2. Kesepakatan?

Nia memercikkan air ke wajah Lemusa tapi pemuda itu tak kunjung bangun. "Apa kubilang, dia pingsan." Nia terlihat begitu senang dan bangga akan kondisi Lemusa.

Sementara Iva diam, sudah paham juga dengan tingkah sahabatnya ini terhadap Lemusa.

"Paling kepalanya terbentur waktu naik turun tanjakan. Aku minta tolong antarkan si Lemusa ya? Aku capeeeee kali! Mau cuci muka terus tidur," kata Nia sambil menguap dan meregangkan badan.

"Permintaan ditolak." Jawaban Iva membuat Nia membelalakkan matanya, "Why?" tanyanya terkejut.

"Dia tunanganmu, jadi–"

"Aku tidak mencintainya, tapi kau!"

Iva terkejut mendengar jawaban Nia. Dia tau? Dari mana?

Nia tersenyum miring. Dia dapat membaca isi hati sahabatnya itu hanya dalam sekali lirik. "Semua jelas aja kelihatan. Lemusa kan memang tipemu. Tapi kau terus menutupinya karna ngerasa gak pantas dibandingkan aku yang punya orang dalam yakni keluargaku sendiri. Jadi gini, gimana kalo kita lakuin kesepakatan. Kau ngerasain sentuhannya sebelum nikah sama aku? Dengan begitu, keluarga membatalkan pernikahan konyol ini, dan membuatmu menjadi pengantinnya. Ini kesepakatan yang bagus kan?"

"Gila kamu!" hardik Iva. Ia tidak percaya pemikiran Nia bisa seaneh ini.

"Ga perlu terlalu serius-serius amat. Tadi aku hanya berakting. Gimana, bagus kan? Hahaha…"

Iva sampai menyeka keringatnya karna syok. Sedangkan Nia terus terkekeh membayangkan raut wajah Iva tadi. Nia menepuk bahu Iva sambil berbisik, "Semua omonganku hanya akting kecuali perasaanmu pada Lemusa Natsir."

Saat bisikan itu selesai, Nia mengubah suaranya menjadi normal. Dan ia berkata, "Mau kan?"

"A-apa yang mau?" suara Iva bergetar. Ia bahkan kebingungan dengan maksud sahabatnya itu.

"Itu, bawa si Musa ke apartemen. Ikut pun aku, temani kalian."

"Ya udah."

Iva dan Nia sama-sama memapah Lemusa ke mobil Iva. Jantung Iva berdegup kencang, aroma maskulin yang tercium harum dari tubuh Lemusa membuatnya seketika ingin meleleh saat itu juga.

"Gimana kalo Lemusanya kita bawa ke apartemenmu? Kan lebih dekat, lagian kalian udah tunangan," usul Iva tiba-tiba. Ia mengenyampingkan perasaannya untuk membuktikan bahwa ia tidak masalah jika Lemusa bersama Nia.

"Ah, jangan. Malas aku harus tampung dia di apartku."

"Ya udah." Mau tidak mau Iva mengalah.

Kali ini yang menyetir Nia. Sedangkan Iva di belakang karena tubuhnya tiba-tiba lelah ntah karena apa.

"Di mana ini?" kata Lemusa dengan suara seraknya. Ia menoleh ke kiri dan kekanan, tampak kebingungan dengan kondisi sekitar.

"Tukang tidur!" sindir Nia menatap jutek Lemusa.

Kening Lemusa mengerut setelah mendengar sindiran tunangannya itu. "Udah malam, pantaslah aku tidur!" balas Lemusa kesal. "Lagian kita lagi di mana? Terus, kenapa ada si Iva di belakang?"

"Banyak tanya!" jawab Nia. "Lebih bagus kau tidur!" nada bicaranya meninggi.

Lemusa sampai menggelengkan kepalanya mendengar jawaban tak sopan dari Nia.

"Ya udah, di mana minum. Aku haus nih!"

"Di situ," kata Nia sambil menunjuk botol air minum 2 liter. Ia menepikan dan menghentikan mobil ketika pemuda itu minum.

"Kenapa berhenti?" tanya Lemusa.

"Nanti ada polisi tidur, minummu terganggu. Proteeeesss lagi sama aku!" jawab Nia.

Setelah beberapa detik sadar, kepala Lemusa kembali pening, dan penglihatannya mulai buram. Sebelum Musa meminumnya, Nia sudah mencampurkan obat tidur yang bertahan hanya beberapa jam. Nia juga melakukan hal yang sama pada Iva, sahabatnya sendiri.

Sudah saatnya menjalankan misi, Nia membatin. Ia menjalankan mobil hingga sampai ke apartemen.

Terlebih dahulu, ia memasuki mobil seorang pria. Robin, namanya.

"Rob, semua udah siap kan?" tanya Nia.

"Tentu aja Bebe." Robin mencium pipi Nia dan tersenyum penuh arti pada kekasihnya itu.

"Ayo kita papah mereka berdua," kata Nia yang tidak ingin melanjutkan cumbuan Robin.

"Siap Beb!"

Robin dan Nia keluar dari mobil, mereka memapah Iva dan Lemusa sekaligus. Sesampainya di depan kamar Lemusa, Nia langsung mengeluarkan kartu kamar milik pria itu. Pintu berhasil terbuka, dan tampaklah keadaan kamar yang gelap dan dingin.

Nia menghidupkan lampu, dan langsung menidurkan Iva di ranjang. Begitupun Lemusa.

Robin dan Nia menarik hembuskan nafas karena lelah.

"Udah selesai kan?" tanya Robin memastikan.

"Belum. Kita harus perhatiin mereka. Takutnya rencana ini ga berhasil. Kan sayang, mana ada kesempatan datang dua kali. Mana ntar lagi aku bakal nikah sama dia! Iiiihhh…" jawab Nia menggebu-gebu.

Robin hanya mengikuti maunya Nia. Tapi setelah menunggu setengah jam, ia mulai kesal. "Kita hanya menonton pertunjukan orang tidur atau gimana ini?"

Tiba-tiba Nia tersenyum malu. sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia berkata, "Oh iya. Aku lupa masukin perangsangnya."

"Bilang lah dari tadi. Aku sampai ngantuk liatin mereka tidur."

"Sorry-sorry." Nia berjalan mendekati Iva. Ia membuka mulut tertutup gadis itu dan menuangkan air campuran pil perangsang ke dalam mulutnya.

"Cepat bantu aku," pinta Nia berbisik. Robin pun segera membantu Nia menjalankan misi.

Setelah semuanya beres, mereka kembali saling bertatapan. "Yakin ini bakal berhasil?" tanya Robin ragu.

"Tentu aja! Pilnya cukup kuat untuk bangkitkan gairah orang dewasa. Sensasinya luar biasa!" kata Nia menjelaskan.

"Udah pernah coba?"

Deg.

Nia terdiam lalu menggeleng, "Ayolah. Aku hanya pernah hb sama kamu, Beb. Bukan siapapun! Masih ingat darah perawanku?" Ia berusaha meyakinkan sang kekasih. "Ini demi pernikahan kita! Aku yakin keluarga bakal batalin perjodohan bodoh ini kalau liat semua yang dibuat mereka berdua."

Akhirnya Robin tersenyum yang membuat Nia lega, kekasihnya itu cepat percaya padanya.

"Yuk Beb, kita liat CCTV dari ruang kendali," ajak Nia.

"Di mana letaknya?"

"Di sebelah sana." Nia menunjuk sebuah dinding yang bahkan tidak ada pintunya.

"Memang ga mungkin kelihatan. Tapi di balik dindingnya ada ruangan. Ikuti aku aja," ajak Nia.

"Ya udah."

Keduanya pergi ke ruang pusat kendali tempat tinggal Lemusa. Nia tahu hampir seluruh isi tempat tinggal Lemusa ini karena Tebazile–Mamanya Lemusa sangat ingin Nia yang mengendalikan putranya yang kaku dan dingin itu.

Di tempat tidurnya Lemusa, Iva terbangun karena merasa tubuhnya panas, dan libidonya meningkat ntah karena apa. Menyadari hal itu, Iva turun dari ranjang, dan mencari saklar lampu.

"Hmmm…" Langkahnya gontai, sambil menggaruk perut. Matanya terpejam, karena belum sadar di mana dia berada.

"Mana lampunya? Mana mungkin berpindah," gumam Iva sambil terus meraba dinding.

"Ah, bodo amat. Aku mau keluar," gumam Iva sambil mencari pintu. Ia merasa aneh sebenarnya dengan ruang tidur tempatnya berada saat ini. Tapi alam bawah sadarnya berpikir, ini pasti imajinasi.

"Hm, ini pintunya." Iva tersenyum senang, dan berusaha memutar gagang pintu. Pintu yang dikunci membuatnya seketika sadar dan panik. "Lah, aku di mana?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!