Menjatuhkan hati pada seseorang, bahkan rela berkorban demi dirinya, tidak seindah dalam bayangan. Kenyataan akan dirinya yang pergi meninggalkan sosok ketulusan hati seorang diri, tanpa tahu bagaimana terlukanya akan rasa benci yang tak terukir.
Tiba-tiba sosok tersebut hadir kembali mencoba mengisi gelas yang sudah terisi penuh pun, tertumpah begitu saja menggenang bagai belanga air keruh. Tatapannya bagai tersiksa, tapi percayalah sosok ketulusan hati itulah yang benar-benar hancur baik jiwa dan raga.
“Mommy ... why are you crying?” tanya polos Xavia di saat tanpa sadar Irene kembali menitikkan air matanya. Terkejut akan pertanyaan buah hatinya, Irene segera menyapu titik air mata dengan sebuah senyuman bahagia yang begitu menyiksanya.
“I’m okey hunny ... Mommy hanya tidak suka kau, dan Kak Xander mengambil barang dari orang lain begitu saja, oke?” balas Irene sembari membelai lembut rambut Xavia yang panjang terurai.
“Tapi Mommy, paman itu terlihat baik ... bukankah Mommy pernah berkata pada kami untuk bersikap sopan pada orang yang memperlakukan kita dengan baik,” balas Xander, bersikap dewasa seperti biasanya.
Tak kuasa akan berbagai rasa yang timbul di dalam hatinya, Irene mendekap erat kedua buah hatinya yang masih dengan polos menghabiskan gulali kapas dan ice cream pemberian dari Hendrik sebelumnya. Membiarkan mereka menghabiskan sejenak, Irene pun membawa kedua kembar kembali pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, seperti biasa nenek Emma langsung mengetahui bahwa ada sesuatu yang sedang Irene sembunyikan melihat senyuman terpaksa yang begitu sangat terlihat menyedihkan. Memanggil Colie sang kakak ipar untuk menitipkan kedua buah hatinya, Irene yang mengerti pun akhirnya terduduk bersimpuh seraya menyandarkan kepalanya pada sang nenek.
“Hendrik ... dia, membeli sebuah apartment di dekat sini,” ucap Irene bernada lirih, seolah mengadu pada Nenek Emma.
“Benarkah? Dari mana kau tahu itu?” tanya Nenek Emma sembari membelai lembut kepala Irene.
“Ren bertemu dengannya, dan ia membelikan kembar gulali kapas dan ice cream kesukaan mereka,” balas Irene kembali semakin menutupi wajahnya kepangkul kedua kaki Neneknya.
“Irene, percayakah kau takdir? ... Nenek dan kakekmu dulu pernah bertengkar hebat bahkan sampai berpisah rumah selama beberapa bulan. Di akhir ternyata kesalahpahaman terjadi di antara kami, hingga membuat kami menyesal karena membuang waktu untuk membenci.”
“Apa yang ingin Nenek sampaikan pada Ren?” tanya Irene yang kali ini menatap sendu pada Nenek Emma, begitu tersenyum lembut seperti biasanya.
“Sebenci apa pun, sekuat apa pun kau menolak, jika sudah tiba waktunya ... kebenaran dengan kenyataan akan muncul dengan sendirinya mau kau suka atau tidak,” ucap Nenek Emma.
“Sekuat ... apa pun Irene mencobanya?”
“Yaa ... karena boleh jadi saat kau membenci sesuatu, justru itu sangat baik untukmu ... atau bisa juga saat kau menyukai sesuatu, padahal itu buruk untukmu,” lanjut Nenek Emma mencoba menjelaskan pada Irene yang tertegun mendengar perkataan Nenek Emma.
Sebuah kecupan lembut pada kening Irene pun terasa begitu menangkannya di saat Nenek Mia pun kembali membelai rambut pirang Irene yang terurai. Tertunduk mengesampingkan arah kepalanya, Irene bersikap layaknya Xander dan Xavia saat sedang bersikap manja.
Entah hati yang terkunci itu dapat kembali terbuka atau tidak, namun bagi Irena terhadap kenangan sebelumnya bersama Hendrik, bagaikan malapetaka yang hadir dalam hidupnya. Penyesalan beserta kesedihan pun terus membungkus perasaan Irene yang kini tertutup pada janji manis semu.
...***...
“Mommy, Mommy look ... i made it, Xander juga membuat yang sama,” ucap Xavia dengan memberikan selembar kertas hasil gambarannya, yang akan dikumpulkan saat kelas menggambar di sekolahnya nanti.
“Hunny, you’re doing great ... is this really—” Irene seketika terdiam saat memandang hasil lukisan Xavia dan Xander yang terlihat bahagia akan moment kemarin sore saat di taman kota.
Irene seketika menatap pada Xander, jagoan kecilnya yang perkasa pun tiba-tiba terlihat menyeringai dengan senyuman penuh arti. Melanjutkan menatap pada Xavia, putri yang amat sangat dicintainya, sebuah gambar ilustrasi penuh warna akan goresan crayon begitu jelas terlihat.
Di pagi hari ini, di saat Irene berniat untuk memulai hari dengan aktivitas padat seperti biasanya, Irene justru dikejutkan dengan keinginan yang dituliskan Xavia dan Xander pada ujung kertas gambarnya. Permintaan polos dari kedua anak polos tanpa dosa.
Irene menekuk kedua kakinya seraya agar sejajar dengan Xavia dan Xander, kembali menatapnya keduanya, Irene mencoba untuk menanyakan apa maksud dari tulisan mereka sembari merapikan seragam dasi sekolah Xander dan rambut Xavia dengan sebuah pita dan bando.
“Hunny, boleh Mommy tahu apa alasan kalian ingin bertemu dengan paman itu kembali? Kalian baru pertama bertemu dengannya kemarin sore di taman, kenapa terlihat begitu senang?” tanya Irene sembari menatap anaknya dari pantulan cermin meja rias putri kerajaan milik Xavia.
“Mommy lupa yah, kita pernah bertemu paman itu, bukan? Mommy berbicara dengannya saat kita menjemput Mommy malam itu,” ucap Xander dengan penuh antusias seperti biasanya. Daya ingat dan pemahaman Xander memang lebih tajam dari anak seusianya, hingga terkadang membuat Irene kebingungan jika sudah berdebat dengan jagoan kecilnya.
“Kalian, mengingatnya? Paman itu?” balas Irene begitu terkejut, karena ia merasa menutupi kembar dan langsung membawa mereka masuk ke dalam mobil.
#Paman tampan dan baik hati, bisakah kita bertemu kembali?#
Irene menatap begitu tertegun pada kedua buah hatinya yang menaruh hati akan sebuah pengharapan yang mereka tulis, hingga terlihat begitu sangat dinantikan. Tulisan keinginan hati yang tak kuasa menahan perasaannya, Irene memalingkan pandangannya seraya menahan air matanya.
Jika ingin berkata dan melawan kata hatinya yang membeku, ingin sekali Irene mengatakan bahwa paman itu adalah ayah kalian. Permohonan akan sosok seorang ayah yang begitu sangat dinantikan dalam doa setiap malam sebelum keduanya tertidur lelap, selalu membuat luka hati Irene semakin melebar hingga tak ada lagi ruang tersisa.
Hidup seorang diri dengan membesarkan kedua anaknya, serta sadar akan perjuangan hidup sebelumnya yang keras, mengajarkan Irene banyak hal hingga membuat sifatnya berubah bagai seekor singa yang begitu menjaga wilayah kekuasaannya.
Namun seketika tertampar oleh perkataan nenek Mia yang selalu dalam ingatannya, Irene terdiam mencoba untuk tidak berbicara namun dalam hatinya ingin sekali berteriak akan ketidakadilan yang harus ia hadapi, tak kala pri yang dicintainya hadir begitu saja dengan wajah tanpa dosa.
...***...
...- Kessler mansion, kediaman mewah milik keluarga Kessler di Houston.-...
Kabar akan CEO utama PT. Etheral yang saat ini berdiam di Dallas begitu lama, akhirnya menimbulkan kecurigaan kedua orang tua Hendrik. Mencoba mencari tahu secara diam-diam, mereka pun mempertanyakan alasan Hendrik yang tiba-tiba membeli sebuah apartment di tengah pusat kota Dallas.
Terhubung pada Bastian yang tentu saja menjadi mangsa utama mereka jika ingin mencari tahu segala informasi mengenai Hendrik, seperti biasa Bastian sudah mempersiapkan sandiwara terbaiknya dalam bersandiwara tak kala panggilan video pun langsung terhubung.
“Tuan ... Nyonya,” ucap Bastian, tertunduk penuh hormat.
“Kau ini! Sudah Ibu bilang jangan memanggil kami dengan sebutan itu! Apa kau masih belum bisa menganggap kami orang tuamu?!” sentak Mia pada Bastian, Ibu dari Hendrik.
“Ba-baik ... Pa-Pak, Bu-Buu ...,” Bastian merasa canggung karena baginya untuk memanggil mereka dengan sebutan itu, sungguh tidak pantas mengingat masa lalunya yang kelam.
“Apa kabarmu? Kenapa tidak memberikan laporan terbaru, dan bagaimana proyek di Dallas? Berjalan lancar?” tanya William Kessler, Presdir PT. Etheral dan ayah dari Hendrik.
“Baik Pak, proyek sudah mulai berjalan dan tidak ada masalah sama sekali. Karena itu, saya tidak memiliki hal yang harus dilaporkan karena pak CEO melakukan pekerjaannya dengan sangat baik,” balas Bastian sembari tersenyum palsu akan begitu banyaknya masalah yang terjadi.
“Lalu untuk apa anak itu membeli sebuah apartment luas di Dallas? Apa anak itu sedang mencoba mengejar seorang wanita di sana?!” tanya William dengan tatapan menyudutkan pada Bastian.
“Mungkin, sebaiknya mengenai masalah ini tanyakan lebih jelas pada Hendrik secara langsung Pak,” Bastian mencoba mencari jalan tengah untuk jawaban yang belum bisa dijelaskan olehnya.
“Baiklah kalau begitu, tapi aku tetap meminta kalian berdua berhati-hati dan selalu waspada. Jangan sampai kejadian dulu kembali terjadi pada kalian berdua!” pinta William dengan wajah penuh khawatir membayangkan Hendrik dan Bastian ada bahaya yang mengancam.
“Tentu saja Pak, perkembangan perusahaan semakin meluas tentu akan terjadi banyak masalah. Saya dan Hendrik sudah siap dengan segala kemungkinan, dan kami di sini juga sedang mencari bukti lainnya,” balas Bastian dengan penuh percaya diri.
PT. Etheral yang sempat diberitakan atas pelanggaran aturan ketenagakerjaan yang kala itu bermula dari adanya manipulasi peraturan perusahaan, ternyata memang sengaja dilakukan oleh Anna dengan seorang pembisnis ilegal, di saat Hendrik dan William pergi mengurus anak cabang perusahaan di luar negeri.
Memberlakukan status kontrak bagi pekerjaan yang bersifat tetap, pemotongan upah, melanggar aturan tentang Keselamatan Kesehatan Kerja (K3), bahkan PHK sepihak. Balas dendam yang kala itu dilakukan beberapa pekerja pun menjadi tak terkendali, bahkan membahayakan nyawa Hendrik dengan segala tindakan pidana yang mereka coba lakukan.
Karena hanya dalam waktu singkat, Hendrik dapat memulihkan nama baik perusahaan bahkan mampu memberikan bukti dengan terbukanya PT. Etheral sehingga pemerintah pun bisa menyelidiki
“Peristiwa bentrok antara tenaga kerja asing (TKA) dan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang memicunya, sampai saat ini Hendrik pun masih mencoba menyelidiki Pak,” lanjut Bastian.
“Beberapa karyawan itu sepertinya masih belum terima, kalian harus benar-benar sangat berhati-hati dalam ini. Aku yakin di mana pun kalian berada, setidaknya ada satu atau dua orang yang mengincar, menunggu kesempatan di saat kalian lengah!” William menatap begitu serius.
“Kami mengerti Pak. Hendrik sendiri pun sudah terbiasa dengan semua informasi yang sudah saya berikan padanya mengenai transaksi ilegal di pasar gelap,” balas Bastian dengan tertunduk malu.
“Bass, meski masa lalumu kelam, setidaknya ingat ... saat ini kau memiliki kami,” ucap Mia sembari tersenyum manis pada Bastian seraya ingin mengembalikan kepercayaan diri Bastian.
Tersenyum dengan segala rahasia yang tidak diketahui, tentu bagi jiwa pendosa pun sungguh bagai terbakar api yang menjalar di setiap relung jiwanya. Masa lalu yang tak akan bisa diubah kembali, tahukan mereka akan bahaya atau rahasia apa yang tersembunyi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
KakBil
Nenek sangat bijak
2023-12-15
1
Nadhira Alfia Nisa
👍👍👍👍👍
2023-12-11
0
虞书欣 Vííҽ🦂
jiwa pndosa pun bgai trbakar api smpai relung jiwa kereeeeennnnn👏aq suka klise kek gni🥰🥰
2023-12-06
1