“Saya akan mengambil dua pegawai saja yang berprofesi sebagai pelayan. Dan saya juga sudah memilih dan memutuskan. Anisa dan Natasya kalian yang saya pilih untuk bekerja sebagai pelayan di cabang restoran yang baru. Besiaplah besok kurir restoran akan menjemput kalian jam 7 pagi.” Jelas Rendi.
“Baik Pak.” Jawab Natasya dan Anisa.
“Apakah kalian keberatan?” Tanya Rendi menatap Natasya dan Anisa secara bergantian untuk memastikan.
“Tidak Pak.” Jawabnya serentak.
“Baiklah kalian berdua pulang lebih awal.” Ucap Rendi.
“Yang lain silahkan kembali bekerja.” Sambung Rendi lagi langsung berlalu menuju ruangannya.
“Natasya,” Panggil Anisa. “Tadi Mbak denger dari pelayan lain kamu dicaci maki sama orang yang tadi. Apa itu bener, Nat?” Tanya Anisa sekarang mereka sedang bersiap-siap. Yah memang tadi dia mendengar pegawai lain sedang bergosip dan menyebut-nyebut nama Natasya.
“Hmmm... iya Mbak Anisa,” jawab Natasya dengan nada lesu dia tidak ingin membahas lagi kejadian itu. Namun ternyata dengan cepat berita itu menyebar.
Pasti setelah ini semua karyawan disini akan menjauhinya.
“Ya ampun Gusti... jadi gosip itu banaran ada, Nat? Maafin Mbak ya, Natasya... jika saja Mbak tidak memanggilmu tadi pasti kamu tidak di caci dan dimarahi sama nenek lampir itu,” ucap Anisa meminta maaf kepada Natasya.
Anisa mengakui jika dia salah, jika saja dia tidak menerima uang itu pasti kejadian ini tidak akan pernah terjadi, sungguh Anisa menyesali perbuatannya tidak terbayang betapa malunya Natasya dicaci dan dimaki di tempat ramai.
Ternyata menerima uang 100 ribu hanya membuat petaka baginya. Setelah ini dia tidak akan mengulanginya.
“Sudahlah, Mbak Anisa. Kenapa mesti meminta maaf, Mbak tidak salah! Mungkin ini sudah takdir aku dipermalukan seperti itu. Sudahlah Mbak, ayo kita pulang saja,” tungkas Natasya. Dia sama sekali tidak menganggap Anisa salah.
“Kamu yang sabar ya, Nat. oh iya kamu jalan kaki atau dijemput?” Tanya Anisa.
“Seperti biasa lah Mbak Nisa, aku jalan kaki. Siapa lagi yang mau menjemputku? Paman atau Bibiku? Atau kedua orang tuaku tetapi kalau mereka yang menjemputku bukan pulang kerumah yah... melainkan pulang kerahmatullah. Hehehe...” Kekeh Natasya yang menertawakan nasibnya yang begitu miris.
“Husss... jangan sampai kamu dijemput kedua orang tuamu dulu. Sukses aja belum, jadi jangan mau mati dulu, Nat. Iya sudah kalau begitu, mau bareng gak sama Mbak?" Tanya Anisa.
“Tidaklah, Mbak. Aku jalan kaki saja. Memangnya kalau aku pulang bareng sama Mbak Anisa aku duduk diamana? Di jok motor atau di rodanya?” Canda Natasya.
“Hahaha...haha...” Tawa Anisa. “ Oalah Mbak lupa ya... kita bonceng tiga aja seperti anak jaman sekarang itu loh, apa sih namanya...eeee... cabe-cabean...aduh Mbak sampai lupa maklum sudah tua.” Sambungnya lagi.
“Kalau cabe-cabean itu cewek aja Mbak. Ini kan ada cowoknya jadinya cabe sama terong kalau dicampur kan pedes” Jawab Natasya. ”Sudahlah Mbak, aku berjalan kaki saja terima kasih loh atas tawarannya,Mbak. Lebih baik Mbak pulang saja. Tuh di tunggin Pak suami.” Tunjuk Natasya yang melihat suami Anisa sudah datang menjemput istrinya.
“Ya sudah... kalau begitu Mbak duluan yah...Sampai ketemu besok cantik.” Ucap Anisa lalu menghampiri suaminya dan naik di jok belakang.
“Iya... Mbak Anisa hati-hati.” Teriak Natasya saat Anisa melambaikan tangannya.
Kini Natasya sedang berjalan menelusuri jalan yang begitu terik. Seperti biasa dia berjalan kaki. Sedangkan Anisa sudah dijemput oleh suaminya. Natasya berjalan sambil memikirkan cara agar bibinya mengizinkannya pergi ke kota.
“Assalamualaikum.” Natasya mengucap salam ketika sudah sampai di depan teras rumah Bibinya.
“Tumben cepat pulang. Jangan bilang kamu dipecat.” Bukannya menjawab salam Natasya. Rumi Bibinya Natasya itu malah mulai seuzon.
“Tidak Bibi. Natasya disuruh pulang duluan sama bos Natasya.” Jawab Natasya.
“Bagus deh kalok kamu gak dipecat. Mumpung kamu pulang cepat, sana cuci baju! Cucian sudah numpuk.” Suruh Rumi dengan nada sinis.
“Iya Bibi.” Jawab Natasya dengan pasrah dan berlalu meninggalkan sang Bibi yang masih menatapnya dengan tajam.
Seperti biasa Natasya memang dianggap pembantu dirumah bibinya. Setiap hari melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan menyetrika baju.
Setiap hari bibinya selalu mencari masalah dengannya, bukan bibinya saja. Sepupunya juga senang sekali melihat Natasya menderita.
Sepertinya Bibi dan Sepupunya tidak suka dengan kehadirannya. Dan mungkin juga Bibi dan Sepupunya menaruh dendam dengannya.
Berbeda dengan Pamannya, yang sering membela dirinya. Bahkan pamannya mau membiayai sekolahnya hingga sampai lulus SMA.
Orang tua Natasya meninggal dunia sejak Natasya kelas tiga SMP. Akibat kedua orang tuanya meninggal adalah kebakaran yang terjadi pada toko milik kedua orang tuanya.
Dimana saat kebaran itu terjadi orang tuanya berada didalam toko itu sehingga kedua orang tuanya ikut terbakar dan tidak bisa diselamatkan.
Setelah selesai mencuci baju yang sangat menumpuk hingga hari sudah mulai gelap. Natasya tidak langsung beristirahat melainkan dia langsung memasak untuk makan malam keluarga Bibinya.
Setelah memasak hampir setengah jam. Sekarang Natasya sedang menyajikan makan malam di meja makan.
Seperti biasa, Natasya di izinkan makan setelah keluarga Bibinya selesai makan.
"Wah, sepertinya hidangan kali ini rupanya sangat menggairahkan serela makan Paman, Nak," ucap Arya memuji masakan Natasya.
"Ah, Paman bisa aja. Ayo Paman silahkan duduk. Bibi dimana Paman?" Tanya Natasya.
"Memang dari dulu masakan kamu itu sangat lezat, Natasya. Paman saja sampai ingin menambah lagi. Oh iya sebentar lagi Bibi kamu akan turun," jawab Arya.
Selang beberapa menit, Rumi turun dan melangkahkan kakinya mendekat kearah meja makan.
"Nah itu Bibimu sudah turun. Ayo kamu duduk Natasya kita makan bersama-sama," suruh Arya kepada Natasya.
"Eh, maksud Mas apa ya? Pakek suruh-suruh pembantu makan bersama kita!" Timpal Rumi dengan nada sinis bahkan tatapannya sangat tajam mengarah kepada Natasya.
Natasya hanya bisa menunduk, dia tidak berani menatap Bibinya. Setiap hari pasti ada drama seperti ini. Karena Pamannya selalu menyuruhnya ikut makan bersama. Tetapi sang Bibi tidak setuju. Sehingga terjadilah drama seperti ini.
"Maaf, Bibi. Aku kebelakang dulu. Bibi sama Paman makanlah. Selamat menikmati hidangan makan malamnya Paman, Bibi." Ucap Natasya kemudian langsung berlalu ke dapur.
Dia sebaiknya cepat pergi dari sana sebelum Paman dan Bibinya bertengkar hanya perkara dirinya.
Arya hanya menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia sangat kesal dengan istrinya yang selalu melarang Natasya untuk makan bersama.
Padahal Arya ingin menghargai Natasya yang sudah lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Yang seharusnya itu pekerjaan Istrinya. Malah Natasya yang mengerjakan semuanya.
Arya juga sangat kasihan dengan Natasya. Dia sudah bekerja seharian di restaurant ditambah lagi dengan pekerjaan rumah.
Arya selalu menegur Rumi, namun Rumi sangat keras kepala. Rumi tetap tangguh dengan pendiriannya. Dia sama sekali tidak pernah mau mendengarkannya.
Setelah keluarga Bibinya selesai makan, Natasya segera membersihkan meja dan juga mencuci piring.
Setelah selesai dengan pekerjaannya. Natasya pergi menghampiri Bibi dan Pamannya untuk meminta izin pergi ke kota. Kebetulan paman dan bibinya belum tidur.
“Paman...! Bibi...!” Panggil Natasya menghampiri kedua orang yang sedang asik menonton televisi di ruang tengah.
“Hem...” Jawab Rumi singkat tanpa menoleh ke arah keponakannya.
“Iya Nak, ada apa?” Tanya Arya menimpali Natasya dan mengalihkan pandanganny menatap Natasya.
“Begini Paman, Bibi.. aku mau izin, besok aku ditugaskan bekerja di restoran cabang baru bosku yang berada di kota.” Jelas Natasya.
Rumi yang mendengar itu langsung menoleh dan menatap keponakannya dengan tatapan sinis. Lebih tepatnya dengan tatapan mengintimidasi.
“APA...! elahh bilang saja kamu itu mau kabur dari rumah ini. Pakek alasan pekerjaan lagi! Lagu lama tahu!” Timpal Rumi dengan nada ketus bahkan nada bicaranya Rumi terdengar sangat sinis..
“Bukan begitu Bibi. Kalau Bibi tidak percaya akan aku hubungi teman kerja ku.” Jawab Natasya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Alahhh... jangan ngeles deh kamu. Pasti kamu sudah sekongkol kan sama temen kamu itu! Apa kamu gak terima kalau saya suruh kamu mengerjakan tugas rumah ini tanpa saya gaji kamu? Syukur suami saya biayain kamu sekolah ya. Baru dapat pekerjaan sebagai pelayan aja sok-sokan mau kabur dari sini. Ingat ya! kamu hanya numpang disini. Setidaknya kamu balas budi sama kami udah dikasih makan, tempat tidur gratis pula. Satu lagi yang harus kamu ingat. Kalau gak ada saya yang tolongin kamu lalu siapa lagi. Mungkin kamu udah jadi pengemis dan mati kelaparan!” Ucap Rumi dengan entengnya tanpa sadar menyakiti hati keponakannya.
”Husss.. Rumi! Kamu tidak pantas berbicara seperti itu! Natasya itu anak dari kakak kandungmu, keponakanmu sendiri. Sudah wajar kalau Natasya tinggal disini.” Tungkas Arya dengan sabar mengahadapi sikap istrinya yang tidak pernah berubah.
“Sudah paman. Jangan sampai paman bertengkar dengan bibi hanya gara-gara aku. Memang benar apa yang dikatakan bibi kalau aku disini hanya menumpang tinggal disini!” Jawab Natasya dengan mulut bergetar menahan air matanya yang akan terjatuh.
“Bagus kalau kamu nyadar.” Timpal Rumi dengan nada ketusnya menatap sinis Natasya.
“Sudah. Nak kamu jangan dengarkan omongan bibimu ya. Sekarang kamu masuk saja ke kamarmu. Paman dan bibi mengizinkanmu bekerja di kota. Asalkan paman ingin kamu ingat satu hal jaga pergaulannmu disana. Jangan pernah kamu berbuat hal yang tidak boleh diperbuat, satu lagi jaga dirimu dengan baik ya.” Ucap Arya mengingatkan Natasya. Padahal Arya sangat khawatir dengan keponakannya itu.
”Baik paman, terimakasih paman. Aku akan selalu mengingat katamu paman. Kalau gitu aku pamit ke kamar paman... bibi...” Pamit Natasya berlari kecil menuju kamarnya.
Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, sakit hati yang dirinya rasakan saat ini. Andaikan orang tuanya masih hidup. Pasti dirinya tidak akan pernah mendengar kata yang terucap dari mulut pedas bibinya. Yang mampu membuat hatinya terasa teriris bagaikan pisau yang tajam.
“Kamu bela saja keponakanmu itu...” Sambung Rumi yang sangat kesal dengan suaminya itu. Arya selalu saja membela Natasya dan selalu bersikap baik dan ramah dengan keponakannya itu. Jelas-jelas bahwa Natasya hanya membawa susah saja dirumah itu. Dahulu semenjak orang tuanya Natasya meninggal, Rumi tidak mau Natasya tinggal dengan dirinya. Sebenarnya Natasya akan dia titip ke panti asuhan. Tetapi suaminya lah yang memaksa agar Natasya tinggal bersamanya. Arya juga berjanji akan menyekolahkan Natasya sampai sarjana. Namun janji itu tidak bisa Arya tepati karena Rumi mengancam akan menceraikan Arya dan membawa Laura pergi meninggalkannya. Arya yang tidak mau itu terjadi bahkan belum siap untuk berpisah dengan Laura. Selain itu Arya juga sangat mencintai Rumi, sehingga Arya memberi pengertian serta meminta maaf kepada Natasya.
“Aku bukan membelanya. Aku mengatakan yang sepantasnya aku katakan Rum.” Jawab Arya semakin heran dengan tingkah istrinya. Jika dibandingkan sifat Arya dengan Rumi jauh berbanding terbalik dengan Rumi.
“Aku juga mengatakan hal yang sepantasnya! kalau dia itu hanya menumpang dirumah ini!” Jawab Rumi membela dirinya yang tidak mau kalah.
“Itu bukan hal sepantasnya yang kamu katakan! Dia itu keponakan kita, bahkan kamu masih dikatakan sedarah dengan Natasya...ya wajarlah kalau Natasya tinggal disini.” Tungkas Arya semakin geram.
“Terserah deh Mas kamu mau ngomong apa terserah...! Bela terus keponakan kesayangannmu itu! malam ini kamu tidur diluar!” Kata Rumi dan langsung berlalu pergi meninggalkan suaminya.
BRAK
Rumi menutup pintu dengan kasar.
“Huhhh...”Arya menghembuskan nafasnya kasar. “Kamu kapan berubahnya Rum.” Gumam Arya pasrah malam ini dirinya akan tidur disofa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments