Hari pernikahan tiba. Hari yang selalu dinanti oleh setiap pasangan yang menikah karena cinta.
Lalu untuk Zalyn? Entah, terkadang ia masih berharap pernikahan ini tidak akan pernah terjadi, apalagi bersama dengan orang yang tidak ia cinta. Namun, ia bisa apa? Tak bisa lagi ia menolak kehendak orang tua.
Zalyn masih mematut di depan cermin, setelah ia selesai dirias. Mengenakan gaun pengantin impian yang dirancang bersama sang kekasih. Ia merasa tidak senang memakainya.
Pernikahan mereka digelar di hotel milik keluarga Darrel. Sekaya apa keluarga Darrel, Zalyn tidak begitu tahu. Yang ia tahu, hanya Darrel menjabat sebagai CEO di perusahaannya.
Suara derap langkah kaki terdengar perlahan menghampiri. Rupanya itu Aira.
"Ayo, kak. Mempelai laki-laki sudah menunggu."
Mereka berdua berjalan bersisian, memasuki ruangan yang sudah ramai dipenuhi oleh kedua keluarga besar dan juga para tamu yang akan menyaksikan pernikahan mereka.
Disana, terlihat sang ayah yang sudah duduk berhadapan dengan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Ada pancaran kebahagiaan di wajah mereka bersamaan dengan sakitnya di sudut hati Zalyn.
"Sahh!!!"
Suara riuh kebahagiaan terdengar memekakkan telinga. Netranya basah, setitik air mata jatuh di sudut matanya.
Ia bahkan melewatkan kalimat sakral yang telah lelaki itu ucapkan. Raganya disini namun jiwanya pergi entah kemana.
Di atas pelaminan Zalyn masih harus bersandiwara, memancarkan rasa bahagia di wajahnya.
Hampir tiga jam mereka berdiri menyalami para tamu undangan yang berdatangan. Kini akhirnya mereka berdua bisa duduk di atas kursi pelaminan.
Zalyn meringis karena tiba-tiba ada rasa perih yang menjalar di kakinya, sepertinya kakinya terluka, sedikit lecet mungkin.
"Kamu kenapa Lyn?"
"Nggak tahu Mas. Tiba-tiba saja kaki ku terasa perih,"
"Biar aku lihat."
Dengan gerakkan cepat Darrel berjongkok di hadapan Zalyn. Melepaskan sepatu perempuan yang kini telah menjadi istrinya itu dengan pelan.
Dan ternyata benar, belakang kakinya lecet, pantas saja Zalyn merasakan perih di kakinya.
"Kamu tunggu sebentar. Aku mau ambil sandal."
Darrel berlalu, meninggalkan Zalyn di atas pelaminan. Sebenarnya tubuh Zalyn sudah merasa lelah ditambah dengan rasa sakit di kakinya, membuat ia ingin segera menyudahi acara pesta ini. Tapi acaranya masih satu jam lagi. Entah ia sanggup atau tidak sampai pestanya berakhir.
Darrel datang dengan membawa sandal rumahan dan air minum, juga beberapa kue.
"Pakai sandal dulu ya,"
"Terima kasih Mas."
"Makan kue dulu, kamu belum makan dari tadi,"
"Iya Mas, terima kasih."
Kebetulan Darrel membawakannya makanan, ia sudah kelaparan dari tadi.
Zalyn merasa sedikit risih, karena Darrel memandangnya saat makan.
"Mas Darrel nggak makan?"
"Udah tadi di belakang,"
"Kenapa Mas Darrel ngeliatin aku terus?"
"Kamu lucu kalo lagi makan, kaya bayi belepotan."
Darrel terkekeh sementara Zalyn hanya cemberut mendengar Darrel meledeknya. Tangan Darrel terulur ke sudut bibir Zalyn, mengambil remahan kue yang tertinggal di sana. Membuat perempuan itu terdiam membeku seketika menahan nafas.
Beruntung hanya sepersekian detik. Karena kegiatan mereka terinterupsi oleh suara seseorang.
"Iya tahu udah halal, tapi emang boleh se– romantis ini di depan para jomblo?"
Mereka berdua menoleh ke sumber suara. Disana ada dua orang laki-laki. Yang tengah menunjukan cengiran konyolnya.
"Kamu duduk aja Lyn. Biar aku yang menyambut tamunya."
Kedua laki-laki itu langsung menghampiri mereka di atas pelaminan.
"Selamat ya bro! akhirnya penantian mu nggak sia-sia,"
"Thanks bro,"
Dahi Zalyn mengkerut mendengar percakapan mereka. Penantian? Penantian apa? Siapa yang menanti?
"Eh sorry ya, istriku kakinya sedikit lecet jadi dia agak susah berdiri,"
"It's okay, btw ternyata aslinya lebih cantik daripada yang di foto." Ucap laki-laki yang di hadapan Darrel setengah berbisik, tapi masih bisa terdengar di telinga Zalyn.
Foto? Foto siapa? Lagi pertanyaan itu muncul dalam benaknya.
" Sekali lagi selamat ya. Darrel, Zalynda,"
"Terimakasih Mas. Silahkan dinikmati hidangan yang ada."
Mereka berdua pun berlalu. Meninggalkan sepasang pengantin baru yang tiba-tiba dilanda kecanggungan. Baru saja Zalyn akan bertanya perihal apa yang di bicarakan temannya Darrel barusan, Aira malah datang menghampiri mereka.
"Kata Mas Darrel kaki kakak sakit ya?"
"Iya sedikit,"
"Hak sepatunya ketinggian ya Kak? Atau ukurannya kurang pas?"
"Nggak ko Dek semuanya aman. Cuma kan dari tadi kakak berdiri terus menyambut para tamu. Mungkin karena itu."
"Oh, tapi gak apa-apa 'kan?"
"Hanya lecet sedikit aja kok,"
"Ya udah dek, ajak kak Zalyn ke kamar aja gih. Pestanya udah mau usai juga. Biar kak Zalyn bisa istirahat."
"Iya Mas, ayo kak,"
"Kamu ke kamar duluan aja ya,"
"Nggak apa-apa Mas?"
"Iya, sebentar lagi juga selesai kok."
Zalyn menganggukan kepala samar. Lalu Aira membantu sang kakak, memapahnya berjalan. Karena sepertinya kakinya juga terasa sakit saat berjalan.
"Kalau aku jadi kakak, aku pasti udah jatuh cinta sama Mas Darrel. Perempuan mana sih yang nggak luluh di perlakuin lembut kaya gitu."
"Jangan mulai deh Ra. Kan kamu sendiri tahu gimana perasaan kakak."
"Kaka serius masih mengaharapkan Mas Jenan? Kakak berharap Mas Jenan kembai bersama Kakak? Kak Zalyn udah lupa siapa yang udah ninggalin kakak? sebenarnya apa yang kakak harapkan?"
Bertubi-tubi Aira mengajukan pertanyaan dan Zalyn diam mendengarkan tanpa bisa menjawab satupun pertanyaan dari Aira.
Entahlah, ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Di satu sisi ia masih mengharapkan Jenan kembali, tapi di sisi yang lain ia merasa aneh dengan sikap Darrel terhadapnya.
Apakah sikapnya itu benar-benar tulus atau memang hanya pura-pura semata. Demi untuk meyakinkan keluarga mereka bahwa mereka benar-benar menerima pernikahan ini.
"Cobalah untuk menerima kehadiran Mas Darrel kak. Sepertinya dia mencintai kak Zalyn?
Benarkah Darrel mencintainya? Atau itu juga hanya bagian dari sandiwaranya? Oke Zalyn masih memiliki banyak waktu untuk mencari semua alasan dibalik sikap Darrel terhdapnya. Ya, ia akan mencari tahu.
"Kak, Kak Zalyn, Ko melamun sih,"
"Ah, maaf Ra kakak hanya merasa lelah,"
"Ya udah deh kakak istirahat. Masuk kamar gih. Aku tinggal ya,"
"Iya. Makasih ya, udah anterin kakak."
Begitu Aira berlalu, Zalyn segera membuka pintu kamar. Melangkahkan kakinya pelan menuju ranjang.
Ia segera meluruskan kakinya di atas ranjang.
Padahal, baru juga beberapa menit ia merebahkan diri. Pintu kamar terdengar di ketuk.
Tok tok tok
"Boleh aku masuk Lyn?"
"Masuk aja Mas, tidak di kunci."
"Gimana kakinya masih sakit?"
"Masih sedikit,"
"Tunggu ya, aku mau ambil air hangat sama salep dulu,"
"Nggak usah Mas, di bawa istirahat juga besok udah mendingan,"
"Takutnya nanti tambah parah kalu nggak di obati, sebentar aja ko."
Zalyn menghela nafas lelah, perhatian Darrel membuatnya terus merasa bimbang akan perasaannya saat ini.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Darrel kembali dengan membawa baskom berisi air hangat dan obat di tangannya.
"Sini turunin kakinya,"
"Biar Zalyn aja Mas,"
"Udah nggak apa-apa."
Zalyn memasukkan kakinya ke dalam baskom berisi air hangat. Tanpa diduga Darrel malah memijat kakinya dengan gerakan yang sangat lembut.
Ia masih tidak menyangka, akan mendapatkan perlakuan semanis ini dari laki-laki yang kini telah menjadi suaminya tersebut.
Dengan telaten Darrel memberikan pijatan-pijatan lembut, yang membuat otot-otot di kakinya mengendur tidak kaku seperti tadi.
Suasana ini membuatnya merasa canggung, karena lelaki itu hanya diam saja. Jadi ia segera menghentikan kegiatan pijat memijatnya.
"Udah cukup Mas."
Masih dengan kebisuan. Darrel mengambil handuk kecil di dekatnya dan menyeka kaki Zalyn agar tidak basah saat kakinya kembali di letakkan di atas kasur.
Kemudian ia mengambil obat salep yang tadi ia bawa dan mengoleskannya dengan hati-hati.
"Perih nggak?"
"Nggak kok."
"Ya udah. Aku keluar dulu ya, temen ku masih nunggu soalnya. Kamu istirahat aja."
"Iya Mas. Terimakasih ya."
Darrel hanya tersenyum. Ia kembali keluar untuk menemui teman-temannya sebentar, di akhir acara pesta.
Setelah direndam dengan air hangat dan juga diberi pijatan-pijatan, rasa pegal di kakinya sedikit berkurang.
Sebelum merebahkan kembali di atas kasur, Zalyn beranjak ke kamar mandi terlebih dulu untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket.
Hampir dua puluh menit ia melakukan ritualnya di kamar mandi. Selama itu pula Darre belum kembali lagi ke dalam kamar mereka. Sepertinya ia masih menemani temannya. Zalyn yang merasa tubunya benar-benar letih, ia memutuskan untuk tidur terlebih dulu tanpa menunggu Darrel.
*****
Cahaya mentari yang masuk melalui celah-celah jendela kamar, menyilaukan netranya yang masih terpejam. Netranya mengerjap-rejap dirasa cahaya itu mulai mengganggu.
Perlahan netranya terbuka. Pemandangan yang pertama kali dilihat saat membuka mata di pagi hari ini. Ada sosok laki-laki yang terbaring miring di sampingnya. Dengan wajah yang begitu tampan meski tengah tertidur.
Ia pandangi wajah itu cukup lama. Alis yang sedikit tebal, hidung yang mancung dan bibirnya yang berwarna merah muda serta rahangnya yang begitu tegas. Ia baru menyadari bahwa laki-laki yang kini menjadi suaminya itu memang tampan.
"Udah puas mengagumi ciptaan tuhan yang begitu indah?"
Ia tersentak, terkejut sekaligus merasa malu, saat suara serak khas orang bangun tidur itu memergokinya yang tengah memandangnya. Ia kira lelaki itu masih tertidur.
"M– Mas Darrel udah bangun?"
"Dari sejak kamu belum membuka mata,"
"Mas Darrel sengaja ya?" Ucapnya dengan nada yang sedikit kesal. Dan lelaki itu hanya terkekeh pelan.
Zalyn hendak menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, dan akan segera beranjak dari tempat tidur. Namun sebelum itu, ia kembali dikejutkan untuk yang kedua kalinya.
"Aaaaaaaa," teriaknya menggema di seisi ruangan kamar.
"Belum juga di apa-apain udah teriak aja,"
Zalyn melemparkan bantal ke wajah Darrel dan dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa Mas Darrel tidak pakai baju?"
"Memang kenapa? Aku biasa tidur tanpa menegenakan baju,"
"Tapi aku risih liatnya,"
"Nanti juga terbiasa. Malah mungkin kamu menginginkan aku tanpa mengenakan pakaian."
Zalyn melotot mndengarnya. Bisa-bisanya dia berbicara mesum kaya gitu. Zalyn pikir suaminya itu benar-benar mempunyai sifat kalem dan tenang. Tapi ternyata dia juga mempunyai sifat yang menyebalkan seperti ini. Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Tok tok tok
"Kak Zalyn. Udah bangun 'kan? Sudah ditunggu Ayah dan Ibu. Kita sarapan bersama,"
"Iya Ra. Bentar lagi kami keluar. Cepetan pakai bajunya Mas,"
"Boleh tolong pakaiin?" Godanya dengan menaik turunkan alisnya di sertai dengan senyuman yang menyebalkan.
"Pakai aja sendiri."
Zalyn pergi begitu saja meninggalkan Darrel yang kini tertawa keras karena telah berhasil menggoda istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Anthea
Next chapter, please! Aku harus tahu kelanjutan ceritanya.
2023-11-23
0