2. Percy Duncan

Percy Duncan adalah nama dari pemilik SINNER. Pria yang begitu Mr. Hayes segani. Pria yang akan berkunjung beberapa menit lagi ke SINNER bersama kawanannya. Pria yang dideskripsikan Mr. Hayes dengan keambiguan bahwa, sebenarnya Percy Duncan adalah pria baik tapi pergaulannya sangat buruk.

'Jika dia baik, dia tidak akan bergaul dengan orang-orang berkepribadian buruk.' pikir Lucia. Ia menelan asumsi itu dan menebarkan senyum palsu.

Sebenarnya, ditugaskan sebagai pelayan yang akan mendampingi Percy Duncan di ruang VIP membuat jantung Lucia berdegup penuh antisipasi dan ngeri. Lucia takut membuat kesalahan di depan atasan dari atasannya tersebut. Lucia takut belum apa-apa, dia akan dikirim kembali ke daratan karena sudah mengecewakan.

Tidak, mereka mungkin akan meninggalkannya di Canada karena sudah menjadi karyawan yang tidak berguna dan lanjut berlayar ke Eropa.

'Haaaah, kenapa aku sangat sial?' batin Lucia meratap risih.

Lucia percaya dia bisa bertahan di bawah pelecehan verbal. Tapi, bila sampai situasinya melibatkan fisik, Lucia tidak yakin ia akan keluar dari bilik VIP itu dalam keadaan baik-baik. Tidak, Lucia mungkin akan diborgol dan dipenjara bersama ayahnya.

"Tidak! Stop overthinking, Lucia! Demi Tuhan!" Lucia menampar pipinya sendiri.

Menjadi kriminal adalah hal terakhir yang Lucia inginkan.

"Kenapa ekspresimu menjadi sesuram itu?" Giana, muncul entah dari mana, menyodorkan sebotol air mineral ke pipi Lucia. "Apa kau sangat gugup harus melayani Mr. Duncan?"

"Mustahil aku tidak gugup, kan?"

"Yah, masuk akal. Pelayan lama yang sudah mengenal Mr. Duncan menyampaikan keprihatinan besar padamu. Aku dengar dari mereka kalau Mr. Duncan dan teman-temannya sangat kuat mengerjai karyawan di sini. Beberapa pelayan yang sempat melayani mereka kebanyakan mengundurkan diri dan mereka kerap bertengkar hebat di kamar VIP."

"Apa seburuk itu?"

"Kepribadian mereka sangat buruk, hanya Niko yang sanggup bertahan bersama mereka." Giana melirik ekspresi Lucia sekali lagi dan menggigit bibir, "Lucy, kau tau..., aku yang sudah mengajakmu bekerja di sini, kan?"

"Mhm?"

"Kalau kau tidak sanggup melayani mereka. Kau bebas mengundurkan diri. Aku akan mengundurkan diri bersamamu juga."

Alis Lucia terangkat sebelah. "Kenapa kau dramatis begitu?"

"Bukannya aku dramatis, bego. Aku bicara seperti ini karena aku peduli. Aku gak mau kau dibully. Kita bekerja di sini bukan sebagai budak, kita punya hak untuk diperlakukan dengan layak."

"Kau kedengaran seperti aktivis buruh sekarang."

Giana meninju lengan Lucia pelan. "Kau tau maksudku, kan? Kalau kau tidak sanggup..."

"Aku tau," potong Lucia. Ia memamerkan cengiran jenaka. "Aku tau kapan aku harus menyerah. Tenang saja."

"Baguslah kalau begitu."

Setelah bertukar obrolan singkat dengan Giana, Lucia pun beranjak menuju pintu masuk SINNER. Lucia menghampiri Mr. Hayes yang baru saja memanggilnya dengan isyarat telunjuk, mengisyaratkan bahwa Mr. Duncan dan kroninya telah tiba.

Pekerjaan Lucia di mulai dari sini.

...----------------...

Percy Duncan adalah pria jangkung yang memiliki surai hitam pekat yang begitu kontras dengan kulitnya yang pucat. Dia begitu tinggi, dan tubuhnya yang cukup kekar membuatnya hadir dengan aura yang sangat mendominasi. Sepasang manik emerald berteduh di bawah alis tebalnya, nampak tenang tak terbaca. Hidung mancungnya, dan bibir tipisnya yang melukiskan seringai jenaka begitu ia menyapa Mr. Hayes, membuat Lucia terpana.

Mempunyai wajah setampan itu seharusnya ilegal!

Melihat kedatangan Percy, Lucia merasa kerongkongannya kering dan kaku.

Bukankah rumornya pria itu adalah bajingan? Mengapa ia hadir dengan tampang yang begitu rupawan?

Yah, bukan berarti ada korelasi di antara ketampanan dan kepribadiannya. Akan tetapi, paras pria itu sangat tidak pas untuk dikategorikan sebagai 'pembully'. Dia terlihat sangat karismatik dan dominan, sangat..., sekali lagi, menawan.

"Andai saja aku tau kau akan berlayar bersama kami, aku akan menyambutmu lebih awal."

Selagi Mr. Hayes mengajak Percy bicara, Lucia mengamati kawan-kawan yang berada di sisi Percy. Dua orang pria dan satu wanita. Satu pria berambut ikal berwarna cokelat gelap, satu lagi memiliki rambut panjang berwarna oren terang (Lucia percaya warna itu tidak natural), dan si wanita memiliki rambut cokelat dengan potongan pendek di bawah telinga.

Mereka semua..., kelihatan seperti anak-anak konglomerat.

Konklusi itu muncul di benak Lucia begitu ia menyadari cara empat serangkai itu berpakaian dan bersikap. Brand yang melekat di tubuh mereka adalah brand ternama, datang dari designer langka. Oh, dan jangan lupakan arogansi yang menguar kentara di udara. Kepercayaan diri setinggi itu tidak mungkin ada, tidak terkecuali mereka mempunyai backing-an yang mendukung kesombongan itu.

"Jika aku ingin kau menyambutku, aku sudah pasti mengabarimu," suara baritone milik pria itu menarik atensi. Lucia menoleh kembali ke arah Percy dan terkesiap ketika sepasang emerald pria itu menyorot ke arahnya, nampak terpana.

"Ngomong-ngomong, di mana Niko? Karena kami sudah di sini, dia seharusnya menyambut kami, kan?" Gregory River, si pria bersurai cokelat gelap melayangkan tanya.

"Belum apa-apa kau sudah mencarinya..." Aiden Forrest, si rambut jingga mengimbuhi.

"Karena dia temanku, aku merindukannya."

"Mau main lempar bola lagi dengannya?"

"Ahahaha, bagaimana kalau menyuruhnya menari seperti waktu itu?"

Menyadari kalau kawan-kawan Percy mencari keberadaan Niko, Mr. Hayes menghela napas berat. Ia bergeser selangkah dari hadapan empat serangkai pembuat masalah itu untuk memberikan Lucia ruang untuk menunjukkan diri.

"Karena aku tidak mengantisipasi kedatangan kalian sama sekali, aku tidak membawa Niko kemari." Sejujurnya, alasan Mr. Hayes meninggalkan Niko di daratan adalah karena dia takut empat orang ini akan berkunjung ke bar utama SINNER.

Namun..., siapa yang menyangka situasi seperti ini malah terjadi?

"Sebagai ganti Niko, Lucia akan mendampingi kalian hari ini."

Diperhatikan oleh empat sekawan itu, Lucia membungkuk sopan dan kaku. Lucia berdoa dalam hati ia tidak akan membunuh siapa pun malam ini.

"Heeeeh???" Greg melangkah mendekat, ekspresi penuh minat. "Siapa ini? Cantik sekali!"

"Lucia," potong Mr. Hayes. "Silakan menuntun tamu kita ke ruang VIP yang sudah dipersiapkan."

Lucia mengangguk, ia melempar tatapan singkat pada Percy sebelum berbalik dan membiarkan empat serangkai itu mengikuti.

"Silakan mengikutiku," tutur Lucia.

"Dinginnya, aku hampir beku." suara-suara jenaka terdengar di belakang Lucia, tapi Lucia tetap memasang punggung acuh tak acuh di sana.

"Itu karena kau jelek, idiot. Orang miskin pun tidak tertarik dengan tampangmu."

"Mustahil..., kalau ada orang jelek di sini, itu sudah pasti kau. Rambut oren itu adalah fashion terjelek di Bumi, aku lebih baik mati daripada mempunyai rambut seperti itu."

"Haaaa? Orang yang tidak punya selera fashion tidak punya hak untuk bicara.."

"Selera fashion, pantatku. Percy..., sadarkan temanmu yang satu itu, dia terlalu delusional sampai mengira dirinya punya selera."

"Kalian terlalu berisik," suara wanita menegur dua pria yang sejak tadi bercekcok. Dia adalah Marcella Camden, satu-satunya wanita di lingkar pertemanan Percy. "Kalian membuat cowok-cowok tampan enggan menoleh ke arahku, sialan! Mereka pasti mengira aku bagian dari sirkus tolol ini!"

"Kalau kau gak mau menjadi bagian dari kami, jalan saja sendiri, jal4ng. Tidak ada yang mengajakmu kemari."

"Siapa yang kau panggil jal4ng, kepala jeruk?"

"Kau, mak lampir!"

Sementara kawan-kawannya menyemburkan bisa pada satu sama lain, Percy melangkah tenang sambil memperhatikan punggung Lucia. Seratus persen, Percy merasa begitu familiar pada gadis bersurai merah tersebut. Entah di mana, Percy merasa pernah melihat wanita itu di masa lalu, pernah menarik minat pada sepasang manik aqua-nya yang beku.

"Silakan masuk," ucapan Lucia menghentikan kericuhan yang berada di belakangnya. Lucia menoleh dan menatap empat sekawan tersebut (minus Percy), nyaris berjambak-jambak. Meski mereka terlihat lebih dewasa, entah bagaimana, Lucia merasa kalau usia mereka tidak sepadan dengan mental kekanakan yang mereka tunjukkan.

Itu agak..., memalukan?

Mendekati Lucia, Greg yang memiliki suara begitu jenaka, berujar. Sepasang iris hitamnya menyiratkan godaan. "Nah, Lucia..., namamu Lucia, bukan?"

"Y-ya?" Lucia merasa perubahan atmosfir di udara, jiwa penuh canda yang pria itu pamerkan seperti memudar di hadapannya, luntur dalam ekspresi bahaya.

"Mau melebarkan kakimu untukku?"

"..."

"Aku akan membayarmu lebih mahal kalau kau mau memanaskan ranjangku."

"Maaf, aku...," Lucia menarik selangkah mundur, menahan diri untuk tidak menampar pria itu dengan daun pintu.

"Aku tidak tertarik dengan pria." ujar Lucia, ia membalut ucapannya dengan dusta.

"Pffttttt..." si rambut oren tertawa. "Ahaha..., lihat, saking jeleknya tampangmu, dia rela menjadi gay daripada tidur denganmu."

Tidak, daripada buruk rupa, pria bersurai cokelat itu, Gregory, mempunyai kepribadian buruk. Jika saja dia baik hati, Lucia percaya akan banyak wanita mengejar tumitnya. Rela mengangkanginya.

"Lucia, Lucia..." si pria bersurai cokelat nampak tenang meski sudah ditolak dan dihina oleh kawannya. "Kau harusnya memilihku. Di ruangan ini, tidak ada pria yang lebih baik dariku. Bukan begitu, Percy?"

"Kurasa, kau memang lebih baik daripada aku, Greg." Percy menimpali sambil melabuhkan bokongnya di sofa tunggal yang seperti singgana raja. Ia menatap ke arah Lucia, mengamati gadis itu dengan keingintahuan yang sama.

Hingga kemudian, sesuatu seperti 'klik' di benaknya, mencerahkan

Benar..., bukankah gadis itu...,

"Lucia Winter?" Percy menggumamkan nama itu untuk dirinya sendiri, seperti memperoleh wahyu dari langit. Namun, kendati ia menggumamkan nama Lucia seperti bisikan, Lucia mendengarnya dengan sangat jelas. Sangat-sangat keras.

"Ahaaa.." Membaca ketegangan pada reaksi Lucia, Percy berdiri dan menghampiri gadis itu dengan ekspresi terpana.

"Lucia Winter..." ulang Percy, kali ini penuh keyakinan dalam suaranya. Lucia berdiri di hadapannya, mata membola dan tubuh membeku sampai ke tulangnya.

"Bagaimana bisa kau masih hidup?"

"???"

Percy menyentuh wajah Lucia seperti menyentuh benda terapuh di dunia. Ia bertanya-tanya, apakah ia berhalusinasi atau gadis ini adalah sosok Lucia Winter yang asli?

Hingga kemudian, ujung jemarinya menyentuh kulit Lucia, hangat tubuh gadis itu menyebar di ujung jarinya.

Menyadarkan ia, bahwa, gadis itu..., nyata.

"Kupikir kau sudah mati..." gumam Percy, sepasang manik emeraldnya berkilat penuh ekstasi.

...----------------...

Terpopuler

Comments

ein

ein

keren thor

2023-11-23

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!