Kenangan 2

Banyak keluhan dan juga rasa bahagia, tanggung jawab yang hadir atas lahirnya sang buah hati pun terlepas dari begitu diinginkan atau tanpa terduga. Namun bagi jiwa yang begitu menantikan kehadirannya, tentu itu semua bagai rasa syukur dan bahagia yang tak bisa terbendung.

Kelahiran buah hati di saat detik berakhirnya pernikahan pun bagai mimpi buruk bagi Irene, karena harus berjuang seorang diri sebagai orang tua tunggal. Tak kala membuatnya mengambil keputusan untuk melarikan diri bersama keluarganya pada sebuah kota yang indah.

Dallas, adalah kota pilihan Irene pertama kali di saat harus meninggalkan kota Houston, hanya agar terlepas dari pengaruh keluarga Kessler agar dapat memulai hidup yang jauh lebih baik. Kenangan menyedihkan berhasil membuat lubang besar penuh luka, bukan hanya untuknya namun juga untuk keluarga besarnya.

Sang kakak yang bernama Collin pun menyusun sebuah rencana untuk sengaja menutupi berkas tentang kelahiran anak Irene yang terlahir di rumah, di mana anak kembar terlahir namun keduanya sungguh berbeda atau biasa di kenal dengan kembar Fraternal.

Dengan membuka restaurant milik keluarga yang baru di Dallas, keluarga Irene pun memilih untuk tinggal di satu atap yang sama dengan Colie sang kakak ipar, dan nenek Emma yang begitu dicintai Irene karena berperan menggantikan sosok kedua orang tuanya ketika mengalami kecelakaan berujung maut tak bernyawa.

“XANDER! XAVIA! Apa yang harus Mommy lakukan pada kalian berdua?! KEMARI!” teriak Irene begitu keras dari lantai bawah karena tidak berhasil mengejar kedua anaknya.

“Yess Mommy, jangan marah Mommy ...,” ucap Xavia dengan nada manjanya, memberikan tatapan malaikat seperti biasanya agar tidak di marahi, dengan Xander yang mengerutkan alisnya.

“Katakan, siapa di antara kalian yang melakukan ini?” tanya Irene memperlihatkan hasil masakannya yang kini dipenuhi tepung terigu dan dua ekor ulat bulu berwarna putih di atasnya.

“Mom bilang mau bikin salju di atasnya bukan? Xavia mau membantu Mommy,” ucap polos anak berusia 4 tahun itu.

“Bukan tepung sayang, tapi gula putih halus yang— lupakan! Lalu, kau jagoan ... apa ulat bulu ini hasil kreativitasmu? Dengan apa kau membawanya? Tanganmu?”

“No Mommy ... Xander melihat ada penjepit panjang dari kayu di ruangan tengah,” balas Xander begitu singkat dengan wajahnya yang datar, menunjuk kearah meja makan.

“Tunggu, pen-penjepit kayu? Maksudmu sumpit? Xander, apa penjepit kayu itu kau taruh di—” Irene seketika menatap pada ruangan makan di mana nenek Emma sudang menggunakan sumpit kayu tersebut untuk memakan dimsum, yang sudah digunakan Xavier untuk mengambil ulat bulu.

Tak dapat lagi berkata, Irene hanya mampu menelan salivanya seolah membayangkan bagaimana jika ia memberitahu bahwa sumpit yang digunakan nenek Emma saat ini telah anaknya gunakan untuk mengambil ulat bulu yang akan menjadi objek sains kesukaannya.

Kehadiran kembar Fraternal benar-benar luar biasa bagi Irene sebagai orang tua tunggal. Menginjak usia mereka yang kini berjalan mendekati lima tahun, raut wajah dan sifat kedua anaknya begitu sangat berbeda namun memiliki keunikan masing-masing.

Xavia begitu mirip dengan Irene bahkan dari sikap dan cara bicaranya pun sama, begitu menyukai seni gambar. Tidak lepas dari Xander yang lebih mirip dengan Hendrik, jiwa kepemimpinan begitu terlihat dalam dirinya tak kala menginginkan sesuatu dengan ide yang cemerlang.

(BRAAKK) Suara pintu halaman belakang yang tertutup.

“Jangan bilang Xander mendapatkan ulat bulu itu darimu Kak,” Irene menyempitkan matanya seraya menyudutkan sang Kakak yang baru dari halaman pekarangan belakang rumah.

“Keponakanku bilang dia ingin melihat sendiri proses metamorfosis, tentu aku harus mendukung kepintarannya,” balas Collin saat berjalan masuk ke dapur dengan senyuman jahil.

“Aaah, Sist hampir lupa ... apa proyek itu jadi kau ambil?” lanjut Collin bertanya sembari memakan sebuah apel.

“Entahlah Kak, aku baru 2 bulan kembali bekerja meski desainku memang mereka pilih, tapi ... aku masih ragu untuk memulai kembali, mengingat sudah lama tidak merancang desain dan beker—”

“Kau arsitek terbaik, ingat itu! Lagi pula kembar sudah besar, aku dan Colie bisa bergantian mengantar jemput mereka. Sekolah TK tidak terlalu ketat, kurang apa lagi?! Hey, dengar perkataan Kakak, ambil proyek itu dan kejarlah impianmu.”

Mendengar perkataan sang Kakak, akhirnya timbul keberanian dalam diri Irene saat ini. Berbagai pertimbangan akan pekerjaannya dalam perancang bangunan, terlibat dalam perencanaan, atau bahkan mengawasi konstruksi bangunan, tentu akan bergitu menyita waktunya.

Irene yang menyadari akan perannya untuk memandu keputusan yang memengaruhi aspek bangunan dalam sisi estetika, budaya, atau masalah sosial, menjadi tantangan sendiri tak kala saat menikah dulu, Hendrik begitu memanjakannya hingga ia tidak perlu bekerja keras.

“Jika begitu ... Kak, siang ini ada tanda tangan kontrak persetujuan kerja sama, bolehkah aku menitipkan mereka padamu dan kakak ipar? Karena sepertinya akan sampai malam,” tanya Irene sedikit memainkan jemari tangan.

“Pergilah ... tenang jangan khawatirkan apa pun, usia kandungan Colie juga masih muda jadi dia masih dapat bergerak bebas. Kembar pun begitu menyayanginya bukan?” balas Collin tersenyum.

Irene menundukkan kepala seraya setuju dan dengan secepat kilat berlari menuju lantai atas untuk berganti pakaian untuk menyiapkan segala hal yang perlu dibawa untuk menjelaskan kembali kepada klien pemegang tender, tentang konsep rancangan bangunannya yang lulus seleksi.

Tidak memiliki banyak waktu tersisa, Irene memilih menggunakan jasa motor online agar dapat sampai kantor tepat waktu mengingat kepadatan kota pada tengah hari mendekati istirahat siang. Berlari secepatnya menuju ruangan meeting, Irene datang tepat waktu sesaat sebelum pihak investor utama datang untuk mendengar penjelasannya.

“Irene, akhirnya ... aku pikir kau mengundurkan diri, syukurlah kau datang,” ucap Giselle sahabat Irene sekaligus manager perusahaan.

“Maaf, kau tahu kondisiku bukan? Kedua anakku benar-benar luar biasa,” sahut Irene dengan senyuman jahilnya.

“Kau sudah menyiapkan semuanya? Kudengar klien kita ini terkenal sulit dihadapi, sudah membaca email yang kukirimkan padamu lagi?” Giselle mencoba untuk memastikan, akan sebuah emali yang terlambat dikirimkan.

“Semua klien sama saja bagiku. Jika mereka menyukai desain buatanku setelah mendengar permintaan mereka, tentu aku sangat bersyukur ... kalau gagal, aku tidak ingin mengambil pusing,” balas Irene penuh percaya diri, hingga membuat Giselle tersenyum kagum karenanya.

Terdengar percakapan orang-orang yang ramai dari luar seolah saling menyapa, tentu bagi Irene menemui rekan bisnis dengan penampilan formal dan berkelas akan terlihat biasa saja mengingat cara hidupnya dulu ketika saat masih menjadi istri Hendrik, bagian dari keluarga Kessler.

Dari balik dinding kaca, Irene menyembunyikan detak jantungnya yang berdetak kencang seolah siap berlari meninggalkan raganya. Kegugupan pada tangannya yang dingin dan bergetar pun terpaksa terhenti tak kala harus memperkenalkan diri pada investor utama tersebut. Hingga ternyata,

“Perkenalkan dia adalah Irene Farmer, arsitek yang mendesain rancangan bangunan yang anda sukai, Irene perkenalkan dirimu,” ucap Giselle sembari mengarahkan tangannya pada Irene.

“Sa-saya Irene Fa-Farmer ... senang bertemu dengan anda,” ucap Irene terkejut namun mencoba profesional.

Tatapan pria itu pun sama seperti Irene saat ini, begitu menjurus bagai tercengang menghadapi kenyataan yang begitu tak terduga. Irene seketika menundukkan kepalanya seraya menyalahkan diri sendiri karena tidak membaca email kedua dari proyek klien yang sempat dikirimkan oleh Giselle semalam.

Bagaimana bisa aku seperti ini?! Apa proyek itu diberikan oleh perusahaan keluarga Kessler? Aarrgghh, Irene! Kenapa kau bodoh sekali?! Apa dia akan menganggapku sengaja mengambil proyek ini?! Gumam Irene dalam hati, yang kini terlihat begitu gugup dan serba salah.

“Senang bertemu denganmu, silahkan berikan penjelasan lebih detail padaku tentang desain proyek pembangunan ini karena aku tidak ingin membuang waktu,” balas Hendrik begitu dingin, langsung terduduk pada sebuah kursi yang sengaja melewati Irene begitu saja.

Irene terhentak dengan langsung mengambil semua file atau lembar kertas yang sudah dikerjakannya, mencoba untuk bersikap profesional dengan menjelaskan sangat baik dan terencana, Irene berusaha memalingkan pandangan dingin Hendrik padanya seolah begitu menusuknya.

“Baiklah, berapa lama perkiraan persiapannya? Aku ingin estimasi yang akurat, agar anggaran yang dikeluarkan tepat sasaran dan proyek berjalan lancar sesuai waktu,” Hendrik kembali berperan layaknya CEO perusahaan besar yang tegas.

“Tidak lebih dari seminggu karena perizinan sudah selesai, pihak jasa konstruksi pun sudah siap, hanya tinggal persetujuan dana cadangan pembangunan saja dari anda, Pak Hendrik,” balas Irene menatap kebawah, tak mampu menadahkan tegas kepalanya keatas untuk menatap lawan bicara.

Hendrik dengan segera menandatangani kontrak kerja dan dengan begini Irene pun terikat kontrak pekerjaan dengannya, walau dalam hati ingin sekali ia meminta Hendrik untuk membatalkannya dan meminta arsitek lain yang mengambil alih proyek ini.

Bisnis keluarga Kessler yang semakin melebarkan sayapnya, tentu mudah jika hanya mengeluarkan anggaran dana atau membereskan semua masalah dalam waktu singkat. Irene pun akhirnya hanya dapat tertunduk lemas, menyadari kesalahannya saat pertama kali bekerja.

...***...

“Haruskah aku datang? Ini sudah malam, Giselle jika aku ikut jamuan makan malam, kembar akan mencariku ... bisakah kau mencari alasan agar aku tidak ikut?” pinta Irene dengan begitu memohon pada Giselle yang akhirnya mengerti akan kondisi sahabatnya itu.

Tentu sebagai aktor utama dalam proyek pembangunan, ketidakhadiran Irene dalam jamuan makan malam sebagai pengikatan kerja sama pun sedikit menyinggung Hendrik, hingga membuatnya meninggalkan tempat jamuan lebih cepat, meski hanya sekedar meminum segelas wine untuk menghormati mereka yang sudah menyiapkan.

Menunggu di lobby pintu keluar, Hendrik begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya saat ini. Kehadiran Collin dan Colie saat mengendarai sebuah mobil untuk menjemput Irene, membuatnya terhentak tak kala Irene memeluk penuh kasih sayang dengan ribuan ciuman rindu pada dua anak tersebut.

Hendrik membeku mencoba menyadarkan dirinya bahwa pemandangan yang ia lihat saat ini adalah benar. Kedua anak yang terlihat seusia namun begitu berbeda satu sama lain, entah mengapa membuat hati Hendrik merasa tertusuk atas suatu alasan yang tidak ia mengerti.

“Kedua anak itu ... Irene, apakah mereka adalah anakmu?”

Terpopuler

Comments

Ekowati Puji Lestari

Ekowati Puji Lestari

Cerita yang menarik

2024-02-02

1

Nadhira Alfia Nisa

Nadhira Alfia Nisa

👍👍👍👍👍

2023-12-09

0

dinda anissa

dinda anissa

baru eps 2 makin seru😍

2023-12-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!