4. Invitasi

Di dalam kamar VIP yang memiliki desain interior ala-ala era Versailes itu, Lucia berdiri dengan dagu terangkat angkuh. Tidak ada kegentaran di matanya. Sikapnya begitu berani, begitu percaya diri.

Kejenakaan yang melukis ekspresi tiga sekawan yang berada di ruangan yang sama dengannya memudar, surut ditelan oleh ketegangan, tidak, tepatnya ketidak-senangan. Sulit untuk tersenyum senang ketika objek hiburan mereka malah menantang mereka kembali. Menatap mereka rendah seperti mereka lah objek hiburan di ruangan itu.

Lucia Winter, gadis yang seharusnya mengganti posisi Niko sebagai pengawal sekaligus bahan bullyan mereka, sosok yang ingin mereka lucuti harga dirinya, remukkan mentalnya, nampak baik-baik saja. Penampakan itu mengiritasi mata.

Senyum Gregory River dan ekspresi mencemooh Aiden Forrest telah luntur, tergantikan oleh tatapan sinis. Mainan baru mereka menjadi tidak menyenangkan.

Percy Duncan tak jauh berbeda dari dua kroninya tersebut. Dia yang menantang Lucia untuk bersujud di kakinya, kini mengulum bibir dengan ekspresi tak puas tertoreh jelas di wajah rupawannya. Percy mungkin..., agak kecewa?

Yang Percy inginkan adalah sosok Lucia bersujud di kakinya dengan perasaan terpaksa. Ia ingin melihat gadis itu remuk di bawah kakinya, menelan pahit dunia dengan raut tak berdaya. Percy tidak mengharapkan gadis itu menerima tantangannya dengan suka-cita.

'Dia sangat jauh berbeda dari gadis waktu itu.' pikir Percy, dan Percy tidak menyukai fakta itu. Bahwa, Lucia telah berubah menjadi lebih kuat, lebih sulit retak.

"Haaaa..." Percy menelan kekecewaannya dan menunjukkan seringai jenaka.

Mendongak menatap manik aqua Lucia, Percy menemukan sepasang mata biru itu berbinar teduh tanpa ekspresi. Namun, Percy tau, keteduhan itu menyembunyikan kesombongan. Gadis itu pasti merasa seperti pemenang sekarang. Dia menang.

Menggemaskan, sangat menggemaskan.

"Berikan nomor rekeningmu," ujar Percy. "Aku akan membayarmu 50 juta dengan syarat kau akan bersujud 15 menit di bawah kakiku."

Lima belas menit, kah?

Lucia menanggapinya dengan kesanggupan. "Deal."

"Deal."

Setelah menyegel perjanjian mereka, Percy dengan entengnya mentransfer 50 juta ke rekening Lucia. Seakan-akan jumlah uang itu hanya debu di tabungannya. Setelah itu juga, Lucia bersujud di kaki Percy tanpa komplain. Kening menyatu dengan lantai marmer yang dingin.

Menepikan Lucia dari perhatian mereka karena gadis itu sudah 'tidak menarik', suara obrolan Percy dan kawanannya mulai bersahutan, membahas topik yang entah apa dengan suara penuh kejenakaan. Selama mereka bicara, waktu pun terus berjalan.

Ketika timer di ponsel Percy berdering menginterupsi obrolan mereka, mengingatkan bahwa 15 menit telah berlalu, Lucia akhirnya bisa mengangkat kepala.

Wajah gadis itu memerah. Dunianya seperti berputar ketika ia menegapkan tubuhnya. Belum beberapa detik Lucia berdiri, ia terhuyung dan terjerambab di lantai kembali, kehilangan tenaga dan gravitasi tubuhnya.

"Pfffttt, aku pikir dia bakal pingsan."

"Lucia, kalau kau pingsan, bayaranmu akan dipotong 15% loh. Apa kau bisa membuka matamu? Lihat, wajahnya merah sekali. Hahahaha."

"Apa kau mau bersujud 10 menit untuk 50 juta, Greg?"

"Bego, apa kau pikir aku miskin?"

Suara Aiden dan Greg samar-samar terdengar di telinga Lucia. Tidak begitu jelas karena dengung memenuhi kupingnya. Pelipisnya seperti dihantam oleh palu godam dan pandangannya pun berubah redup redam. Butuh beberapa waktu untuk Lucia menemukan keseimbangannya kembali, menemukan kontrol diri dari denyut yang menggerogoti kepalanya. Ia duduk di lantai sambil mencoba menemukan kendali pada setiap otot dan sendinya.

Saat itu juga, ketika Lucia berusaha mengatur fokusnya, Lucia menemukan sepasang emerald milik Percy berada sejajar di depan wajahnya. Menatapnya jenaka.

Tatapan mereka bersua dan di sepersekian detik yang sama, sebotol wine tumpah di kepala Lucia. Mengalir dari rambut menuju wajah dan pakaiannya. Aroma anggur yang pekat mengisi indera penciuman Lucia, menyadarkan ia sepenuhnya dari sakit kepala yang sejak tadi mendominasinya.

"Kau terlihat seperti mengigau, jadi aku menyegarkanmu sedikit." Percy berujar dengan sikap kasual. Seakan-akan dia menyiram Lucia dengan niat baik, bukan karena dia adalah bajingan. 

Lucia membalas tatapan Percy dengan ketakjuban. Ia mencoba memahami, apa gerangan isi kepala si pria tampan berhati iblis itu?

"Kau sepertinya sudah baikan," kata Percy lagi. Ia mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan 5 lembar uang bernominal 100 dollar dari sana dan menyelipkannya di saku kemeja Lucia. "Anggap saja ini kompensasi untuk laundry."

"..." Lucia tidak bisa menanggapi ucapan Percy saat itu. Lidahnya terpaku. 

Lucia begitu terkesima pada kegilaan di hadapannya untuk mampu bersuara.

...----------------...

"Kau harusnya tidak menahanku!"

"Mm..."

"Kalau aku tau sejak awal atasan kita adalah para bajingan itu, aku tidak akan mengajakmu berlayar bersamaku! Aku seharusnya menenggelamkan kapal ini! Mereka adalah sampah! Sampah! Sampah! Sampah!"

"Giana..., aku tau..."

"Hanya karena mereka mempunyai uang, mereka pikir bisa merendahkan kita seenaknya! Dia belum tau rasanya kelaparan! Tidak tau diri! Iblis! Aku harap mereka mati!"

"Gianaaa?" Lucia membuka mata dan menoleh ke arah sahabatnya yang omong-omong, sejak tadi malam, masih setia memaki Percy dan kawan-kawannya.

Sikap Giana tidak mengherankan, sebenarnya. Meskipun Giana selalu tampil cuek dan bosan, dia mempunyai jiwa keadilan yang cukup tinggi. Selain membenci tindakan Percy semalam, Giana pastinya juga merasa bersalah. Habisnya, dia yang mengajak Lucia untuk bekerja di SINNER.

Lucia, tentunya, tidak menyalahkan Giana sedikit pun. Lucia hanya berharap Giana berhenti mengomel barang sejenak saja.

"Aku baik-baik saja, oke? Kau tidak perlu mencemaskan apa pun."

"Hanya karena kau baik, bukan berarti tindakan mereka semalam itu baik. Kita sebagai manusia tercipta setara. Hanya karena mereka mempunyai uang, bukan berarti mereka bisa merendahkanmu...AAAAA--" Giana menahan teriakannya dengan menggigit bantalnya frustasi.

Lucia memperhatikannya dan tertawa.

"Kau benar-benar mirip aktivis," ejek Lucia. Dalam hatinya, Lucia merasa idealisme Giana tersebut adalah kelebihan dan juga kekurangan dari sahabatnya yang mirip gagak tersebut.

Idealisme hanya baik di atas kertas. Di realita, cara dunia bekerja sangat jauh berbeda. Keadilan yang Giana agung-agungkan bisa diruntuhkan oleh kekuasaan. Semakin berkuasa seseorang, semakin mudah ia membeli keadilan. Hal itu berlaku pada seorang Percy Duncan. Keadilan Lucia tidak bermakna apa-apa di matanya, karena dia yang berkuasa. Dia mampu melakukan apa saja.

'Aku harus melakukan sesuatu,' pikir Lucia. Ia kembali teringat pada 50 juta yang mendarat di rekeningnya semalam. Ia harus membagi uang itu kepada rentenir ayahnya sebelum bank melahap habis semuanya tanpa sisa.

"Lucia, kau yakin masih mau bekerja di sini?" pertanyaan Giana kembali menyapa telinga Lucia. Menarik sedikit perhatiannya.

"Aku tidak berniat berhenti. Bagaimana denganmu?"

"..."

"Giana, aku mengerti kejadian semalam agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku tidak masalah dengan peristiwa itu. Maksudku, aku dapat 500 dollar untuk laundry. Itu luar biasa. Juga..., bukankah kau bilang upah bekerja di sini sangat tinggi?"

"Aku tau..." Giana menghela napas berat. "Hanya, aku takut kehilangan moralitasku demi uang."

"Bagaimana mungkin kau kehilangan moralitasmu, uh, oh?" Lucia menarik pergelangan tangan Giana, menarik perhatian gadis itu agar terfokus pada ucapannya. "Kau tidak perlu memikirkan situasinya secara berlebihan. Dengar, apa yang terjadi di dalam ruangan itu, semuanya terjadi karena aku setuju." 

Tidak juga, Lucia tidak setuju disiram dengan wine. Namun, demi meredakan amukan Giana, ia mengaku berkompromi pada situasi itu.

"Kau tidak akan kehilangan moralmu, kau bekerja dengan baik saat berusaha membelaku." Lucia menambahi seraya tersenyum manis. "Lagipula, kau tau aku, kan? Kalau aku tidak setuju, aku akan melarikan diri dengan sekoci kapal ini dan berdayung menuju Boston kembali."

"Hahaha...," Giana tertawa membayangkan Lucia melarikan diri dengan sekoci kapal seorang diri.

"Aku akan baik-baik saja, Giana. Hanya saja kau perlu mengerti, tidak sepertimu, moralitasku cukup fleksibel. Ada kalanya, aku akan membiarkan diriku direndahkan demi uang, seperti semalam. Jadi, kau tidak perlu mencemaskanku."

"Lucy..., aku harap aku bisa membantumu."

"Pikirkan dirimu sendiri," tukas Lucia, sedikit arogan di suaranya. "Kau punya 5 adik yang perlu kau sekolahkan."

Ketika konversasi mereka mulai berkembang meninggalkan topik semalam, suara ketukan di pintu kabin mereka spontan saja menarik perhatian.

Semenjak tempat tidur Lucia lebih dekat dengan pintu, Lucia menjadi orang pertama meraih gagang pintu. Ia membuka pintu dan menemukan seorang pria paruh baya berdiri dengan pakaian super formal dan rapi di musim panas ini.

"Siapa?" sapa Lucia.

"Selamat pagi, Miss. Perkenalkan, aku Donovan. Aku datang untuk menyampaikan pesan atasanku kepada Miss. Lucia Winter?"

"Ya, itu aku sendiri."

Lucia memperhatikan Donovan dengan kening bertaut was-was. Sejak Donovan memanggilnya dengan nama lengkap, Lucia berfirasat kalau pria itu memiliki pengetahuan tentang masa lampaunya yang suram.

Sialan!

Apa ada lagi makhluk lain di kapal itu yang mengenalnya sebagai Lucia Winter?

"Miss. Winter," ujar Donovan. "Mr. Duncan mengundangmu untuk menyantap makan siang bersamanya di Ambrose, lantai tujuh."

Aaaaah...

Mendengar nama Percy disebutkan, Lucia agak bernapas lega. Setidaknya, ia mengenal pria itu. Tau kalau dia adalah bajingan.

"Aku tidak tertarik," tukas Lucia kemudian.

Memperoleh 50 juta dari Percy sudah cukup bagi Lucia. Ia tidak mau berurusan dengan pria gila itu untuk kedua kalinya. Lucia tidak yakin ia memiliki cukup kesabaran untuk bertemu dengan pria itu lagi.

"Tapi Mr. Duncan sangat tertarik, Miss."

"Lantas?"

"Jika aku jadi kau, aku tidak akan mau mengecewakannya."

Ah, jadi seperti itu. Sejak awal kedatangannya, Donovan tidak menaruh minat pada jawaban Lucia. Ia hanya tertarik untuk membuat bosnya mendapatkan apa yang dia inginkan.

Benar-benar bajingan.

"Apa kau yakin ingin menolaknya?" Donovan mengimplikasikan bahaya dalam ucapannya. Bahwa, akan ada risiko dari keputusan Lucia nantinya. 

Entah apa risiko itu, Lucia percaya dengan kegilaan seorang Percy Duncan, hal-hal buruk yang tak terduga dapat terjadi kedepannya. Hal yang tak terduga, terlebih bila itu membawa problema, adalah hal yang paling Lucia hindari.

Membaca ekspresi Lucia, Donovan tersenyum lega. "Kalau begitu, Miss. Winter. Sampai bertemu di Ambrose, jam 12.00 tepat. Mr. Duncan tidak mentolerir keterlambatan."

Keparat!

...----------------...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!