Usaha Eleanor

Eleanor berjalan terseok-seok menuju restoran tempatnya bekerja. Setelah mendengar kabar yang sangat mengguncangkan, tubuh Eleanor terasa sangat sakit dan badannya melemas seperti tak bertulang. Hanya restoran tempatnya bekerja inilah yang bisa ia harapkan guna membantu menyelamatkan nyawa sang mama yang berada di ujung tanduk.

Eleanor memasuki restoran dan menyapa beberapa temannya sekaligus bertanya di mana bosnya berada. Setahu Eleanor di jam seperti ini sang bos pasti datang dan mengecek keadaan restoran.

Sebagian dari mereka menunjuk bahwa sang bos tengah berada di dapur mengecek keadaan di sana.

"Terima kasih, Teman-Teman. Kalau begitu, aku permisi dulu." Eleanor segera bergegas menemui sang bos.

“Permisi, Tuan Akeno,” kata Eleanor saat sudah berada tepat di belakang bosnya.

Si bos berbalik dan menatap Eleanor. “Eh, kamu Eleanor. Bagaimana keadaan ibumu? Saya dengar dari Pak Tamada, ibumu masuk rumah sakit lagi?” balas pria berusia 50 tahun.

“Benar, Tuan. Ini kali ketiga Mommy dilarikan ke rumah sakit. Untuk itulah saya pergi mencari Anda," ujar Eleanor seraya meremas telapak tangannya gugup.

Akeno paham dan mengajak Eleanor untuk bersamanya pergi ke ruangan pribadi si bos di restoran tersebut. Sampai di sana Eleanor dipersilakan duduk di sofa.

“Jadi apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Akeno pada Eleanor.

“Begini Tuan. Saya mau minta maaf sebelumnya, mungkin nanti perkataan saya akan terdengar lancang, tetapi hanya inilah satu-satunya cara yang bisa saya lakukan demi menyelamatkan nyawan Mommy saya,” ungkap Eleanor menunduk. Ia sama sekali tidak mampu menatap wajah sang bos.

Bos Eleanor seolah paham. Ia berkata dengan lembut. “Katakanlah!" titahnya pada salah satu anak buahnya itu.

“Dokter mengatakan kondisi Mommy sangat buruk dan kemungkinan tidak akan bertahan lama. Dokter bilang jika tidak segera dioperasi, nyawanya tidak tertolong,” ungkap Eleanor. Semakin meremas kedua telapak tangan yang berada di atas pangkuan.

“Hubungannya dengan saya apa?” tanya Akeno untuk memastikan dugaan sementaranya. “Kamu mau meminjam uang untuk biaya pengobatan ibumu?” imbuhnya.

“Betul Tuan, jika berkenan saya ingin meminjam uang untuk biaya operasi Mommy saya,” jawab Eleanor. Kepala perlahan mendongak ke atas hingga wajahnya yang cantik jelita beradu tatap dengan bos pemilik tempatnya bekerja.

“Berapa memang yang kamu butuhkan?” tanya Akeno seraya menyenderkan punggung ke sandaran sofa lalu kedua tangan terbentang di atas kepala sofa.

“200 juta ¥, Tuan," jawab Eleanor sedikit ragu.

Mendengar nominal yang cukup besar Akeno menggebrak meja di depannya hingga membuat tubuh Eleanor berjingkat kaget dibuatnya.

“Apa kamu bilang? 200 juta ¥. Apa saya tidak salah dengar?" pekik pria paruh baya berambut keperakan.

Eleanor semakin menundukan kepalanya ke bawah. Sumpah demi apa pun, rasanya ia ingin sekali menangis dibentak sedemikian rupa oleh atasannya ini. Namun, demi sang mama ia rela menahan diri untuk tidak menangis dan menebalkan muka di depan orang lain.

“Kamu jangan gila Eleanor, 200 juta bukanlah nilai sedikit. Itu sangat besar, kamu sadar akan hal itu, ‘kan? Lalu kamu meminjam uang ke saya sebanyak itu? Eleanor, jika kamu meminjam uang setaraf dengan gajimu atau lebih sedikit, saya bisa memberikannya, tetapi uang yang ingin kamu pinjam itu sangatlah tinggi. Bagaimana bisa saya meminjamkanmu uang, hah?" sembur Akeno dengan wajah merah padam.

Bagaimana tidak marah, Eleanor meminjam uang sebanyak 200 juta¥, setara dengan 1,380 ribu dollar sementara pemasukan dari restorannya saja tidak sampai sebanyak itu.

“Maaf Tuan, saya sadar betul saat mengatakannya. Saya minta maaf jika dirasa sudah sangat lancang meminjam dalam nominal yang cukup besar,” ucap Eleanor. Gadis itu bahkan bangkit berdiri lalu membungkukkan sedikit badan di depan Akeno sebagai tanda permintaan maaf.

Mendesah pelan. “Eleanor, saya benar-benar turut prihatin atas keadaan ibumu saat ini, tetapi saya juga tidak bisa membantu. Uang sebanyak itu, selain saya tidak memilikinya, saya juga akan sangat sangsi jika kamu bisa membayar semua hutang itu pada saya. Kamu hanya seorang pelayan di sini. Bagaimana mungkin kamu bisa membayarnya. Gajimu saja tidak akan cukup,” jelas Akeno panjang lebar.

Eleanor tertunduk sedih, apa yang dikatakan oleh bosnya memang benar, ia sendiri pun sangsi jika bisa membayar uang tersebut. Bekerja serabutan pun belum tentu bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

“Ada lagi yang ingin kamu bicarakan?” kata Akeno, merasa percakapan mereka harus terhenti sampai sini saja.

“Tidak. Sekali lagi saya minta maaf, Tuan, atas kelancangan saya barusan. Ehm, apa saya boleh meminta izin untuk beberapa hari ini tidak masuk bekerja?” tanya Eleanor waswas. Takut jika sang bos akan memarahinya lagi.

“Sudahlah, lupakan saja. Anggap kamu tak pernah mengatakan hal itu pada saya. Kamu boleh cuti selama tiga hari, setelah itu kamu harus kembali bekerja, saya tidak mau mendengar alasan apa pun!” tandas Akeno.

Eleanor mengangguk, ia tak lantas menyerah begitu saja. Masih ada cara untuk mendapatkan uang tersebut.

Setelahnya Eleanor pun berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Namun, ia tak benar-benar pulang ke rumah, gadis itu justru berjalan-jalan di atas trotoar sambil terus berpikir.

“Apa harus aku pergi ke sana?” gumam Eleanor.

Berpikir sejenak, hingga akhirnya memutuskan pergi ke Tokyo menemui adik dari mendiang papanya. Bagaimana lagi, hanya itu satu-satunya harapan Eleanor.

Gadis itu menaiki kereta cepat dari Yokohama menuju Tokyo dan hanya memerlukan waktu dua puluh menit saja ia tiba di tujuan. Sesaat setelah tiba, ia mulai melanjutkan perjalanan menuju rumah pamannya.

“Permisi,” kata Eleanor seraya mengetuk pintu.

Awalnya tak ada sahutan, setelah satu menit barulah terdengar langkah kaki mendekat dan membukakan pintu. Eleanor tersenyum gembira, ia berharap jika niatnya bertandang ke rumah ini dapat diterima dengan baik oleh mereka.

"Selamat siang Obasan, apa ka--"

"Mau apa kamu datang ke sini? Pergi! Kehadiranmu tidak diharapkan di sini!" seru Hanako--tante Eleanor seraya menatap tajam ke arah keponakannya.

"Tapi Obasan, aku ke sini mau--"

"Diam! Sudah kukatakan, enyahlah dari hadapanku sekarang juga!" Tanpa menunggu waktu lama, Hanako menutup kembali pintu rumahnya. Ia tak sudi menerima seseorang yang masih ada hubungan darah dengan Florance, sumber masalah bagi keluarga Ishikawa karena gara-gara wanita tua itu, ayah Eleanor meninggal dunia karena kecelakaan.

Eleanor hanya terdiam dengan pandangan kosong, padahal ia belum mengatakan tujuan kedatangannya, kenapa sang bibi justru bersikap seperti ini?

Dengan langkah gontai Eleanor berjalan tak tentu arah di Tokyo, sekarang harus ke mana lagi. Uang yang ia pakai untuk ke sana juga tidak sedikit, haruskah kembali ke kota asal tidak membawa hasil apa pun.

Di tengah kebingungan yang melanda, Eleanor teringat pada salah satu temannya yang dulu satu SMA dengannya dan kebetulan bekerja di Tokyo. Ia menghubungi temannya itu dan mengajak ketemuan.

"Sekarang kamu di mana, biar aku menyusulmu," ucap Mitsuko, teman satu SMA Eleanor.

Eleanor mengedarkan pandangan ke sekeliling, tempat ini cukup asing sebab ia telah lama sekali meninggalkan kota tersebut semenjak sang papa kembali menghadap Sang Pencipta.

"Aku ada di kawasan Ginza sekarang, di depan sebuah toko buku."

"Tunggulah di sana, aku akan menyusulmu! Kebetulan aku berada di kawasan yang sama denganmu."

Singkat cerita mereka pun bertemu di sebuah restoran cukup mahal di sekitaran Ginza, Mitsuko yang tak lain merupakan teman Eleanor, sangat bahagia melihat kedatangan temannya, ia pun mentraktir Eleanor beberapa makanan.

“Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan padamu,” kata Eleanor dengan wajah sendu. Makanan lezat yang masuk ke dalam mulut terasa hambar sebab pikirannya bercabang ke mana-mana.

“Ada apa? Katakan saja padaku, siapa tahu aku bisa membantumu," tanggap Mitsuko. Hubungannya dengan Eleanor cukup baik, sejak zaman sekolah dulu mereka memang akrab.

Lantas, Eleanor pun menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi pada Mitsuko bahkan tentang pengusiran yang sang bibi lakukan padanya. Mitsuko mengelus punggung Eleanor pelan guna menenangkan gadis yang saat ini hampir menangis tersebut.

“Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu, tapi aku tidak bisa membantu karena yang bosmu katakan itu benar, dua puluh milyar bukanlah angka yang kecil,” ucap Mitsuko.

Eleanor menganggukkan kepala ketika perkataan Mitsuko menelusup ke relung hati. Bagi orang miskin seperti mereka 200 juta memanglah jumlah yang sangat besar.

Gadis cantik berdarah Jepang Amerika menatap Mitsuko dalam. "Kamu semakin cantik dan penampilanmu pun semakin menarik. Semua yang melekat di tubuhmu dari barang-barang branded." Eleanor terpukau dengan tubuh ideal sang teman. Belum lagi penampilan Mitsuko yang terlihat begitu seksi dibalut pakaian dan barang-barang mewah lainnya. Padahal dulu Mitsuko termasuk murid tak mampu di sekolah, lantas mengapa sekarang kehidupan gadis itu berubah drastis.

“Ini ... sebenarnya semua ini karena pekerjaaanku,” jawab Mitsuko jujur.

“Sungguh? Memang apa pekerjaanmu?” tanya Eleanor penasaran.

“Syut! Ke marilah,” kata Mitsuko melambaikan tangan, meminta Eleanor mendekat dan mulai berbisik, “Aku bekerja sebagai wanita penghibur di salah satu klub malam yang berada di kawasan Kabuchiko,” bisik Mitsuko yang sukses membuat Eleanor terkejut.

“Wanita penghibur?” tandas Eleanor memastikan pendengarannya. Ia bahkan menutup mulut menggunakan telapak tangan.

“Iya, kamu pasti tahu apa tugasku. Itulah kenapa penampilanku jauh lebih glamour dibanding dulu karena aku bisa membeli apa pun dengan jerih payahku sendiri sebagai wanita penghibur."

...***...

Terpopuler

Comments

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

yah karena keterpaksaan nanti nih ikut kerja sama temannya,,,

2023-11-24

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!