"Apa yang ingin kau bicarakan, ayah?"
Jeffrey langsung saja bertanya setelah sampai di rumah orang tuanya. Ia duduk di atas sofa berwarna hitam dengan bentuk leter U lalu ia tatap wajah sang ayah yang terlihat sedang termenung.
"Ibu dan adik laki-laki di mana ayah?" tanya Jeffrey lagi setelah menyadari ketidakhadiran kedua orang yang ia tanyakan barusan.
"Ibu sedang pergi keluar. Adikmu pasti sedang belajar di kamarnya karena hari ini ia libur sekolah," jawab ayah, menatap Jeffrey dengan tatapan sendunya.
Jeffrey mengangguk saja. Membuang napas, Jeffrey lantas hanya menunggu sang ayah kembali berbicara. Tidak terlalu penasaran, makanya Jeffrey hanya diam tak bersuara sampai ayah berdehem dan mulai membuka kembali percakapan dengan anak keduanya.
"Bagaimana keadaan perusahaan?" Tanya ayah untuk berbasa-basi. Jeffrey tahu itu, tidak mungkin ayahnya akan langsung bicara pada intinya.
"Selama ini baik-baik saja, tidak ada kendala apapun yang membuat kacau. Hanya saja Yuri yang selalu sulit untuk ku ajak pemotretan. Hanya itu saja," jawab Jeffrey. Memang benar, kekasihnya itu selalu sulit saat ia minta untuk melakukan pemotretan bagi desain terbaru dari perusahaannya. Perempuan itu selalu mengeluh dan selalu mau menang sendiri.
"Sudah ayah bilang, kan? Harusnya sejak awal kau tidak perlu menjalin hubungan dengannya." Ayah menepuk pundak Jeffrey pelan.
"Tidak perlu membicarakan Yuri, ayah. Kita obrolkan saja apa yang ingin ayah bicarakan."
"Begini, Jeff. Jiddan kemarin meminta ayah untuk memberikan perusahaan padanya. Ia ingin mengambil alih semua. Bagaimana menurutmu?" tanya ayah, mulai membicarakan intinya.
"Tapi Jiddan masih sekolah, ayah. Bagaimana dia bisa mengambil alih perusahaan? Yang benar saja," jawab Jeffrey sambil berdecak. "Bagaimana bisa anak SMA memimpin sebuah perusahaan?" tanyanya kemudian.
"Itulah masalahnya. Sangat tidak masuk akal, bukan? Tapi bisa saja dia mengambilnya saat sudah lulus."
"Tidak. Pendidikannya belum cukup jika hanya lulus SMA saja. Aku tidak akan menyerahkan perusahaan begitu saja padanya."
"Jadi bagaimana?"
Jeffrey berdiri, "Biar kutemui Jiddan sekarang," ucapnya lalu segera pergi ke lantai atas, di mana kamar adik lelakinya terletak.
Jeffrey langsung saja membuka pintu kamar tanpa mengetuk dahulu, membuat Jiddan sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Jiddan bangkit dari kursinya, lalu menghampiri Jeffrey yang berdiri di ambang pintu.
"Tidak biasanya kau kesini, kak. Apa kau mau membicarakan soal perusahaan?" tanya Jiddan, menyunggingkan senyum.
"Kau pikir, kau pantas memimpin perusahaan di usia remaja mu itu? Apa kau yakin bisa? Pendidikan mu saja belum cukup, Jiddan. Kau tidak akan bisa mengambil alih perusahaan sampai kau benar-benar pantas. Lagipula kau belum lulus sekolah, kan?" Jeffrey berucap panjang lebar.
"Lantas apakah setelah aku lulus kau akan langsung memberikannya padaku?!" tanya Jiddan dengan nada tinggi. Membentak Jeffrey, kakak lelakinya sendiri.
"Jiddan! Sejak kapan ayah dan ibu mengajarkanmu menjadi seperti ini!? Apa kau pikir kau sopan membentak kakakmu seperti barusan?" balas Jeffrey dengan emosi yang masih ia tahan.
"Kak! Aku hanya ingin perusahaan, mengapa susah sekali?" tanya Jiddan dengan resah. Ia memegang keningnya sambil menatap Jeffrey dengan melas.
"Sudah ku bilang kau belum pantas, Jiddan. Harus kubilang berapa kali lagi?"
"Lalu jika aku sudah pantas, apa kakak akan menyerahkannya begitu saja? Tidak, kan? Aku harus menunggu sampai kapan, kak!?"
"Tunggu saja sampai waktunya tiba."
"Lihat saja! Aku tidak akan diam saja sambil menunggu tanpa mendapat kepastian. Aku akan mengambilnya dari kakak dengan cara apapun."
......................
Kepala Jeffrey bertambah pusing karena Jiddan. Ia kembali pulang ke apartemennya lagi karena terlalu malas untuk membicarakan soal perusahaan dengan seorang remaja labil seperti Jiddan.
Memasuki kamar Shienna, Jeffrey mendapati Jake sedang menunggu di sana. Memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, Jeffrey lalu mendekati brankar, tempat di mana Shienna terbaring.
"Bagaimana Jake? Apa kau sudah menemukan identitasnya?" tanya Jeffrey langsung saja. Alisnya terangkat satu, begitu penasaran ia terhadap perempuan di hadapannya itu.
"Tidak. Aku bahkan sudah mencari di internet dan media sosial. Namun, aku tidak menemukan apapun. Satu fotonya saja tidak ada," jawab Jake sekenanya. Tentu saja ia tidak menemukan apapun. Memangnya ada malaikat yang mempunyai akun media sosial?
"Ah, itu membuatku frustasi. Memangnya tidak ada yang mencari dirinya? Seperti keluarga atau teman-temannya? Tidakkah mereka merasa kehilangan?" tanya Jeffrey sambil mengacak rambutnya.
"Bagaimana aku tahu?" Jake mengangkat kedua bahunya. "Apa jangan-jangan—" Jake menggantung ucapannya setelah Jeffrey mendelik padanya.
"Apa? Jangan-jangan apa?!" tanya Jeffrey dengan mata yang melotot.
"Dia itu hantu? Atau makhluk yang berasal dari dunia lain? Bisa saja begitu."
"Tapi itu masuk akal juga. Saat itu, dia tiba-tiba saja menyebrangi jalanan. Memangnya siapa yang akan berkeliaran sendirian di pukul tiga dini hari? Apalagi dia perempuan. Saat itu juga dia memakai baju putih. Apa jangan-jangan, dia benar-benar seorang hantu?" Jeffrey terlihat berpikir.
"Tapi tidak mungkin. Jika dia seorang hantu, mungkin saat itu juga ia akan menghilang. Buktinya, dia masih terbaring di sini, kan?"
Jeffrey mendengkus. Ia lalu menatap wajah Shienna dengan seksama. Mengamati setiap inci dari karya Tuhan yang nyaris saja sempurna itu. Ia sangat fokus, hingga ia mendapati sesuatu yang janggal dari wajah Shienna.
"Lihat Jake!" seru Jeffrey sambil menunjuk wajah Shienna. "Kemarin ada bekas luka di pelipisnya, tapi sekarang itu sudah hilang dan tidak ada bekas sama sekali," lanjutnya membuat Jak segera mengecek wajah Shienna.
Setelah menyadarinya juga, Jake kemudian mendongak. Ia dan Jeffrey saling bertatapan. "Jadi, bagaimana? Apakah dia bukan seorang manusia?" tanya Jake dan Jeffrey menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, Jake." Jeffrey masih menatap Jake dengan lekat, begitu pun sebaliknya.
"Jadi, apakah kau akan membiarkan dia tetap tinggal di sini?" Jake lalu bertanya dan membenarkan posisinya.
"Tentu saja. Aku tidak mempunyai tempat lagi untuk dia tinggal. Aku akan menunggu sampai ia bangun dan akan langsung menanyakan identitas langsung padanya," jawab Jeffrey. Jake hanya mengangguk. Meski ia masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Telepon dokter yang menangani dia kemarin! Aku ingin tahu bagaimana kondisinya." Jeffrey memberi perintah.
Membalikan tubuh, Jeffrey lalu meninggalkan Jake dan Shienna begitu saja. Lelaki itu keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Menutup pintu ruangan, Jeffrey membuang napas panjang dan berdiam sejenak.
"Jika dia bukan manusia, lantas apa?" tanyanya bermonolog. Pikirannya begitu campur aduk. Semuanya bersemayam di kepalanya. Itu membuat kepalanya tambah pusing dan juga bebannya semakin bertambah setelah Shienna tinggal di rumahnya.
Menggelengkan kepala, Jeffrey lalu pergi ke kamarnya untuk menenangkan kembali pikirannya. Ia sudah begitu lelah dengan semuanya.
......................
To be continued..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
khun :3
Karakter-karakternya hidup dalam imajinasi saya. 😄
2023-11-12
1