjawab apa. Sebab dia belum kepikiran soal itu dan dia juga lupa untuk memikirkan hal itu.
Ayahnya pun yang menjawab pertanyaan dari Kakaknya Ana. Ayahnya berkata bahwa Miya sudah di daftarkan di sekolah yang berakreditasi A di Kota 3, nama sekolahnya SMP 209.
"Ha?" Miya sangat terkejut karena Ayahnya belum membicarakan hal itu kepadanya.
"Wow hebat. Ngomong-ngomong Kota 3? Memangnya tidak kejauhan Om?" tanyanya. Ibunya Ana juga tidak menyangka kalau Miya akan melanjutkan sekolahnya di luar kota. Ana yang sudah tahu kalau Miya akan pindah rumah, biasa saja mendengar kabar itu.
Ibunya Miya menjelaskan bahwa mereka akan pindah rumah ke Kota 3. Itu juga syarat dari tempat kerja Ayahnya Miya. Mereka akan pergi nanti malam.
"Pantas saja aku melihat beberapa kardus dan koper berada di depan rumah kalian." kata Ibunya Ana.
"Jadi rumah yang ini akan kau jual Pak Li?" tanya Ayahnya Ana kepada Ayahnya Miya.
"Jika ada yang ingin membelinya, akan aku jual. Jika ada yang ingin menyewakannya saja, akan aku sewakan." jawabnya dengan sedikit bergurau.
Ayahnya Ana tertawa lalu menepuk tangan Ayahnya Miya. Dia juga memberi dukungan serta do'a yang terbaik untuknya dan untuk keluarganya.
"Hahaha terimakasih banyak Pak Sam."
Selama makan siang berlangsung, Miya dan Ana benar-benar saling diam-diaman saja. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka untuk berbincang satu sama lain.
"Ngomong-ngomong Ana akan lanjut sekolah di mana?" tanya Ibunya Miya bergantian.
"Heee, a-ano..." Ana sedikit gugup untuk menjawabnya.
"SMP 3, sekolah populer tahun ini. Aku lihat-lihat dia dan Miya ingin menjadi siswi populer di sekolah ya." jawab Kakaknya Ana dengan meledek.
Kedua orang tua Ana dan kedua orang tua Miya tertawa mendengar perkataan Kakaknya Ana barusan. Sedangkan Miya dan Ana hanya cengengesan merasa sangat malu.
"Kakak bodoh. Awas saja, tidak akan ada bekal untukmu saat kuliah dalam satu minggu ini." ancam Ana di dalam hatinya geram terhadap Kakaknya.
Waktu makan siang pun berakhir. Keluarga Miya dengan keluarga Ana saling berpamitan satu sama lain.
"Terimakasih banyak, sampai bertemu lagi."
Biar rumah mereka bersampingan, mereka jarang sekali berbaur karena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Ibu dan Ayahnya Miya bekerja, begitu juga dengan Ibu dan Ayahnya Ana. Kakak laki-lakinya Ana kuliah dan baru memasuki semester 2, dia mengambil teknik sipil.
Miya tidak memiliki seorang kakak ataupun adik, Miya adalah anak satu-satunya di dalam keluarganya.
"Apa aku boleh minta sesuatu?" tanya seorang gadis kecil.
"Apa sayang?" jawab dan tanya seorang Ibu.
"Aku ingin memiliki seorang adik." jawabnya.
Mendengar jawaban dari sang anak, sang Ibu meneteskan air matanya sambil memeluk sang anak. Dia menjelaskan kepada anaknya bahwa Tuhan tidak bisa memberi dirinya seorang bayi lagi. Karena ada sebuah penyakit khusus dari Tuhan yang dititipkan kepada Ibunya.
Di rumah, Miya sedang mengepak pakaiannya dan juga barang-barang berharganya. Miya mengambil gayung, cermin, rak-rak kecil, dan lain sebagainya.
Terlihat banyak sekali kardus yang menumpuk di kamar Miya dan hanya tersisa ranjang tidur, lemari pakaian dan juga meja belajarnya saja.
"Aku tidak yakin dengan ini," keluhnya sambil menggaruk-garukkan kepala.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Ibunya berjalan memasuki kamar sang anak. Ibunya tercengang saat melihat banyak tumpukan kardus di dalam kamar anaknya.
"Ya ampun sayang,,, kamu mengemas semuanya..." Ibunya melihat isi barang-barang yang sudah dikemas oleh Miya. Setelah melihatnya, Ibunya memberitahu bahwa di rumah barunya nanti sudah ada fasilitas-fasilitas yang umum lainnya.
"Saran Ibu kamu tidak perlu membawa pakaian-pakaian mu dan juga barang-barang sekolah mu. Tidak akan muat sayang kalau semua barang-barang ini masuk ke dalam mobil." Ibunya mengusap kepala anaknya.
"Iiihhhh Ibu tidak bilang dari tadi sih, aku sudah terlanjur mengemas semuanya seperti ini." Miya mengerutkan bibir dan juga dahinya merasa sudah sangat lelah dan malas.
"Tidak apa-apa, lagi pula kita tidak akan tinggal di sini lagi." ungkap Ibunya lalu berjalan pergi menuju lantai bawah.
"Ibu tunggu ya,"
Miya membuka kardus yang berada di atas ranjang tidurnya, isi di dalam kardus itu adalah barang-barang seperti buku gambar, pensil warna, komik, novel dan juga kaset-kaset film yang Miya miliki.
Dia mengambil buku gambar itu lalu melihat isi di dalamnya. Terdapat gambar-gambar yang dia buat bersama Ana saat waktu kecil.
"Ana lihatlah," Miya menunjukkan sebuah gambarnya kepada Ana.
"Hahaha kamu menggambar diriku ya, itu sangat lucu." saut Ana.
Miya menggambar Ana saat Ana sedang bersandar di jendela kamarnya sambil bermain ponsel.
"Apa kamu sudah siap Miya? Langit sudah mulai gelap." teriak Ibunya dari lantai bawah.
Miya langsung bergegas turun ke bawah, dia tidak membawa barang apapun selain earphone, ponsel, tablet dan juga laptop yang sudah dia masuki ke dalam tasnya.
Sementara itu...
Saat Miya sedang mengepak-ngepak barang-barangnya, Ana melihat bayangan tubuh Miya dari gorden kamarnya. Saat Miya keluar dari kamar dan mematikan lampu kamarnya, Ana bergegas langsung keluar dari rumah.
"Kamu langsung saja naik ke mobil. Biar Ibu dan Ayah yang mengangkat barang-barang ini." suruh Ibunya kepada Miya.
"Miya," Ana berucap pelan saat melihat sahabatnya menaiki mobil.
Ayahnya menutup bagasi mobil lalu menaiki mobil. Ibunya menggembok pagar rumah dan menaiki mobil juga. Perlahan-lahan mobil pun melaju pergi dari pandangan Ana.
"Miya..."
"MIYAAA..."
"MMIIIYYYAAAA!!!..."
Ana berusaha mengejar mobil yang ditumpangi Miya namun sia-sia, tangisannya pun pecah melihat sahabatnya benar-benar pergi meninggalkannya.
"Ana, ada yang ingin aku ceritakan kepadamu." ungkap Miya yang sedang terbaring di dalam rumah-rumahan.
"Cerita saja, aku siap untuk mendengarnya." Ana sedang menggendong boneka bayi dan memberinya susu.
"Tadi malam Ayahku berkata, kalau kami akan pindah rumah keluar kota." Miya menutup kedua matanya dengan lengannya.
Ana menoleh ke arah Miya lalu mengangkat satu lengannya. "Kamu menangis?" tanya Ana.
"Aku tidak siap Ana." Miya memiringkan tubuhnya membuang pandangannya dari Ana.
Di dalam kamar setelah melihat kepergian Miya. "Uuuhhhh... Uuuhhhh..." Ana memeluk bonekanya, terlihat pipinya basah sebab air matanya. "Aku juga tidak siap Miya." Ana memejamkan kedua matanya.
...***...
Prak!!!...
"Kamu itu sudah tidak punya apa-apa lagi Zoya. Nurut saja sih!" bentak sang suami kepada istrinya.
"I-iya, ma-maafkan aku" rintihan takut sang istri dengan tangan yang memegang pipi meringkuk di pojokan ruangan.
Kring!!!... Kring!!!... Kring!!!...
Suara alarm berbunyi, Miya bangkit dari tempat tidur sambil mematikan alarmnya. Dia berjalan menuju jendela kamar lalu membukanya. Yang biasanya terlihat pemandangan jendela kamar Ana, kini hanya terlihat halaman belakang rumahnya saja.
"Huftttt..." Miya menghela nafasnya. Tiba-tiba angin berhembus kencang hingga membuat rambut Miya terhempas.
"Non waktunya sarapan" seseorang mengetuk pintu kamar.
Miya turun ke lantai bawah lalu terduduk di kursi meja makan. Ayahnya tiba bersama Ibunya, terlihat pipi kanan Ibunya bengkak memerah. Miya bertanya soal itu, Ibunya menjawab bahwa dia sedang mengalami sakit gigi hingga pipinya ikut membengkak.
Miya menoleh melihat Ayahnya, terlihat dia biasa saja sedang menyendok hidangan ke piringnya. Namun hati Miya timbul rasa curiga kepada Ayahnya sendiri.
Kini Miya hidup lebih mewah dari sebelumnya. Ayahnya naik jabatan di tempat kerjanya. Ibu Miya dari yang bekerja kini tidak bekerja lagi, dia hanya fokus untuk pekerjaan rumah dan mengurus keluarga kecilnya.
Ayahnya juga memperkerjakan dua orang di rumahnya, dua orang itu adalah sepasang suami istri paruh baya. Sudah 30 tahun menikah namun mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
"Non Miya tidak mau jalan-jalan keluar?" tanya Bibi saat Miya sedang bersantai di halaman belakang rumahnya.
"Apa di dekat sini ada sebuah taman bermain Bi?" tanya Miya.
Bibi mengatakan bahwa di dekat sini tidak ada taman bermain, melainkan hanya taman-taman biasa saja yang dipenuhi dengan tetumbuhan.
Miya menceritakan kepada Bibi kalau di rumahnya yang dulu ada sebuah taman bermain, "Perosotan ada, ayunan ada, bahkan rumah-rumahan kecil juga ada Bi. Di sebelah kirinya ada tumbuhan bunga Raflesia, indah sekali." Miya bercerita dengan amat sangat bersemangat.
Bibi sangat menyukai dan menyayangi Miya, dia menganggap Miya seperti anaknya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments