...----------------...
"Aku mau mandi," ucap Liam setelah istrinya berdiri tegak kembali. Rasanya gerah walaupun pendingin ruangan sudah berfungsi.
"Biar Lilis bantu."
"Apa?" Liam tercekat lagi. Memangnya boleh sefrontal itu pada suami yang baru dinikahi belum sehari? Apalagi mereka baru bertemu beberapa kali. "Ba—bantu gimana?" tanya Liam mendadak gagap.
"Bantu siapin handuknya. Memangnya Ay mau dibantuin apa?" tanya balik Lilis dengan wajah polos.
"Oh ... iya, boleh." Liam langsung memalingkan wajahnya yang begitu malu dengan prasangka yang mengotori kepalanya. Lelaki itu pun berdiri, "kamar mandinya di mana?" tanyanya kemudian.
"Di sana. Tunggu sebentar!" Lilis menunjuk sebuah ruangan yang berada di sudut ruangan kamarnya lalu beranjak menuju lemari untuk mengambil handuk. "Ini handuknya, Ay. Peralatan mandinya udah tersedia di dalam," kata Lilis sambil menyodorkan handuk kepada Liam.
Liam menyambar handuk tersebut lalu mengucapkan terima kasih, lantas kakinya melangkah menuju kamar mandi.
Senyuman Lilis mengembang sempurna sambil menatap punggung suaminya sampai hilang di balik pintu kamar mandi. Lekas perempuan itu berdandan karena dirinya sudah mandi duluan. Tak lupa ia memakai baju sedikit menerawang dan memakai wewangian agar suaminya bisa jatuh kepayang. Malam ini Lilis ingin sekali tampil menawan.
Beberapa saat kemudian, Liam keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan badan. Baru selangkah Liam melewati pintu kamar mandi, kedua matanya sudah terkontaminasi. Apa yang dilihatnya membuat Liam harus menelan ludahnya sendiri. Liam terkesiap dengan penampilan sang istri.
"Udah selesai mandinya, Ay?" tanya Lilis dengan nada dibuat manja.
Liam tidak bisa berkata-kata. Kepalanya langsung menoleh ke sembarang arah. Berusaha menghindari pemandangan yang mungkin membuat wajahnya langsung memerah. Lilis tengah berbaring miring di atas ranjang dengan gaya yang menantang.
"Kamu tidur duluan aja, ya. Aku mau ketemu sama kakek kamu dahulu. Ada yang mau aku diskusikan sama beliau," ujar Liam sambil berjalan menuju lemari kaca. Tangannya menggosok rambutnya yang basah dengan pandangan tertuju ke bawah. Liam berusaha bersikap biasa saja.
"Besok aja, atuh! Ini, teh, malam pertama kita. Masa Lilis harus tidur duluan," cicit Lilis sembari beranjak lalu berjalan mendekati Liam. Hal itu sukses membuat detak jantung Liam seperti ditabuh bak genderang.
"Ada masalah penting yang harus aku omongin sama kakek kamu. Mesti sekarang." Liam langsung menghindar ketika Lilis hampir memeluk tubuhnya dari belakang. Lelaki itu bisa melihat gerakan istrinya dari pantulan kaca di depannya.
"Ih, si Ay Ay mah. Lilis udah cantik dan wangi gini masa ditinggal. Padahal malam ini, teh, udah dikasih spesial. Allah sengaja mengirimkan hujan di malam pertama kita, biar nanti kita nggak kegerahan ...." celetuk Lilis sembari menampilkan senyum tersipu lalu menunduk malu. Tentu saja perempuan itu sedikit malu ketika mengutarakan tentang sesuatu yang selama ini dianggapnya tabu.
Perkataan tersebut membuat Liam melongo takjub. Bagaimana bisa seorang gadis yang terlihat polos mengatakan hal tersebut. "Ma—maksudnya kegerahan itu apa, ya?" tanya Liam pura-pura tidak mengerti. Padahal hawa panas sudah menyerang tubuhnya saat ini.
"Ah, si Ay mah suka pura-pura polos gitu. Masa, sih, nggak tahu? Kata si abah sama ambu Lilis waktu di desa, kalau malam pertama itu hawanya panas. Jadi, suka gerah. Pengennya buka baju terus. Begitu."
Astaga! Jantung Liam hampir lepas dari tempatnya mendengar ucapan Lilis yang terdengar blak-blakan. Membuat Liam tidak tahan untuk tidak menggelengkan kepalanya. Sekarang Liam percaya dengan perkataan Wahyu yang katanya Lilis adalah gadis yang periang serta banyak bicara waktu tinggal di desa. Ia tidak menyangka perempuan dari desa itu mampu menggodanya dan berhasil membuat jantungnya berdebar tak biasa.
Liam yang kaku tidak bisa mengekspresikan perasaannya yang dibuat tidak nyaman oleh Lilis. Dia pun menghela napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Liam harus berusaha untuk menolak Lilis dengan sikap sopan dan ramah, walaupun sikap Lilis malah membuatnya salah tingkah.
"Ehm ... begini ...." Terjeda sejenak, Liam berdehem sekali untuk menetralkan hawa panas yang menyerang tubuhnya, "aku minta maaf sebelumnya. Aku juga tahu masalah itu, tapi ... sesuatu yang hendak aku diskusikan sama kakek kamu itu sangatlah penting dan nggak bisa ditunda sampai besok. Perusahaanku sedang ada masalah. Ini menyangkut nasib para karyawan aku. Jadi, aku nggak bisa menunda-nunda. Aku mau meminta saran kakek kamu karena beliau adalah orang yang ahli dalam berbisnis. Kamu bisa ngerti, kan?"
Liam beralasan panjang lebar membuat Lilis terdiam sambil bercerna perkataan suaminya. Beberapa detik kemudian, senyuman tulus mengembang di bibir Lilis. Tanpa aba-aba, perempuan itu langsung memeluk tubuh Liam dari arah depan karena posisi mereka memang sedang berhadapan.
"Lilis, teh, bener-bener beruntung jadi istrinya kamu. Ay Ay emang lelaki yang baik hati. Lilis bangga," ucap Lilis di balik punggung Liam.
Liam mematung tanpa memberikan respon. Kedua tangannya pun masih terbentang tak membalas pelukan istrinya. Namun, guna membuat perempuan itu tidak curiga, tangan Liam pun perlahan merapat pada tubuh istrinya.
Akan tetapi, hal itu urung lantaran Lilis keburu melerai pelukan mereka. Dengan wajah berseri-seri dan mata berbinar cerah perempuan itu pun berkata, "Diskusi sama kakeknya jangan lama-lama atuh, ya! Lilis bakalan nungguin Ay Ay di sini."
Liam mengangguk sambil memasang senyuman pelik. Takut istrinya berubah pikiran lagi, Liam pun buru-buru keluar dari kamar lalu pergi menemui Kakek Wahyu yang masih bercengkrama dengan seorang kerabat yang belum pulang.
"Kek, boleh bicara sebentar?" Liam memanggil Wahyu yang sedang asyik berbincang. Lelaki tua itu pun menoleh pada cucu menantunya itu.
"Boleh. Mau bicara apa?" tanya Wahyu. Seorang kerabat yang tadi berbincang dengan Wahyu pun pamit pergi untuk beristirahat. Setelah pesta berakhir, ada beberapa kerabat jauh yang akan menginap malam ini di rumah itu.
Liam duduk di sofa tunggal yang berhadapan dengan Wahyu. Setelah mengatur napasnya, lelaki itu memberanikan diri untuk berkata, "Masalah suntikan dana. Kira-kira kapan Kakek bisa memberikannya kepada perusahaan aku?"
Wahyu sejenak bergeming sambil mengernyit kening. Lelaki yang belum sehari menikahi cucunya itu begitu tidak sabaran ketika berurusan dengan uang. Sepertinya tujuan Liam menikahi Lilis memang hanya untuk uang itu saja. Namun, Wahyu bisa mengerti karena itu adalah permintaannya sendiri.
"Besok kakek akan menyuruh Danu untuk mentransfer dananya ke rekening kamu. Kamu nggak perlu khawatir. Kakek nggak akan ingkar janji. Asalkan ... kamu juga mau berusaha untuk membahagiakan Lilis."
Senyum bahagia tersemat di bibir Liam. Akhirnya masalah di perusahaannya pun bisa terselesaikan. "Baik. Liam akan berusaha membahagiakan Lilis," ujar Liam tanpa menghilangkan senyumannya.
"Bagus. Kakek percaya sama kamu."
"Tapi ... apa boleh kalau aku membawa Lilis pindah dari sini. Ini semua demi kelangsungan rumah tangga kami. Jika kami tinggal hanya berdua saja, mungkin itu bisa lebih mendekatkan hubungan kami," ujar Liam sedikit ragu. Dia takut Wahyu tidak akan setuju. Pasalnya, Lilis adalah cucunya yang baru ketemu. Ada kemungkinan Wahyu tidak akan mengizinkan Lilis untuk keluar dari rumah itu.
"Baiklah. Sekarang Lilis adalah tanggung jawab kamu. Kakek hanya bisa mendukung, tapi jangan lupa untuk sering berkunjung, ya!"
Liam menghela napas lega mendengar pernyataan kakek mertuanya tersebut. Ternyata, menikahi Lilis tidak terlalu berat juga. Wahyu bukanlah seorang kakek yang diktator terhadap cucunya seperti di film drama. Namun, hal itu tak membuat persepsi Liam berubah begitu saja. Pernikahan masih menjadi momok menakutkan baginya. Liam masih ragu jika pernikahan mereka akan berakhir bahagia.
...----------------...
...To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
angie widya
neng lilis , meni enggal enggal 🤣🤣🤣
2023-11-17
0