"Gila,,, kau membeli lukisan tidak jelas seharga lima belas juta? Dan kau mentransfer uangnya begitu saja? Kau jelas kena tipu!" ujar Beni saat baru saja mendengar cerita Seno yang baru saja membeli lukisan seharga lima belas juta namun sudah tiga hari, lukisan yang di belinya belum kunjung diterimanya.
Menang untuk sebuah karya seni tidak ada patokan harga, bagus atau jeleknya sebuah karya juga tergantung perspektif orang yang melihatnya, jadi untuk harga lima belas juta pun tidak bisa menjadi ukuran mahal atau murah sebuah karya.
Lima belas juta juga sebenarnya bukan nominal sedikit untuk Seno, meski dia berstatus istri dari direktur perusahaan konstruksi ternama di tanah air, dia tidak pernah menggadaikan apalagi menjual harga dirinya sebagai laki-laki dengan meminta uang pada istri.
Meskipun penghasilan Erisan puluhan bahkan ratusan kali lipat lebih besar dari gajinya sebagai dosen, namun setiap bulannya dia tetap memberi uang bulanan sebagai nafkah untuk istrinya, meski mungkin angkanya tidak seberapa bagi Erisa, namun setidaknya itu yang Seno mampu saat ini, dan dia tidak mau lalai akan kewajibannya memberi nafkah, karena baginya itu harga diri seorang suami.
Namun entah mengapa uang berjumlah belasan juta itu dengan mudahnya dia kirimkan pada seorang wanita si penjual lukisan tanpa ada rasa curiga atau ketakutan jika dirinya akan di tipu, meski dia sama sekali tidak mengenal si wanita yang bahkan tidak menyebutkan namanya itu. Lukisan itu terlalu menarik untuknya sehingga membuat dia seolah terhipnotis dan menjadi bodoh seketika.
"Atas nama siapa nama rekening yang kau transferi kemarin? Kita harus melaporkannya pada pihak yang berwajib, agar tidak ada orang bodoh seperti mu lagi yang tertipu." ujar Beni.
"Atas nama,,," belum sempat Seno menjawab, ponselnya berbunyi, sebuah telepon masuk menghentikan pembicaraan antara Seno dan sahabat sekaligus kakak iparnya itu.
"Aku harus pulang, lukisan itu sepertinya sudah tiba, see,,, aku tidak tertipu," ujar Seno dengan wajah berseri, mendapat kabar dari si pemilik lukisan yang katanya sudah menunggu dirinya membuat wajahnya sumringah seperti hendak menemui pujaan hatinya.
"Cihh,,, aku penasaran, lukisan seperti apa yang membuatmu segila itu." cibir Beni.
"Aku akan memamerkannya pada mu nanti!" jawab Seno sambil berlalu pergi dari toko kue milik Jihan, istri Beni yang lokasinya tidak jauh dari kampus tempatnya mengajar, sehingga dia sering mampir ke toko kue itu untuk sekedar ngopi atau mengisi waktu saat menunggu jeda jam mengajar berikutnya, terkadang dia juga mampir saat dia pulang mengajar seperti sekarang ini.
Sebagai anak laki-laki pertama dan satu-satunya di keluarga Adiguna, seharusnya Beni menjadi pengganti ayahnya mengelola perusahaan besar itu, sayangnya minat dan bakat Beni tidak di bidang bisnis ayahnya, melainkan di bidang seni, sehingga kepemimpinan perusahaan jatuh ke tangan Erisa yang notabene sudah terlihat ketertarikannya pada pekerjaan yang di geluti ayahnya itu, sejak kuliah, adiknya sudah sering membantu ayahnya untuk urusan perusahaan, sehingga tidak heran jika kini dia cukup piawai dan handal untuk mengelola perusaan keluarganya itu.
Namun demikian, Beni juga masih ikut andil dalam perusahaan jika berkaitan dengan gambar-menggambar desain dan sebagainya.
**
Seorang gadis muda bertubuh mungil duduk di kursi bambu panjang di halaman rumah sederhana yang terlihat asri, karena terdapat banyak pepohonan rimbun di sana. Sebuah pigura terbungkus rapi bertengger di sampingnya.
Sebuah mobil sedan hitam yang bisa di bilang sudah agak tua namun masih terlihat terawat memasuki halaman rumah itu, Seno keluar dari mobil hitam itu dan langsung menghampiri wanita muda itu.
Seno sengaja memberikan alamat rumah peninggalan orangtuanya untuk tempat janji bertemu mereka, karena rencananya lukisan itu akan di pajang di rumah itu karena dia yakin Erisa pasti akan protes jika dia memajang lukisan itu di rumah mewah milik istrinya itu. Erisa tidak begitu menyukai lukisan, apalagi lukisan dari pelukis tidak terkenal seperti ini.
"Maaf, apa sudah lama menunggu?" tanya Seno, sambil memperhatikan gadis muda yang sepertinya sedikit terperanjat kaget karena sapaan Seno padanya, rupanya gadis itu tengah melamun, sehingga tidak menyadari kedatangan Seno.
"Ah,,, iya,,, eh tidak." gugup gadis itu. "Apa anda pak Seno Indrajaya?" sambungnya lagi memastikan orang yang hendak di temuinya.
Seno mengangguk. "Anda nona Sabrina?"
Kini giliran wanita itu yang mengangguk, lantas dia menyerahkan pigura terbungkus rapi yang berada di sampingnya.
"Ini lukisan yang anda mau, dan ini,,,, uang anda." gadis bernama Sabrina itu lantas merogoh tas berbahan kanvas yang berada di pangkuannya lalu menyodorkan sebuah amplop coklat tebal.
Seno mengernyit, "Uang apa?" tanyanya bingung.
"Uang anda, masih utuh, saya tidak memakainya, dan untuk lukisan ini,,, saya hadiahkan untuk anda, terimakasih sudah mau menghargai lukisan saya dengan harga yang cukup besar bagi saya," gadis itu membungkukan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih pada Seno yang jujur saja masih merasa kebingungan dengan apa yang di maksudkan gadis itu.
Belum sempat Seno mengeluarkan pertanyaan yang berjejal di kepalanya, gadis bernama Sabrina itu tanpa di sadari sudah berjalan jauh meninggalkan halaman rumah miliknya itu.
"Ah, nona,,, tunggu!" teriak Seno saat dirinya baru tersadar dari lamunannya, namun sia-sia karena Gadis itu sudah menaiki angkutan umum yang lewat di jalan besar tidak jauh dari rumahnya itu.
Mata seno bergantian memandangi lukisan yang masih terbungkus rapi dan amplop berisi uang lima belas juta yang kini berada di tangannya.
"Apa maksudnya ini?" gumam Seno berbicara sendiri dalam bingungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments