"Emh…"
Iva membalikkan tubuh dan bersikap siaga lantaran mendengar suara seorang Pemuda.
Glek.
Ia menelan ludahnya sendiri kala melihat Pemuda itu mulai bangkit dari tidur, dan duduk sambil mengucek mata.
Dari bentuk badannya sih, itu Lemusa. Tapi kenapa kami berdua ada di sini? Dan, badanku, kenapa rasanya panas...
Iva seolah terhipnotis ketika Lemusa membuka baju, yang memperlihatkan siluet bentuk tubuh sedikit berotot. Alam bawah sadarnya berpikir bahwa ia ingin sekali menyentuh tubuh itu. Sungguh, kakinya tak dapat dikontrol hingga ia melangkah sesuai alam bawah sadarnya.
Lemusa dalam keadaan berbaring, ia terkejut karena seseorang sedang menyentuh tubuhnya. Di saat yang sama, libidonya naik hingga dia membalas sentuhan itu dengan menc•umnya.
Malam panas itu terjadi dalam keadaan gelap. Mereka terlihat begitu menikmatinya, hingga mengulangnya 3 kali.
Keduanya tidur saling memeluk, hingga subuh tiba.
Iva terbelalak, nafasnya seolah terhenti kala melihat wajah seorang Pemuda yang disukainya, Lemusa Natsir, tidur dengannya di satu ranjang.
Jadi semalam itu bukan mimpi?! Jujur saja, Iva merasa kelakuannya semalam adalah mimpi. Mimpi yang terasa nyata, termasuk sentuhan, aroma, bahkan rasa sakit ketika Lemusa pertama kali memasukinya.
Tidak tahunya, hal yang dikiranya mimpi adalah kenyataan. Ia melepas keperawanannya pada Pemuda yang dicintainya. Harusnya dia senang, tapi Lemusa tak lama lagi akan menikah dengan sahabat Iva sendiri.
"Aaaaaaa…" Iva berteriak sambil mendorong Lemusa dengan kedua lutut, dan kakinya. Pemuda itu sukses jatuh ke lantai.
"Akh!" Lemusa menggulung tubuhnya, sambil memeluk perut. Ia menahan sakit karena tendangan Iva.
Dua menit setelahnya, Lemusa mengerutkan kening karena melihat seorang gadis menangis mulai menangis tanpa menunjukkan wajahnya.
"Siapa kau!?" tanya Lemusa siaga. Ia mengucek mata, dan menyugar rambut. Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, ia pun berdiri, tapi siluet tubuhnya terlihat melalui kaca jendela. Kedua netranya sontak membesar. Ia syok.
"Badan?" Ia meraba dada dan perutnya secara bersamaan, secepat kilat berlari ke kamar ganti dan mengunci diri di sana.
"Siapa perempuan itu?" monolog Lemusa.
"Si cerewet Nia, mana mungkin. Rambutnya kan pirang, bukan hitam lebat gitu. Ah, bodo amatlah. Baju, mana baju?" Lemusa membuka lemari dan cepat-cepat berganti pakaian.
"Ngintip dulu kali ya?" Ia membuka sedikit pintu dan menyipitkan matanya kala melihat kembali sosok perempuan asing yang ada di kamarnya.
"Lah, untuk apa aku siaga gini? Wong ini kamarku." Tanpa rasa takut lagi, Lemusa keluar dari kamar. Dia berhenti sambil berkacak pinggang.
Sementara Iva menangis karena membayangkan betapa buruknya dia sebagai sahabat.
Sahabat mana yang tidur sama tunangan sahabatnya? Untuk sekarang, Nia tidak lagi memikirkan perasaannya pada sosok Lemusa. Tidak lagi memikirkan kesuciannya yang telah hilang.
Tatapan Lemusa tertuju pada noda darah di seprai. Dia masih perawan? Sungguh, rasa bersalah mulai merasuk ke dalam hati Lemusa. Aku pasti udah ngerusak masa depannya.
"Siapa namamu?" tanya Lemusa dengan suara lembutnya.
"Hah?" Iva mengangkat kepalanya karena tidak percaya, suara Lemusa bisa terdengar selembut ini.
"Kamu?" Lemusa terbelalak, sontak menunjuk Iva. Sontak keningnya mengerut tidak percaya.
Glek.
Lemusa menenggak salivanya sendiri. Ia sangat marah sekarang. "Kau naik ke ranjangku untuk apa?!" teriak Lemusa.
Na-ik? Naik ranjang apa? Pikiran Iva seketika plong.
"Jawab! Kenapa kau bisa melakukannya!" tanya Lemusa lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas karena tak habis pikir, sahabat tunangannya dapat melakukan hal sekotor ini, setelah peresmian hubungannya dengan Nia.
"A-aku ga ngelakuin apapun." Iva berusaha membela diri.
"Bohong! Mana mungkin kau bisa ada di sini kalo ga datang, manfaatin kondisiku yang lagi mabuk. Buktinya, malam itu, kau datang dari pintu. Sentuh-sentuh badanku sampai aku terangsang!"
"Aaaaaaa!!!!!!! Tuduhanmu sama sekali ga berdasar! Diam aja! Aku pusing!" Tangis Iva semakin keras mendengar semua tuduhan dari pemuda dingin, yang baru kali ini menunjukkan sisi tempramentnya.
"Aku juga pusing! Sekarang, aku hanya mau kau, jangan kasih tau siapapun tentang malam itu!"
Tak lama setelah mengatakan isi hatinya, Lemusa mengeluarkan lembaran uang dari nakas dan menyodorkan kartu kredit miliknya sambil berkata, "Ini uang, sila pergi kemana pun sampai kau ga kelihatan lagi di mataku, keluargaku, ataupun sahabatmu si cerewet Nia! Kalau masih menampakkan diri, apalagi kasih tau semua yang kita lakuin, aku ga segan-segan buat permaluin kamu juga!"
Mata Iva memerah marah karena Lemusa berani menganggapnya sebagai p•lacur.
Plak! Ia menampar pipi Lemusa dan melempar kartu yang disodorkan Lemusa.
"Aku punya pekerjaan, bahkan uang yang lebih banyak dari kartu sialanmu ini! Jadi, aku juga ga sudi bocorin yang terjadi malam itu. Karena percuma juga, itu sama aja permalukan nama aku di mata orang-orang! Aku masih punya otak, dan asal kau tau Lemusa Natsir, aku bukan merangkak naik ke ranjangmu. Kita terjebak. Itu pasti! Jadi, jangan menunduhku asal. Pake otaknya, selidiki baik-baik!"
Kekesalan Iva sedikit reda setelah menyampaikan unek-uneknya. Gadis non perawan itu turun dari ranjang, dan berjalan tegas, meski harus menahan rasa sakit yang luar biasa.
Pertempuran panas mereka, meninggalkan sakit yang luar biasa di area selan•kangannya tanpa merasakan nikmatnya berc•nta.
Lemusa menatap kepergian Iva dengan perasaan kesal luar biasa. Tapi dia sedang merangkai kata dalam kepalanya.
Sebelum keluar, Iva mengambil dan memakai asal pakaiannya. Tapi saat membuka pintu, pintu itu masih dikunci.
"Lihat Lemusa! Aku pertama bangun sebelum kamu di malam itu, dan aku mau keluar, tapi pintunya kena kunci! Terus kamunya bangun, dan aku ngerasain libidoku naik waktu kamu buka baju! Dan malam itu terjadi gitu aja!"
Aku pikir perempuan itu si cerewet Nia, batin Lemusa.
Sebenarnya, pemuda ini sudah menyukai perempuan yang dijodohkan dengannya, yaitu Nia; karena adanya proses kebersamaan meski karena paksaan dua keluarga. Dan malam itu terjadi begitu aja.
"Aku yakin kita dijebak, Lemusa! Libidoku ga mungkin naik tanpa sebab. Kamarmu penuh AC, tapi panasnya luar biasa! Kau pasti juga gitu! Kita dipasangi perangsang, ntah oleh siapa. Jadi jangan tuduh macam-macam tentang aku!" ucap Iva berusaha menjelaskan opini yang mungkin saja merupakan kenyataannya.
Namun Lemusa tidak dapat percaya begitu saja. "Memang ada orang yang menginginkan kita bersama?!"
"Nia. Dia mungkin aja pelakunya. Dia tawarin aku biar tidur sama Kamu. Dan sekarang, dia bahkan ga ada di sini, dan dia ada sama aku waktu antar kamu ke apartemen. Ya pasti dia masukin obat tidur ke aku dan kamu, makanya kita sukses tidur waktu di mobil. Soalnya aku ngantuk banget waktu itu!"
Tapi, meski sudah dijelaskan panjang×lebar×tinggi, Lemusa tetap kekeuh terhadap pendapatnya.
Pemuda itu berjalan mendekati Iva setelah mengambil kunci dan membukakan pintu kamar untuk perempuan itu.
"Udah, jangan terlalu berhalu. Aku tau kau pembuat komik. Alur ceritamu kan memang rada mind blowing. Jadi, sila keluar, dan tutupi semua kejadian malam ini. Kau ga mau terima uangku, jadi jangan minta pertanggungjawaban tentang keperawananmu. Oh ya, kalau hamil, jangan minta aku jadi ayahnya ya. Karena anak yang bakal aku anggap adalah anak dari calon istriku, Nia Risa! Kau, hanya sahabat kejam yang menusuk dari belakang!"
"Aku juga mana sudi bertemu dengan orang dingin, kejam dan kasar sepertimu!" kata Iva sebelum melangkah keluar dari kamar apartement milik pemuda itu.
Saat menuruni tangga, Iva terus menyeka air matanya. Aku telah salah memilih pujaan hati. Ntah berapa doa kupanjatkan kepada Tuhan supaya menikah dan beranak pinak dengannya. Kuharap Tuhan takkan membuatku bertemu dengannya. Mulutnya, wajahnya. Dan kejadian hari ini benar-benar menyakiti hatiku.
Saat sampai di depan kamarnya, Iva sudah berkomitmen dalam hatinya untuk melupakan pemuda yang sebentar lagi akan menikah dengan sahabatnya itu.
Aku harus keluar dari kota ini secepatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments