Sudah lama sebenarnya Biduri mengagumi ketampanan anak tunggal dari pengusaha besar Tuan Arkananta dan pemilik butik terkenal Elzantie.
Kalau pas mereka ngobrol soal Raka hati Biduri merasa senang mendengarnya.
"Kamu itu seperti pungguk merindukan bulan. Tidak mungkin bisa memetik hati sang pangeran itu," kata Biduri pada dirinya sendiri ketika pertama kali mulai merasa kesengsem dengan cowok itu.
Sebelum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kedua kakinya lumpuh, Raka kesehariannya bersikap kaku dan cuek. Selalu fokus dengan kewajibannya sebagai anak. Sementara orangtuanya terus mengatur kegiatannya dengan ketat.
Tiap hari yang tidak pernah lepas dari belajar. Sesekal diberi kesempatan bermain itu pun dalam kegiatan di kampus. Hidup Raka seperti tidak boleh menyia-nyiakan waktu secara percuma. Agar kelak menjadi lelaki yang hebat. Siapa lagi yang akan mewarisi seluruh kejayaan perusahaan papanya kalau bukan Raka.
Karena itulah Raka hampir tidak tahu urusan di rumah. Hanya fokus pada kegiatannya sendiri. Bertemu dengan papa mamanya saja jarang sekali. Apalagi sampai bertemu dengan Bi Minah dan anak gadisnya yang lebih banyak berada di belakang.
Tapi akhirnya semua aktifitas itu berhenti total setelah Raka mengalami kecelakaan. Hari-harinya hanya dihabiskan di atas kursi roda. Sikap riangnya berubah menjadi murung. Semangatnya belajar hilang sama sekali. Bahkan sudah lama tidak masuk kuliah. Suport dan dorongan spirit dari orangtuanya tidak pernah didengarkan lagi.
"Kenapa aku tidak mati saja dalam kecelakaan itu. Selesai!" ucap Raka kepada Biduri penuh penyesalan.
Waktu itu Biduri memberanikan diri mengajaknya ngobrol. Entah karena melihat apa dalam diri Biduri, Raka mau bicara menceritakan kecelakaan yang dialami walaupun awalnya membisu dan angkuh.
"Kalau mas Raka terus berlatih saya yakin bisa sembuh dan bisa berjalan lagi seperti sediakala," kata Biduri memberikan spririt lebih giat berlatih menggerakan kakinya.
Sejak itu Raka mau berlatih berjalan dengan dituntun oleh Biduri. Ajaib memang. Raka yang tadinya keras kepala seperti batu, ternyata bisa cair dan enak diajak ngobrol.
Mungkin karena seringnya mereka bersama itu benih-benih cinta turun di jantung mereka masing-masing. Dan pengukuhannya terjadi siang tadi.
Malam makin larut. Di kamar tak begitu lebar itu hanya terdengar suara jangkrik kecil di bawah lemari. Kini ditambah suara desah tidur Bi Minah dan Biduri.
\*\*
Tak terasa pagi begitu cepat datang. Biduri sudah selesai mandi.
Seperti yang sudah dinasihatkan ibunya semalam, pagi itu Biduri tidak akan memakai yang mini-minian atau yang ketat-ketat lagi.
Kejadian siang kemarin membuatnya dia mengerti. Bahwa mengenakan rok mini sangat merugikan!
Tapi dia bingung juga mau pakai apa? Karena di dalam lemari pakaiannya kalau tidak pendek-pendek modelnya ketat-ketat semua.
"Saya pakai apa, Bun?" tanya Biduri bingung di depan lemarinya yang ia buka lebar-lebar.
"Kalau tidak salah kamu kan punya daster baru yang belum pernah kamu pakai," kata Bi Minah seraya ikut memilah-milah tumpukan pakaian Widuri yang ada di lemari.
"Yang mana sih, Bun. Aku lupa?" tanya Biduri memperhatikan ibunya yang sibuk mencari daster yang dimaksud.
"Itu daster batik warna biru muda."
"Ah, Moh! Jadul sekali itu, Bun."
"Kamu itu mau bekerja apa mau pesta?"
"Tapi jangan daster dong, Bun. Kelihatan seperti emak-emak. Malu sama Raka," jawab Biduri.
"Maksudmu, Den Raka? Kok bisa malu sama dia sih. Emang ada apa kamu dengan dia?"
Biduri gugup ditanya ibunya seperti itu. Sial! Kenapa tadi dia menyebut nama cowok tampan itu. Jadi curiga akhirnya.
"Eh! Ya, tidak ada apa-apa kok, Bun. Cuma malu saja."
"Biasanya malunya gadis kepada seseorang itu pasti ada sesuatu yang dipendam. Apakah kamu ada hati dengan Den Raka?"
Kembali Biduri gugup dengan pertanyaan ibunya. Buru-buru dia kembalikan lagi ke persoalan baju yang dipilihkan ibunya.
"Ndak apa-apa deh, Bun. Saya Pake daster juga bisa."
"Bener kamu mau pake daster. Tidak malu kelihatan seperti emak-emak. Ini sudah saya temukan!" Bi Minah menunjukkan baju terusan yang panjangnya sampai di bawah lutut dan berwarna biru muda.
Widuri mengambil baju itu dari tangan Bi Minah. Lalu dibukanya lipatannya yang kelihatan sudah kusut. Karena ditemukan pada tumpukan paling bawah tertindih baju lainnya. Bahkan sudah bau kayu lemari dan coro.
"Masih baru tapi kusut ya, Bun," kata Widuri sambil membentang-bentangkan baju tersebut kurang bersemangat.
"Disetrika sebentar dan disemprot pewangi biar kelihatan rapih."
"Iya, Bun." Biduri cepat ke tempat setrikaan masih di dalam kamarnya.
Setelah kain daster itu sudah halus dan harum karena disemprot pewangi, Biduri segera kenakan dan mematut-matut diri di depan kaca lemari.
"Kamu itu dasarnya memang cantik. Pakai daster pun tidak hilang kecantikanmu, Nduk," ujar Bi Minah bangga kepada anak satu-satunya itu. Kemudian dia pun ingat ayah Biduri yang berada nun jauh di seberang sana. "Pasti senang dia kalau melihat anaknya sekarang sudah tumbuh besar," gumamnya.
Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di dalam dapur. Padahal pagi baru pukul 05.30. Tugas rutin Biduri adalah menyiapkan sarapan di meja makan utama setelah ibunya selesai memasak.
Setelah menu makanan sudah tersajikan semua di meja dalam, biasanya Tuan Arkan, Nyonya Elzatie dan Raka baru sarapan sekitar pukul 07.00 sebelum berangkat ke tempat aktifitasnya masing-masing.
Tapi pagi itu hanya Tuan Arkan dan Elzatie sarapan lebih pagi. Karena akan pergi keluar kota. Sedangkan Raka belum kelihatan keluar dari kamar sampai papa mamanya itu berangkat.
Biduri segera memberesi piring dan gelas bekas untuk sarapan mereka berdua. Tangannya cekatan bekerja. Tetapi matanya sesekali memperhatikan kamar Raka. "Ah! Kenapa aku jadi kepingin ketemu?"
Sampai Biduri selesai membersihkan meja Raka belum keluar juga dari kamarnya. Bahkan hingga pukul 08.00 belum kedengaran suaranya memanggil Bi Minah untuk dibantu menurunkan atau menaikan kursi rodanya.
"Bun tumben Den Raka belum keluar dari kamarnya?" tanya Widuri keppo.
"Sudah kamu bekerja apa yang perlu kamu kerjakan saja. Tidak usah pingin tahu apa yang dilakukan aden."
"Iya, Bun," jawab Biduri lalu beranjak menuju ke halaman belakang.
"Kamu mau apa?"
"Bersihkan taman, Bun."
"Lho kemarin kan sudah kamu bersihkan."
Biduri jadi ingat kembali kejadian kemarin. Disaat dia sedang mencabuti rumput liar tiba-tiba datang Raka yang langsung menabraknya karena terpental alibat kursi rodanya terantuk batu.
"Oya, lupa," ucap Biduri malu. Bi Minah cuma memandangnya penuh tanda tanya.
"Kamu ke ruang tamu saja. Kelihatan masih kotor belum Bunda bersihkan semuanya."
"Iya, Bun."
Biduri segera menuju ke ruang tamu. Setengah berjinjit dia melangkah melewati kamar Raka yang berada tidak jauh dari kamar papa dan mamanya.
Namun sial malah Raka keluar dari kamarnya dan melihat gadis itu berjalan berjinjit.
"Mau kemana, kamu?" tanya Raka dengan angkuhnya. Padahal kemarin sangat lembut membelai dan mencumbunya.
"Inikah teori laki-laki. Bila sedang pingin dibelai dan disayang. Tapi bila sedang tidak kepingin menyapa pun dengan nada kasar." Kata Biduri dalam hati.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments