Di hari kelima mereka telah menjadi pasangan suami istri, Darrel meminta izin pada orang tua Zalyn untuk memboyong putri mereka tinggal bersamanya. Di rumah yang telah Darrel siapkan dan tentu saja mereka mengizinkan.
Darrel membawa Zalyn menuju ke tempat dimana ia akan menghabiskan hari-harinya disana bersama Darrel. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diisi dengan keheningan. Sesekali Zalyn melirik Darrel yang tengah fokus menyetir.
Perjalanan yang diisi dengan keheningan itu pun berakhir. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di pelataran rumah yang tidak begitu luas.
Tapi tunggu, kenapa Zalyn merasa tidak begitu asing dengan bentuk rumah ini? Kilasan memori membawanya mengingat pada sketsa rumah yang Jenan tunjukkan padanya beberapa bulan yang lalu. Ini sama persis.
Zalyn segera menepis pikiran itu karena ia kembali berpikir jika rumah dengan model yang seperti ini pasti banyak peminatnya. Zalyn masih sibuk dengan pikirannya. Hingga ia tak sadar jika mereka kini telah berada di depan pintu masuk.
" Kenapa Lyn? Kamu tidak suka tempatnya?
"Oh, suka ko. Zalyn suka," seulas senyuman Zalyn tunjukkan, agar Darrel tidak mengetahui kejanggalan yang ada dalam hatinya.
"Syukurlah. Kalau begitu, ayo masuk,"
Entah kenapa degup jantung Zalyn berpacu lebih cepat, saat Darrel hendak membuka pintu di depan mereka. Ia juga sedikit merasa yakin bahwa apa yang ada di balik pintu itu sama persis seperti apa yang ada dalam pikirannya.
Dan benar saja, begitu pintu itu terbuka dengan lebar. Ia membeku di tempat. Bagaimana mungkin? Interior rumah ini benar-benar sama persis seperti rancangan yang ia inginkan bersama Jenan. Matanya mulai mengembun dengan dada yang terasa sesak. Pertanyaan dalam benaknya
Kenapa bisa? Apakah ini hanya kebetulan? Atau memang kesengajaan? Yang telah Darrel dan Jenan lakukan Secara 'kan mereka berdua adalah teman.
Untuk menetralisir sesak dalam dadanya, Zalyn menghela nafas dan menghembuskannya pelan.
Ia tidak bisa lagi menerka-nerka, ia harus menanyakan ini segera.
Apakah Darrel sengaja melakukan ini? Tapi kenapa? Dan untuk apa? Semua Pertanyaan itu berputar-putar dalam benaknya.
Ia harus memastikan apakah benar ini hanya sebuah kebetulan atau memang kesengajaan yang sudah direncanakan.
"Mas. Bisa kita bicara?" Darrel membalikkan badan, meletakkan dua buah koper di sudut ruang tamu. Ia berjalan ke arah Zalyn yang masih berdiri di ambang pintu.
"Kita duduk dulu ya." Darrel nampak tenang seolah sudah tahu apa yang akan Zalyn bicarakan. Lalu Zalyn mengikuti Darrel, duduk di salah satu sofa di ruang tamu. Mereka duduk berhadap-hadapan.
"Mau bicara apa Lyn?"
Zalyn menghela nafas dalam sebelum mengutarakan apa yang tengah berkecamuk dalam benaknya.
"Aku tidak tahu ini hanya perasaanku saja atau hanya kebetulan atau memang kesengajaan. Tapi Entah kenapa aku merasa rumah ini seperti tidak asing bagiku."
Darrel masih diam mendengarkan. Karena
sepertinya Zalyn masih ingin berbicara.
"Apa ada yang Mas Darrel sembunyikan?"
Wajah Darrel terlihat tenang tanpa ekspresi. Cukup lama ia terdiam tidak segera menjawab. Dan Zalyn masih dengan sabar menunggu penjelasan dari laki-laki itu.
"Dugaanmu memang benar dan aku sengaja melakukannya,"
"Kenapa?"
"Aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman saat tinggal bersama ku,"
"Tapi haruskah dengan bayang-bayang Mas Jenan? Mas Darrel tidak perlu melakukan sampai sejauh ini. Apa Mas Darrel tidak masalah dengan hal itu?"
Darrel menatap netra yang sedikit berwarna kecoklatan itu dengan lekat. Lalu lengkungan garis tipis terukir dari bibirnya.
"Aku tidak masalah. Aku hanya mewujudkan impianmu bersama Jenan, jadi jangan pikirkan soal aku."
"Tapi darimana Mas Darrel tahu tentang semua ini?"
"Dari Jenan. Dulu sebelum aku pergi ke luar negeri. Jenan sempat memberitahu tentang hunian yang akan kalian tinggali setelah menikah. Ia meminta pendapat ku dan aku sependapat denganmu."
"Jadi, sebelum Mas Jenan memberitahu ku, dia sudah lebih dulu memberitahu mu begitu?"
"Ya, dia meminta saranku sebagai teman."
Setiap jawaban yang Darrel berikan terdengar sedikit rancu bagi Zalyn. Namun, ia akan menahannya untuk tidak bertanya terlalu dalam lagi. Takutnya Darrel merasa risih, ia akan menunggu waktu yang tepat untuk membahas soal ini lagi nanti.
"Jangan terlalu dipikirkan Lyn, ayo kita lihat kamar di lantai atas.
Zalyn mengekori Darrel dari belakang, menaiki anak tangga untuk menuju ke tempat dimana ia dan Darrel akan berbagi tempat tidur.
Tibalah mereka di depan daun pintu berwarna coklat. kembali Zalyn menerka-nerka bahwa kamar yang akan mereka tempati akan sama lagi seperti apa yang ada di dalam pikirannya. Dan tebakannya memang selalu benar, begitu pintu itu terbuka. Kamar yang didominasi warna krem serta putih tersebut memberi kesan yang lembut ditambah dengan pintu balkon geser kaca yang memenuhi setiap dindingnya. Persis seperti apa yang Zalyn impikan.
Zalyn masih tidak percaya dengan apa yang Darrel lakukan, benarkah hanya sebatas itu? Hanya sebatas memberikan rasa nyaman? Ia pikir pasti ada hal lain yang Darrel tutupi darinya tapi ia tidak tahu apa itu. Untuk sementara ini ia akan menerima saja, nanti ia akan cari tahu yang sebenarnya.
Darrel sibuk mondar-mandir membawa barang-barang mereka, sementara Zalyn tengah memandangi pemandangan alam di balkon kamar mereka. Pikirannya melayang jauh, tidak sepenuhnya menikmati pemandangan. Ia menghela nafas lelah, Seandainya yang saat ini bersama dengan nya adalah Jenan tentu ia akan merasa bahagia sekali.
Kemana perginya laki-laki itu sebenarnya? Rasanya ia masih tidak percaya harus mengalami ini dalam hubungan mereka, karena menurutnya, hubungan mereka selama ini baik-baik saja. Jenan tidak pernah menampakkan sesuatu yang mencurigakan. Baik sifat maupun sikapnya selama ini. Atau memang sebenarnya hanya Zalyn yang tidak menyadarinya? Karena tertutupi dengan sikap konyol dan cerianya laki-laki itu. Apa selama ini Zalyn tidak begitu mengenal baik Jenan? meski lima tahun kebersamaan mereka.
Kepalanya mendadak pusing, karena terlalu keras memikirkan laki-laki itu. Ia beranjak masuk kembali ke dalam kamar, dan duduk di tepi ranjang. Terlihat Darrel hampir selesai meletakkan barang-barang mereka. Zalyn memperhatikan laki-laki yang tengah membelakanginya dalam diam. Entah apa yang Zalyn pikirkan, hingga sepersekian detik tubuh Darrel berbalik menghadapnya.
"Istirahat lah, kamu terlihat lelah."
Zalyn menganggukan kepala samar. Benar kata Darrel, ia membutuhkan waktu untuk istirahat sejenak agar otaknya tidak terlalu penat karena terlalu banyak berpikir.
"Aku akan rebahan sebentar."
"Baiklah, aku keluar dulu."
Darrel mengusap pucuk kepala Zalyn sebelum ia meninggalkan kamar. Zalyn yang memang benar merasa lelah badan dan pikiran. Langsung merebahkan diri di atas kasur. Awalnya Zalyn hanya ingin rebahan beberapa menit untuk melepaskan rasa letih. Namun entah menit ke berapa ia malah terlelap.
Zalyn mengerjapkan mata, menatap langit-langit kamar yang terasa asing baginya. Ia sedikit merasa linglung karena nyawa yang belum terkumpul. Ia segera tersadar saat ia mulai mengingat ini dimana. Ini rumah barunya, rumah baru bersama Darrel yang mulai akan ditinggali sekarang.
Zalyn menatap sekeliling kamar. Tidak ditemukan presensi Darrel. Kemana laki-laki itu? Apa dia masih di bawah? Zalyn beranjak dari tempat tidur dan melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia melihat Darrel tengah sibuk menyiapkan makanan di atas meja makan.
"Maaf Mas. Zalyn ketiduran," ujarnya, tidak enak.hati.
"Oh, tidak apa Lyn. Aku ngerti kok, pasti kamu kelelahan tadi. Ayo duduk makannya udah siap."
Zalyn menarik salah satu kursi dan langsung duduk di sana. Darrel pun melakukan hal yang sama, menarik kursi yang berseberangan dengan Zalyn.
"Maaf ya Lyn, aku pesen makanannya. Soalnya aku tidak bisa masak."
Entah kenapa Zalyn melihat raut penyesalan di wajah laki-laki itu Padahal 'kan tidak masalah. Kenapa pula Darrel seolah merasa tidak enak dengan nya, hanya karena perihal tidak bisa memasak. Apa ini ada kaitanya dengan Jenan? Soalnya laki-laki itu pandai memasak. Apa karena itu Darrel merasa kecil hati? Tapi buat apa dia harus merasa kecil hati pada Jenan?
Zalyn merasa Darrel secara tidak langsung menjadi bayangan Jenan saat bersamanya atau itu hanya perasaan nya saja. Entahlah, Zalyn tambah dibuat pusing dengan berbagai macam praduga yang ia ciptakan sendiri.
"Gak apa-apa Mas. Biar Zalyn aja nanti yang masak. Lagipula Mas Darrel tidak harus bisa memasak kok."
Selalu ada kejutan yang Zalyn terima saat bersama dengan Darrel. Bagaimana bisa ia tidak keras berpikir jika setiap apa yang Darrel lakukan itu selalu ada kaitannya dengan Jenan. Seperti sekarang ini, melihat menu yang terhidang di atas meja adalah semua makanan favoritnya, dan hanya Jenan beserta keluarganya yang tahu itu.
Sementara Darrel, meski mereka sempat dekat waktu di kampus dulu tapi kedekatan mereka tidak sampai berbagi segala hal yang ia suka. Sepertinya Darrel mempunyai alasan lain selain alasan hanya untuk menolong dirinya dan juga Jenan.
Selesai makan, Darrel seperti ingin membersihkan sisa-sisa makanan yang tadi mereka makan. Tapi segera Zalyn cegah, biar ia saja yang membersihkannya. Karena ia seorang istri Jadi sudah tugasnya melayani suami.
Segera Zalyn membawa tumpukan piring kotor itu ke dapur meletakkannya di wastafel lalu mencucinya.
Setelah selesai dengan acara membereskan meja makan dan mencuci piring. Zalyn melihat Darrel menuruni anak tangga dengan menenteng sebuah laptop menuju ke arah ruang keluarga.
Sepertinya dia ada pekerjaan. Zalyn berinisiatif membawakan minuman untuk menemani Darrel bekerja nanti. Ia membuat dua minuman. Secangkir kopi untuk Darrel dan secangkir teh untuknya. Tidak lupa juga ia membawa cemilan. Cemilan yang tadi mereka beli di perjalanan saat menuju ke sini.
"Kopinya Mas."
Zalyn meletakkan minuman itu di atas meja. Sementara Darrel masih terfokus pada laptop di hadapanya. Ia juga medudukkan diri di sofa yang kosong di samping Darrel. Matanya masih tidak teralihkan. Masih terfokus pada laptop di depanya. Sepertinya itu pekerjaan yang sangat penting.
"Bukannya Mas Darrel cuti pernikahan ya? Kenpa masih bekerja?"
"Oh, aku hanya mengirimkan email pada client di luar kota. Ada sesuatu yang mendesak jadi aku harus kirimkan hari ini juga. Ini juga hampir selesai kok."
Meski menjawab pertanyaan dari Zalyn, tatapan Darrel masih terfokus pada laptopnya.
"Minum dulu kopinya Mas, nanti keburu dingin,"
"Ya, termikasih Lyn. Bentar aku beresin dulu."
Dirasa sudah selesai. Darrel menutup laptopnya, ia juga melepaskan kaca mata baca yang bertengger di hidungnya. Mengenakan kaca mata baca membuat laki-laki itu terlihat lebih dewasa dan berwibawa. Tatapanya beralih pada perempuan yang sedari tadi meperhatikannya. Kemudian ia mengambil minuman yang telah Zalyn hidangkan, menghirup aromanya pelan dan meminumnya perlahan.
"Termakasih atas minumannya Lyn."
Zalyn tersenyum tipis. Ia mengalihkan pandangan ke depan. Terlihat dari sini pemandangan taman bunga yang indah. Meski baru ada beberapa tanaman bunga di sana. Darrel bilang, ia sengaja hanya menanam bunga sebagian karena sebagian lagi bisa Zalyn tanami dengan bunga kesukaanya. Pikiranya kembali menerawang ke beberapa tahun yang lalu.
"Mas, aku mau ada taman bunganya di samping rumah dan berhadapan langsung dengan ruang keluargga. Biar nanti saat kita tengah bersantai di sana kita juga bisa melihat pemandangan taman bunga yang indah."
"Iya, masalah rumah Mas serahkan sama kamu. Terserah kamu mau buat seperti apa, karena 'kan kamu yang akan tinggal di sana seharian buatlah senyaman yang kamu mau."
Keinginan itu telah terwujud. Bahkan kini ia telah menikmati pemandangan itu. Tapi sayangnya bukan bersama orang yang ia ajak merancang masa depannya.
Zalyn tersentak dari lamunan saat rungunya mendengar seseorang memanggil namanya.
"Kenapa Mas?"
"Kamu kenapa? Di panggil-panggil dari tadi ngak nyaut. Ada apa?" Darrel menatapnya dengan raut khawatir.
"Nggak ada apa-apa ko Mas. Mas Darrel bicara apa? Maaf aku tidak dengar tadi."
"Cuti ku masih ada satu minggu lebih lagi. Apakah ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"
Benar, Darrel memiliki waktu cuti pernikahan lebih banyak di bandingkan dengan dirinya. Sementara Zalyn, lima hari yang lalu masa cutinya sudah selesai. Darrel yang merasa keberatan dengan singkatnya masa cuti Zalyn, akhirnya menyuruh perempuan itu untuk resign saja.
Toh nanti juga ia akan tetap meminta Zalyn untuk berhenti dari pekerjaannya karena ia hanya ingin Zalyn berada di rumah, menjadi seorang istri yang akan selalu menyambutnya sepulang kerja. Zalyn juga tidak bisa menolak keinginan lelaki itu, karena itu ada dalam perjanjian pernikahan mereka.
Zalyn masih bingung harus menjawab apa. Ia merasa ini semacam ajakan pergi bulan madu secara tidak langsung? Tapi sepertinya itu tidak mungkin, mereka berdua sama-sama tahu jika pernikahan ini hanyalah pura-pura jadi tidak mungkin akan ada bulan madu di pernikahan mereka.
"Belum tau Mas. Zalyn belum memikirkannya."
Ada rasa kecewa yang hinggap dalam hati Darrel. Padahal ia mengharapkan bisa menghabiskan sisa cutinya bersama dengan perempuan itu, mengunjungi tempat-tempat yang indah dan membuat banyak kenangan di sana. Tapi Darrel tidak ingin memaksa.
"Oke, kita pikirin lagi nanti."
Sebenarnya Zalyn merasa tidak enak hati pada lelaki itu. Ia menyadari ada raut kecewa di wajahnya meski lelaki itu selalu menutupinya dengan senyuman. Maka dari itu ia mengusulkan sebuah ide. Berharap idenya bisa mengurangi rasa kecewa lelaki itu.
"Bagaimana kalau kita habiskan masa cuti Mas Darrel dengan melakukkan berbagai macam kegiatan di rumah?"
"Kegiatan yang seperti apa?"
"Seperti memasak bersama, berkebun, atau melakukan hal yang lainya."
"Mmm, boleh juga. Jadi hal pertama apa yang akan kita lakukan?"
"Bagaimana kalau kita awali dengan pergi berbelanja? Belanja bulanan untuk keperluan rumah, selebihnya kita pikirkan nanti akan melakukan kegiatan apa."
"Ide yang bagus. Kapan kita memulainya?"
"Besok bagaimana?"
"Oke."
Mereka sudah memutuskan, untuk menghabiskan masa libur mereka dengan mengisi bebagai macam kegiatan. Disamping itu pula mungkin ini akan membuat jalan agar mereka bisa lebih jauh mengenal satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments