Jam menunjukkan pukul 13.00 siang. Beatrice baru saja tiba di bandara. Saat akan pergi mencari taksi, sebuah mobil sudah menunggunya di depan.
"Apa kau nona Beatrice?" tanya pria itu.
"Siapa kau?"
"Aku Nevan, orang yang kau suruh untuk menjaga adikmu." Nevan membantu Beatrice membawa kopernya.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Maaf, aku melacak keberadaan mu lewat ponsel nona Alice."
"Bagaimana keadaan adikku sekarang?"
Nevan menceritakan semuanya ketika dalam perjalanan pulang.
Siang itu, Alice baru saja bangun. Dia melihat ada Helga di sampingnya.
"Apa kau tidur nyenyak tadi?" tanya Helga.
"Aku merasa sedikit lebih baik."
Alice terlihat masih sedih. Dia pergi mandi dan segera bersiap. Saat sedang menyiapkan makan siang, Helga melihat sebuah taksi yang berhenti di depan rumahnya. Tidak lama Alice keluar dan berpamitan.
"Kau akan pergi kemana, nona?"
"Aku akan pergi ke pemakaman ayah dan ibu."
"Aku dan putraku juga akan pergi ke sana, jangan pergi sendiri. Kita akan pergi bersama nanti. Tunggulah Nevan sebentar lagi!"
"Aku bisa pergi sendiri, bi. Kau tidak perlu khawatir."
Alice pun akhirnya pergi dengan taksi. Tidak berselang lama, Nevan tiba bersama Beatrice. Melihat gadis lain yang dibawa putranya, Helga merasa sangat penasaran.
"Siapa lagi perempuan yang datang bersamanya?"
"Ibu, aku datang." ucap Nevan berjalan masuk.
"Selamat datang, nak."
"Halo, nyonya!" sapa Beatrice sambil menjabat tangannya.
Nevan memberitahu ibunya jika perempuan itu adalah Sarah Beatrice, putri pertama perdana menteri sekaligus kakak dari Alice.
Helga sungguh tidak percaya bisa kedatangan dua putri perdana menteri di rumahnya. Mereka bagaikan sebuah mutiara yang sangat amat terjaga. Ketika orang lain penasaran akan wajah mereka, Helga sudah lebih dulu melihatnya. Rasa penasaran yang ada sejak lama akhirnya terjawab sudah. Helga langsung membawa barang Beatrice ke kamar.
"Dimana Alice?" tanya Beatrice.
"Dia baru saja pergi." jawab Helga.
"Kemana?"
"Nona Alice pergi ke pemakaman. Aku sudah memintanya untuk menunggu, tapi dia tetap pergi."
Beatrice meminta Nevan untuk segera menyusulnya. Dia merasa sangat khawatir pada adiknya.
***
Di tengah perjalanan, Alice sempat berhenti untuk membeli karangan bunga. Di sana ia tidak sengaja menabrak seseorang.
"Maafkan aku, tuan." ucap Alice.
"Tidak masalah, nona. Aku yang seharusnya minta maaf karena terburu-buru tadi." Suara itu seperti tidak asing di telinga Alice. Ia sempat menoleh untuk melihat wajah pria itu.
"Mata itu... seperti mata pria yang membunuh ibu malam itu." batinnya.
Pria itu menyadari jika sedari tadi Alice memperhatikannya. Tidak segan dia menghampirinya.
"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya pria itu.
Melihat bekas luka yang ada di jari kelingkingnya, membuat Alice sangat yakin jika pria itu adalah pria yang sama. Alice langsung pergi setelah mendapatkan bunganya. Ketakutannya kembali muncul. Ia lupa meninggalkan ponselnya di rumah.
Sudah setengah perjalanan, sopir taksi merasa curiga karena sejak tadi sebuah mobil putih terus mengikutinya dari belakang.
"Kita sepertinya sedang diikuti, nona." ucap sopir itu.
Saat melihat ke belakang, Alice mengenal mobil itu. Mobil pria yang tadi ditemuinya di toko bunga. Alice semakin ketakutan. Ia meminta sopir untuk memutar balik mobilnya. Ia memutuskan untuk kembali pulang.
"Cepat sedikit, pak!" pinta Alice.
Sementara itu, Nevan dan Beatrice sudah sampai di pemakaman. Mereka tidak melihat siapapun di sana.
"Dimana Alice?" ucap Beatrice sambil melihat sekeliling.
"Mungkin dia masih dalam perjalanan, nona."
"Tidak mungkin! Jalanan siang ini sangat lancar, seharusnya dia sudah sampai." Beatrice meminta Nevan untuk segera pulang. Dia yakin jika adiknya itu sudah ada di rumah.
Di satu sisi, Alice baru saja tiba di rumah. Dia masuk dengan wajah ketakutan.
"Nona, kau kenapa?" sapa Helga.
Alice langsung berlari ke kamarnya. Karena merasa khawatir, Helga pergi menemuinya.
"Apa terjadi sesuatu saat kau di pemakaman?" tanya Helga.
Alice melihat ke luar jendela. Ternyata benar mobil putih itu masih mengintainya. Helga penasaran dengan yang dilihat Alice.
"Mobil siapa itu? Apa kau mengenalnya?"
"Aku tidak tahu, bibi. Sejak tadi dia terus mengikuti ku. Aku sangat takut..." Alice sembunyi di balik selimutnya. Helga keluar untuk menemui orang itu.
"Permisi, sedang apa kau di depan rumahku?" tanya Helga curiga. "Apa kau memiliki niat jahat pada anak gadisku?"
Pria itu hanya tersenyum. Ia meminta maaf karena sudah membuat putrinya tidak nyaman. Sebenarnya pria itu datang untuk menukarkan bunga. Saat di toko, Alice salah mengambil bunga. Dia membawa bunga pesanannya. Helga masuk untuk mengambil bunga itu.
"Apa ini bunga milikmu?"
"Benar, nyonya. Ini bunga untuk kekasihku. Oh iya, ini bunga yang di pesan putrimu tadi. Tolong sampaikan permintaan maaf ku padanya."
Tidak lama pria itu pergi. Beberapa menit kemudian, Nevan dan Beatrice datang.
"Apa Alice sudah kembali?" tanya Beatrice.
"Dia ada di kamarnya, nona."
Beatrice langsung pergi menemuinya. Saat datang, dia melihat adiknya yang sedang bersembunyi dalam selimut.
"Alice, kau kenapa?"
"Jangan mendekat! Pergilah!"
"Ini aku, kakakmu."
Alice tetap ketakutan. Ia tidak mau melihat kakaknya. Beatrice tidak menyangka jika kejadian malam itu membuat adiknya mengalami trauma yang sangat berat.
"Nona Alice kenapa ibu?" tanya Nevan.
"Dia ketakutan karena tadi ada seorang pria yang terus mengikutinya."
"Lalu?"
"Hanya ada kesalahpahaman saja. Pria itu tadi datang untuk mengambil bunga miliknya. Nona salah mengambil bunga saat di toko."
Tidak lama Helga datang.
"Bagaimana ini, bi? Aku tidak bisa melihat adikku seperti ini." Beatrice tidak bisa menahan air matanya.
"Biarkan adikmu tenang dulu, baru dia nanti akan bicara denganmu."
Sementara itu, pria yang tadi mengikuti Alice ternyata adalah seorang mata-mata. Tiba di rumah, ia langsung menghubungi bosnya.
"Bos, aku tahu dimana dia berada." ucapnya.
"Terus awasi dia! Jangan sampai kau kehilangan jejak!" perintah bosnya.
"Baik."
***
Hari sudah malam. Alice masih berdiam diri di kamar. Beatrice mencoba menemuinya kembali, tapi ternyata dia sedang tidur.
"Aku sangat menyayangimu, Alice. Walau sebenarnya aku bukanlah kakak kandungmu, tapi ayah, ibu, dan juga kau menyayangiku lebih besar daripada apapun." ucap Beatrice.
Perkataannya itu tidak sengaja terdengar oleh Helga. Mengetahui kedatangan perempuan itu, Beatrice tidak sungkan lagi untuk menceritakan semuanya.
Sarah Beatrice, itulah nama indah yang diberikan perdana menteri padanya. Dia hanyalah seorang bayi yang perdana menteri temui di jalanan kota. Entah orang tua mana yang tega membuang putrinya sendiri. Dengan segala kebaikan perdana menteri dan istrinya, mereka akhirnya mengangkat Beatrice sebagai putrinya. Walau saat itu istri perdana menteri sedang hamil, mereka tetap menyayanginya. Cinta, kasih sayang, perhatian, dan waktu mereka berikan untuknya sampai bayi kecil itu lahir. Betapa bahagianya perdana menteri dan istrinya ketika memiliki dua orang putri yang sangat cantik.
"Kenapa kau memberitahuku semua ini?" tanya Helga.
"Karena aku percaya padamu dan putramu, bibi." jawab Beatrice. "Kalian orang yang sangat baik. Terima kasih sudah mengizinkanku dan adikku tinggal di rumahmu."
Tidak lama Nevan datang. Dia memberikan dua kotak kecil itu pada Beatrice.
"Apa ini?"
"Aku tidak berani membukanya, hanya saja sebelum perdana menteri meninggal ia memintaku untuk memberikan kotak ini padamu dan adikmu."
Beatrice membuka kotak itu. Isinya sebuah kalung berlian berbentuk hati berwarna biru yang begitu indah. Ia ingat saat usianya menginjak 17 tahun, ia meminta kado itu pada ayahnya. Dan sekarang kado itu ia dapatkan. Beatrice meminta Helga untuk memakaikan kalung itu di lehernya.
"Kalung yang sangat cantik, seperti dirimu."
"Terima kasih, bibi."
Beatrice membuka kotak satunya lagi. Ternyata itu kalung dengan bentuk yang sama, hanya saja yang Alice miliki berwarna merah.
"Saat bangun nanti, aku akan memakaikan kalung ini padanya," ucap Beatrice.
***
Sudah dua jam Alice tidur. Helga membangun Alice perlahan. Bagaimana pun dia harus makan malam. Saat terbangun, Helga membawanya ke meja makan. Alice membuka matanya lebar-lebar. Ia sangat bahagia mengetahui kedatangan Beatrice.
"Kakak..." Alice berlari memeluknya.
"Oh, adikku tersayang..."
"Kakak, aku kehilangan ayah dan ibu di hari ulang tahunku," ucap Alice sambil menangis. "Mereka dengan sangat kejam menembak ayah dan ibu di depan mataku."
"Sudahlah, semua sudah berlalu. Sekarang ada aku di sini. Kau tidak lagi sendiri."
Malam itu, Alice hanya makan sedikit. Ia kembali lagi ke kamar. Melihat keadaan adiknya, Beatrice memutuskan untuk membawanya ke Amerika. Entah itu keputusan yang tepat atau tidak, tapi dia akan membicarakannya dulu pada Helga.
Mendengar kepergian mereka, Nevan kurang setuju. Alice akan aman saat berada di rumahnya. Dia dan ibunya yang akan menjaganya.
"Kenapa kau bersikeras untuk Alice tetap berada di sini?" tanya Beatrice.
"Aku hanya ingin memenuhi permintaan terakhir perdana menteri."
"Apa maksudmu?"
"Sebelum ia meninggal, perdana menteri mempercayakan Alice padaku. Ia memintaku untuk menjaganya."
"Benarkah?"
"Bagaimana bisa aku mempercayakan adikku dengan orang yang belum lama aku kenal?"
"Kau bisa mempercayai kami, nona. Perdana menteri mengenal baik diriku dan putraku. Tidak mungkin kami mengkhianati kepercayaannya."
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam kamar. Semua berlari melihatnya.
"Ada apa, nak?" tanya Helga.
"Pria itu datang lagi, bibi. Aku sangat takut..."
"Pria mana yang kau maksud?" tanya Beatrice sedikit heran.
"Pria yang membunuh ayah dan ibu. Aku baru saja menemuinya saat di toko bunga. Dan dia sekarang ada di luar."
Helga meminta Nevan untuk melihat ke luar. Beatrice mencoba menenangkan adiknya. Tidak lama Nevan datang dan memberitahu semua orang jika tidak ada siapapun di luar. Alice sangat yakin jika yang ia lihat itu tidak salah. Tadi pria itu berdiri di depan rumahnya.
"Tidak ada siapapun di luar, jadi tolong tenanglah!" pinta Beatrice.
"Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri! Jangan matikan lampu kamarnya. Aku sangat takut..."
"Tidurlah, nak. Aku akan terus menemanimu di sini."
***
Di kamar sebelah, Beatrice sedang mendiskusikan sesuatu dengan Nevan. Amerika bukanlah tempat yang aman untuknya. Di sana sangat ramai dan sedang terjadi ledakan bom di mana-mana. Suara itu pasti akan sangat menggangu ketenangannya.
"Menurutmu, dimana tempat yang cocok untuk Alice?" tanya Beatrice.
"Sebentar, aku akan mencarinya di internet."
"Bagaimana dengan Australia?" ucap Helga yang tiba-tiba datang.
"Kenapa kau bisa berpikiran untuk pergi kesana, bi?"
"Aku pernah mendengar dari adikku yang bekerja sebagai pengawal perdana menteri. Ia mengatakan padaku jika perdana menteri ingin sekali nona Alice meneruskan S1 nya di Melbourne, Australia."
"Kita bisa mencobanya, nona. Lagi pula dari data yang aku baca kota itu sangat aman. Banyak tempat indah yang mungkin bisa membuat adikmu lebih tenang dan perlahan melupakan kejadian itu." sambung Nevan meyakinkan.
"Baiklah, karena kau sudah berjanji pada ayahku untuk menjaga adikku, maka kau dan ibumu harus ikut kami ke Melbourne."
Awalnya, Helga sedikit keberatan karena harus meninggalkan rumah milik suaminya, tapi demi membalas semua kebaikan perdana menteri pada keluarganya, ia akan pergi untuk menjaga kedua putrinya. Nevan masih menunggu keputusan ibunya. Tidak mungkin juga ia pergi meninggalkan ibunya sendiri di kota sebesar ini.
"Aku bersedia untuk ikut bersamamu, nona."
Mendengar hal itu, Beatrice merasa sangat bahagia. Kini, ia merasa seperti memiliki keluarga baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments