"Apa???" kaget Seno setelah dia mendengar suara istrinya dari ujung telepon, tubuhnya bahkan terasa lemas seketika seusai mengakhiri percakapan dengan istrinya di telepon.
'Aku ada urusan penting yang tidak bisa di tinggalkan, maaf aku tidak bisa menyusul mu ke sana, aku di bandara untuk perjalanan menuju Singapura'
Penjelasan singkat, padat, yang di ucapkan Erisa padanya di ujung telepon benar-benar membunuh semua harapannya untuk bisa terus bersama dan mempertahankan pernikahan mereka, ini terlalu menyakitkan.
Rencana demi rencana yang sudah dia susun untuk merayakan kebersamaan dirinya dengan Erisa hancur berantakan, harapan untuk memperbaiki hubungan mereka terbang begitu saja seiring kekecewaan yang kini memenuhi dadanya.
Seno tidak pernah merasakan jatuh cinta di seumur hidupnya, pengalaman pertama berhubungan dengan wanita adalah dengan Erisa, dimana pengalaman pertamanya justru langsung dalam sebuah pernikahan, saat dia ingin mencoba mengembangkan perasaan cintanya untuk Erisa, namun ternyata ini juga menjadi pengalaman pertama Seno merasakan apa yang dinamakan patah hati, ini rasanya terlalu kejam dan menyakitkan bagi Seno, sayapnya terputus bahkan di saat dia baru akan mencoba terbang.
Seharusnya pemandangan laut yang indah ini bisa dinikmati bersama Erisa di atas sofa daybed yang terdapat di teras resort mewah yang di sewanya hasil dari menguras tabungannya yang dia kumpulkan selama berbulan-bulan, sambil berbagi cerita dan memadu kasih di bawah langit yang bertabur bintang sambil di iringi suara deburan ombak yang membuat mereka semakin semangat untuk menyalurkan hasrat mereka yang selama ini jarang tersalurkan. Atau sekedar berciuman mesra sambil menyaksikan matahari tenggelam dari sana, namun nyatanya kini dia hanya menikmati semua itu sendirian dengan kondisi yang sangat menyedihkan.
"Sial, ternyata hanya aku sendirian yang menganggap pernikahan ini penting, sementara dimata dia pernikahan ini sama sekali tidak artinya, baik,,,hiduplah dengan semua urusan mu dan pekerjaan mu yang sangat penting bagi mu, aku tak akan mau peduli lagi." maki Seno yang hanya bisa dia ucapkan dalam kesunyian, karena orang yang sangat ingin dia maki tidak berada di tempat itu sekarang ini.
Karena rencana yang berantakan, akhirnya keesokan paginya Seno memutuskan untuk pulang, meski dia sudah membayar sewa resort itu untuk tiga hari kedepan, rasanya terlalu menyakitkan tinggal di resort mewah yang hanya berteman sepi dan mengingatkan dirinya pada Erisa yang membuatnya kecewa, apalagi resort itu juga pernah menjadi tempat bulan madu mereka satu tahun yang lalu saat mereka baru saja melangsungkan pernikahan, tentu saja hal itu semakin membuat hati Seno semakin terasa perih jika mengingat hal-hal manis yang pernah mereka lewati di tempat itu, jadi dia memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu.
Sebuah pamflet pameran lukisan yang tergeletak di jok kursi taksi yang sedang dia tumpangi untuk ke bandara menarik perhatiannya.
"Pak, tolong antar saya ke tempat ini." ujar Seno pada sopir taksi agar mengantarnya ke tempat pameran lukisan itu, dan menunda kepulangannya ke Ibukota.
Pameran lukisan bertempat di sebuah gallery yang nuansa Balinya terasa kental itu berada di pinggiran kota, harus melalui jalanan setapak bebatuan sejauh kurang lebih dua puluh meter untuk sampai di sana setelah turun dari kendaraan roda empat, namun suasananya sungguh membuat hati Seno yang tadinya panas dan dipenuhi emosi kini terasa tentram dan nyaman. Atap dari jerami dan lantai kayu membuat gallery itu terasa hangat meski sepi pengunjung.
Langkah Seno terhenti pada sebuah lukisan sepasang tangan yang menggenggam sebuah hati berwarna hitam yang terkoyak.
Lukisan abstrak yang menggambarkan kesedihan mendalam itu dapat dirasakan kuat oleh Seno, entah karena pas dengan suasana hatinya yang juga tengah bersedih, atau memang karena pesan yang disampaikan pembuat lukisan itu benar-benar sampai di hati Seno.
Sebagai seorang seniman yang menjunjung tinggi aliran realisme, dia tidak pernah suka dengan subjek seni yang penuh drama dan di besar-besarkan, seperti lukisan bergaya romantisisme yang saat ini ada dihadapannya dan membuat matanya tidak mampu berpaling dari lukisan berukuran 60X80 itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang pria muda muncul dari taman tak jauh dari tempat kini Seno berdiri.
"Lukisan yang indah," gumam Seno dengan mata yang masih saja tertuju pada lukisan itu.
Inisial hurup "S" di pojok bawah lukisan itupun menjadi daya tarik tersendiri seakan lukisan itu memang di buat untuknya.
"Ah,,, iya. Ini lukisan milik teman saya yang di titipkan di sini, saya memajangnya karena lukisan ini memang indah." ujar pria itu.
"Apa ini di jual?" tanya Seno.
"Teman saya tidak mengatakan apapun tentang lukisan ini, saya tidak berani mengatakan ini di jual atau tidak, kebetulan orangnya sedang menghadiri seminar di pulau seberang, mungkin besok dia baru akan pulang." urai pria itu ramah menjelaskan.
"Ini nomor telepon saya, katakan pada teman anda, jika dia berniat menjual lukisannya, tolong beritahu saya terlebih dahulu, karena saya berminat, barangkali lukisan ini berjodoh dengan saya." Seno memberikan selembar kartu nama pada pria itu lantas bergegas meninggalkan gallery itu, tanpa berkeinginan untuk melihat-lihat lagi lukisan lainnya setelah dia melihat lukisan hati itu.
Sesampainya di Ibukota, Seno tidak langsung pulang ke rumah mewah milik istrinya, dia pulang ke rumah sederhana peninggalan orangtuanya yang jarang dia tempati namaun sampai saat ini masih dia rawat dengan baik. Bau cat yang lekat di rumah sederhana itu membuatnya merasa benar-benar nyaman, tidak seperti di rumah Erisa yang mewah yang meski berbau diffuser mahal, tetap saja tidak membuat hatinya nyaman, namun sebaliknya malah terasa kosong.
Sebuah telpon dari nomor tidak di kenal memanggilnya malam itu, saat dirinya baru saja selesai mandi dan bersiap tidur. Ada lima panggilan tidak terjawab dari nomor yang sama yang saat ini memanggilnya.
Khawatir jika itu penting, mengingat sudah menelponnya berulang kali, Seno segera mengangkatnya.
"Selamat malam, apa ini bapak Seno Indrajaya?" suara lembut seorang perempuan dari ujung telepon membuat Seno mengernyitkan keningnya.
"Saya pemilik lukisan yang tadi bapak lihat di gallery, apa benar bapak berminat untuk membeli lukisan saya?" tanya perempuan itu.
"Ah,,, lukisan hati itu? I-iya, apa anda akan menjualnya?" Seno bertanya balik.
"Jika saya akan menjualnya dengan harga lima belas juta, apa anda bersedia untuk membayarnya?" tanya perempuan yang mengaku sebagai pemilik lukisan itu pada Seno.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Dwisya12Aurizra
ah ikutan nyesek
2023-11-21
1