"Maaf, Den..., Aden apakah melihat Biduri.... Disuruh bersihkan ruang tamu kok malah main kemana bibi tidak tahu...." Terdengar lagi suara Bunda.
Biduri makin ketakutan berada di dalam toilet kamar Raka. Kalau di dalam kamar itu ada pintu belakang pasti akan memilih cepat-cepat kabur dari pintu itu.
"Tidak tahu Bi. Coba lihat ke dalam saja kalau Bibi tidak percaya." Terdengar jawaban Raka yang sangat berani.
Hih! Mengapa malah disuruh masuk. Gimana sih Mas Raka? Batin Biduri.
"Saya percaya, Aden...Maaf, Den. Bibi tidak usah mengecek ke dalam," kata Bi Minah kemudian meninggalkan Raka yang tetap berada di ambang pintu.
Setelah itu dia memutar jalan kursi rodanya, menutup pintu dan kembali ke dalam kamar menemui Biduri.
"Ibumu sudah pergi kita lanjutkan lagi?" Kata Raka menjajaki hasrat Biduri untuk bermain-main lagi.
Biduri tak menanggapi. Mimik mukanya nampak masam. Dia langsung balik kanan berjalan menuju ke pintu keluar.
"Hai! Hati-hati barangkaki ibumu masih ada di depan," seru Raka mengingatkan sehingga Biduri menghentikan langkahnya.
"Biarin Bunda tahu. Karena Mas Raka sih aku jadi repot begini. Kalau sudah begini situasinya apa yang mesti kita lakukan. Mas Raka mau bertanggungjawab?" kata Biduri dengan kesal sekali. Kedua matanya sudah basah hampir menangis.
"Jangan kuatir, aku mau bertanggung jawab kok. Misalkan ibumu minta menikahimu sekarang, aku pun sudah siap," kata Raka membuat perasaan Biduri sedikit lega.
Biduri kemudian mengintip situasi di luar dari sela-sela pintu. "Kelihatannya belum aman, Mas," ucapnya kemudian.
"Makanya kamu tidak usah keluar dulu. Kita masih ada kesempatan untuk bermain-main lagi haha...."
"Enak aja...!" kata Biduri lalu ditelitinya lebih dulu situasi di luar. Setelah kelihatan aman Biduri berlari dari pintu kamar Raka setengah berjinjit.
Sesampai di luar ia langsung menuju ke ruang belakang lewat teras samping. Sehingga tidak terlihat oleh ibunya yang sedang berada di dapur. Lalu dia langsung masuk kamarnya dan merebahkan badannya ke kasur.
Tidak beberapa lama setelah Biduri pura-pura tidur ibunya masuk dan kaget melihat Biduri sedang telentang denfan enaknya di tempat peraduan.
"Ya ampuuun...Ternyata kamu disini, Nduk. Bunda tsampai mencarimu kemana-mana. Malah tadi Bunda sempatkan bertanya kepada Raka apakah dia melihatmu," kata Bi Minah dengan pandangan curiga kepada Biduri.
Biduri pura-pura tidak enak badan menggosok-gosok keningnya dengan obat balsem. "Pusing rasanya kepala ini," gumamnya.
"Kamu pusing ya, Nduk. Apa karena belum makan," tanya Bi Minah memancing keterusterangan anaknya. Karena tadi pagi masih kelihatan segar bugar. Tidak ada keluhan apa-apa.
"Ndak tahu, Bun," jawab Biduri karena tidak tahu mau jelasin sakit apa.
Jawaban itu membuat dahi Bi Minah mengernyit. Muncul tanda tanya di dalam hatinya. Sedang mengalami apa sebenarnya anaknya itu. Bi Minah mengira-ngira. Apa mungkin karena masuk angin saja.
"Bunda kerokin saja, ya," pancing Bi Minah.
"Ndak usah, Bun. Sebentar lagi juga sembuh kalau sudah diberi obat balsem," Biduri menolak soalnya di bagian dada ada bekas tanda merah kenangan dari Raka tadi.
"Kamu itu sebenarnya sedang memikirkan apa sih, Nduk? Apa kamu kecewa Bunda larang memakai rok mini?" kata Bi Minah pingin Binari terus terang saja apa yang sedang dipikirkannya. Jelas sekali keluhan pusingnya itu terlihat tidak wajar.
"Saya tidak memikirkan apa-apa kok, Bun," jawab Biduri bertahan dengan kebohongan.
"Kamu tidak perlu malu mengatakan kepada, Bunda. Siapa lagi kalau bukan Bunda yang bisa membantumu memecahkan persoalan."
"Iya. Tapi Biduri tidak punya masalah kok, Bun."
"Jangan bohong! Lebih baik kamu sampaikan saja masalah itu sebelum terlambat."
Biduri berpikir keras. Aakah sebaiknya dia katakan saja apa yang sudah terjadi dengan Raka. Karena cowok itu kelihatan serius mencintainya. Bahkan sudah merencanakan ingin menikah dengan Biduri.
"Sebenarnya sih tidak ada masalah yang berat. Cuma saya kok kepikiran tentang ayah," kata Biduri membelokan ke masalah yang dari dulu masih abu-abu itu.
Perkataan Biduri itu membuat mimik muka Bi Minah berubah kecut.
"Bukankah sudah pernah Bunda katakan kepadamu, kalau ayahmu sudah meninggal, Nduk," jawab Bi Minah sangat terpaksa. Ia selalu merasa gamang untuk mengungkapkan masalah ayah Biduri sampai sekarang.
"Kalau sudah meninggal mestinya ada makamnya. Kenapa Bunda tidak pernah menunjukkan makamnya kepadaku?" Biduri lebih tajam mengajukan pertanyaan. Membuat Bi Minah terpojok.
"Makamnya ada di kampung. Tapi sekarang sudah hilang akibat bencana tanah longsor," jelas Bi Minah mengarang alasan agar Biduri tidak tahu masalah yang sebenarnya.
"Apakah tidak ada bekasnya sama sekali, Bun?"
"Ya sudah tidak ada. Tanah makam itu kini telah menjadi sawah dan sungai." Kebohongan itu makin melebar.
"Berarti jasad yang dimakamkan disana semuanya hilang?" Biduri penasaran ingin tahu.
"Ya, tidak hilang semua. Sebagian kecil masih ada terutama yang tidak ikut longsor."
"Kalau begitu percuma ya, Bun. Padahal aku ingin tahu makam ayah," kata Biduri dengan mimik sedih.
"Memangnya kamu ada keperluan apa kok tiba-tiba ingin menjenguk makam ayahmu?"
"Cuma pingin tahu saja, Bun. Entah kenapa aku kok kepingin kehadiran seorang ayah saat ini."
Biduri menyampaikan suara hatinya yang sebenarnya. Suara hati itu tiba-tiba muncul setelah Raka merencanakan akan menikah dengannya beberapa menit yang lalu.
Jika Raka benar mau melamarnya, mestinya orangtuanya tidak akan mengabulkannya begitu saja. Tuan Arkan dan Nyonya Elzatie pasti akan menanyakan asal usul Biduri. Darimana dia berasal, siapa orangtuanya. Jangan sampai mereka akan menuduh Biduri adalah anak haram. Karena ayahnya tidak jelas.
"Bunda jadi curiga kamu pasti sedang ada masalah besar, Nduk. Katakan saja tidak apa-apa. Bunda tidak akan memarahi kamu."
Waduuh. Biduri jadi yang merasa terpojok sekarang. Ia menyesal kenapa tadi menyinggung persoalan ayahnya. Tapi sudahlah sebaiknya terus terang saja.
"Ya, Bun. Biduri memang sedang menghadapi masalah yang rumit sekarang. Tapi Bunda tidak perlu tahu dulu. Nanti pada waktunya Bunda akan aku beri tahu."
"Bunda sudah menebak sejak Bunda melarangmu sering memakai pakaian minim. Pasti masalahmu itu ada hubungannya dengan Raka, bukan?"
Seperti ada bom yang meledak dalam dada Biduri. Terbongkar sudah apa yang disimpan rapat-rapat selama ini.
"Sudah sejauh mana kau berhubungan dengan Den Raka?" tanya Bi Minah sudah mirip pak polisi yang menginterogasi.
"Biasa saja kok, Bun," jawab Biduri pendek.
"Biasa saja bagaimana? Ini kejadian yang luar biasa! Tuan Arkan pasti akan murka kalau tahu. Bunda takut hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada kita nanti," kata Bi Minah dengan sikap marah campur panik.
"Maaf, Bun. Bukan Biduri yang memulai tapi Mas Raka," Biduri coba ngeles.
"Tapi kalau kamu tidak menanggapi pasti tidak akan terjadi pacaran. Kamu juga salah kenapa selalu memancing perhatiannya," Bi Minah tetap menyalahkan anaknya sendiri.
"Terus bagaimana Bun yang mesti Biduri lakukan?"
"Pokoknya Bunda tidak ingin kamu pacaran dengan Raka. Bagaimana caranya untuk tidak melanjutkan hubungan itu kamu yang tahu," kata Bi Minah serius.
"Tapi bagaimana jika Raka tidak mau, Bun. Karena dia pernah mengancam kita akan dipecat bila aku tidak mau jadi pacarnya."
"Itulah yang Bunda takutkan. Kamu disuruh jangan terlalu dekat dengan Raka, malah sekarang sudah pacaran. Bunda jadi pusing mikirin kamu," kata Bi Minah kesal lalu meninggalkan Biduri begitu saja....
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments