5. Tanggung Jawab

Lucia menapak masuk di Ambrose tepat pada waktu yang dijanjikan, jam 12.00 siang. Ketika ia menapak di restoran yang berada di lantai 7 tersebut, Lucia disambut oleh dua orang pelayan yang kemudian menuntunnya menuju balkon. Di area yang teduh dan tentram, ditemani angin laut yang bertiup hangat, awan putih berarak di langit, dan pemandangan air laut yang berkilau seperti sapphire di kejauhan.

Di tempat yang begitu terpisah dari keramaian di dalam restoran, Lucia dipertemukan dengan Percy Duncan. Pria jangkung dengan surai hitam pekat itu duduk di sebuah bangku yang terlihat cukup kecil untuk tubuhnya. Di hadapan Percy, terdapat sebuah meja kayu yang berbentuk persegi, ia gunakan sebagai penyangga untuk asbak rokok, secangkir kopi dan berkas-berkas pekerjaannya.

Pria itu berpenampilan cukup kasual hari ini, berbeda dari penampilannya semalam yang terbilang cukup elegan. Mengenakan kemeja biru muda dengan tiga kancing yang terbuka, celana putih pendek yang mengekspos otot pahanya, dan sepasang sepatu kets putih. Dia terlihat seperti cowok turis biasa, andai saja Lucia tidak mengenal nama-nama brand yang melekat di pakaiannya.

"Miss. Winter." Menyapa Lucia adalah Donovan. Asisten Percy tersebut memamerkan senyuman lebar begitu melihat Lucia mendekat. Tidak seperti Donovan, Percy hanya memberikan lirikan singkat sebelum kembali menaruh atensinya pada berkas di meja.

Percy nampak begitu serius dalam menekuni pekerjaannya, Lucia jadi mempertanyakan maksud keberadaannya dipanggil ke sana. Apa Percy benar-benar mengundangnya kemari atau dia berhalusinasi tadi pagi?

'Haruskah aku kembali?' Lucia melirik jam di layar ponselnya yang menunjukkan pukul 12:35.

Setengah jam sudah berlalu, dan bukannya mengutarakan sesuatu, sepatah kata, atau menggubris keberadaannya, Percy malah asik mengobrol di telepon dengan rekan kerjanya. Membahas topik yang tidak Lucia pahami konteksnya.

'Sudah cukup!' pikir Lucia.

Dia sudah berdiri cukup lama seperti orang tolol di sana. Jika Percy hanya berniat membuang-buang waktunya, Lucia lebih baik minggat. Ada banyak hal yang lebih berguna untuk dilakukan daripada mendengar si bajingan tampan itu berkoar-koar.

Melempar isyarat pada Donovan kalau ia akan pergi, Lucia pun berbalik tanpa ada minat mengutarakan sepatah kata pun pada Percy. Lucia melenggang menuju pintu yang terhubung dengan restoran di dalam, tapi sebelum tangannya menggapai gagang pintu, pergelangan tangannya ditarik paksa oleh si bajingan tampan yang sejak tadi mengabaikannya. 

Percy Duncan, masih berbincang dengan lawan bicaranya di telepon, menarik Lucia kembali ke tempatnya semula. Tanpa memedulikan reaksi geram yang terlukis di paras Lucia pula, Percy memaksakan gadis itu untuk duduk di depannya. Tangannya masih setia menjadi gelang yang merantai Lucia di sana.

"Aku akan melanjutkan diskusi kita di lain waktu. Hewan peliharaanku mulai kesepian, aku harus memberikannya perhatian." Percy mengakhiri panggilan teleponnya dengan kelakar, tapi binar matanya yang menyorot ke arah Lucia sangat jauh dari jenaka. Lebih seperti dia..., kesal?

"Apa kau tau siapa lawan bicaraku barusan?" Percy akhirnya mengajak Lucia bicara, dan suaranya jauh dari kata ramah. Pria itu terdengar marah.

"Apa aku harus tau?"

Mendapat respon cuek Lucia, Percy menyeringai sinis. Lagi-lagi, ia dihadapkan dengan ekspresi angkuh Lucia. Gadis itu bersikap seperti dia begitu berharga, pusat gravitasi yang layak akan semua atensi.

"Aku baru saja berbincang dengan Michael Seymour, pria pemilik TS Space. Pria dengan net worth milyaran dan pengaruh yang sangat mendunia di industri teknologi era ini."

"Dan...?"

"Dan kau merasa kau lebih penting darinya, bukankah begitu?"

"Hah? Kapan aku begitu?" Lucia baru pertama kali mendengar nama Michael Seymour hari ini dan itu pun belum beberapa detik berlalu.

"Barusan, ketika bukannya bersabar dan menunggu, kau malah bersikap sok penting dengan memutuskan pergi."

Lucia terpana, mulutnya sampai terbuka.

"O...kay? Aku tidak tau siapa lawan bicaramu, dan tidak juga aku peduli berapa net worth-nya. Aku datang karena asistenmu mengatakan kau 'mengundang'-ku kemari, dan kuingatkan kembali, kau sibuk dengan teman milyaran net worth-mu dan mengabaikanku. Aku hanya tidak menemukan alasan kenapa aku harus menunggumu, jadi aku memutuskan pergi."

Demi Tuhan, pikir Lucia. Mengapa ia harus menjelaskan hal sesepele ini kepada Percy?

"Jika ada orang yang sok penting di sini, bukankah itu adalah kau?" Lucia membalikkan tudingan Percy kembali ke wajah pria itu. "Kenapa aku harus bersabar dan menunggumu? Siapa kau di hidupku, Mr. Duncan?"

"Kau harus bersikap lebih ramah dan tau kapan harus menundukkan pandanganmu, Miss. Winter. Kau seharusnya sadar diri dan tidak gegabah dalam beraksi. Sikap angkuhmu itu dapat menyeretmu ke dalam bahaya." Percy mengabaikan tanya Lucia dan malah memberikannya saran yang di telinga Lucia, terdengar seperti lelucon.

"Aku pikir aku sudah terseret ke sana sebelum aku melakukan aksi apa pun." Duduk berseberangan dengan Percy sudah mengindikasikan kalau Lucia sudah menapak di zona berbahaya.

Sebelum Percy menimpali ucapan Lucia, ia berdiri dan menarik pergelangan tangan Lucia untuk bergerak mengikutinya.

"Aku bisa berjalan sendiri!" keluh Lucia, ia mencoba melepaskan cengkraman Percy di tangannya, tapi genggaman pria itu sekokoh baja. Lucia mendapati dirinya melakukan pemberontakan yang sia-sia.

"Duduk!" Merupakan perintah Percy setelah menyeret Lucia menuju sebuah meja yang lebih besar di balkon itu. Jauh dari pagar besi dan angin laut yang bertiup deras menelan suara mereka. Di meja itu juga, beberapa menu makanan tergeletak dengan tampilan dan aroma yang menggiurkan.

Lucia yang belum menyantap makan siang, meneguk ludah kelaparan.

Tidak mau melewatkan makan siang mewah nan lezat itu, Lucia pun menurut perintah Percy dengan wajah agak cemberut. Jika bukan karena makanan, Lucia bersumpah tidak akan menuruti kemauan pria itu! Serius!

"Makanlah. Kau tidak akan mempunyai kesempatan menyantap makanan seperti ini di kelas kabinmu."

"Dan kau bilang aku yang arogan dan sok penting di sini?" Lucia melemparkan senyuman lebar yang menyembunyikan keki.

"Kau memang arogan, Miss. Winter. Orang lain rela menjilat sepatuku demi bisa mengisi posisimu sekarang."

"Bicara soal itu, kenapa kau memanggilku? Kau yang menempatkanku di posisi ini. Jujur saja, aku tidak mau berurusan denganmu lagi setelah tadi malam."

"Kenapa? Apa harga dirimu terluka setelah bersujud di kakiku?"

"Tidak juga. Hal semacam itu tidak akan melukaiku."

"Jadi apa yang melukaimu?" Percy menaruh sendoknya dan menatap Lucia dengan keseriusan, rautnya menyiratkan keingintahuan.

Lucia menjeda tanggapannya. Mungkin agak terpana pada pertanyaan Percy, otaknya seperti berhenti berfungsi. Apa yang melukainya? Mendengar tanya itu, Lucia mau tidak mau dibuat kebingungan juga. Apa yang melukainya? 

Selama ini..., Lucia tidak tau apa yang bisa melukainya.

Bukan berarti ia anti peluru dan kebal terhadap masalah, akan tetapi, Lucia sudah menghadapi terlalu banyak masalah ke tahap ia mati rasa. Luka yang menoreh jiwanya terlampau berlimpah, terlampau melelahkan. Air mata yang dulu mengalir dengan gampang, telah mengering dan menghilang. Jiwanya seperti membeku.

"Kenapa kau mau tau? Apa kau ingin melukaiku?" Lucia memutar topik itu kembali ke arah Percy.

"Kurasa..., itu akan menjadi tantangan yang menarik. Aku ingin melihatmu menangis seperti di hari persidangan ayahmu."

"Aah, itu sudah lama sekali. Apa aku menangis saat itu?"

Percy terkekeh. "Lima tahun tidak begitu lama. Aku saja masih ingat dengan jelas raut putus asa-mu waktu itu. Aku sampai berpikir kau kehilangan tekad untuk hidup."

"Pantas kau terkejut melihatku masih hidup."

"Kenapa kau masih hidup? Melihatmu saat itu, aku sangat yakin kau akan mati." Seakan-akan konversasi mereka adalah topik ringan yang membosankan, Lucia mengambil kesempatan untuk menguap sebelum memberikan jawaban.

"Mungkin karena aku gagal dalam prosesnya?" Lucia mengangkat pergelangan tangannya dan memamerkan jejak luka yang tertanam dalam di sana. 

Meski sebagian orang menganggap percobaan bunuh diri adalah aib yang perlu ditutupi, sebuah rahasia, Lucia tidak merasa enggan mengekspos lukanya kepada Percy. Tidak pula kepada orang lain. Bagi Lucia, luka itu adalah masa lalunya, bukan sesuatu yang perlu membuatnya merasa nista.

"Mengesampingkan aku, kau belum menjawab alasan mengapa kau memanggilku kemari, Mr. Duncan. Apa tujuanmu memanggilku kemari?"

Sepasang manik emerald Percy bergulir kembali ke arah Lucia, binar di matanya menyimpan arti yang tidak Lucia pahami. Sesuatu tentang cara pria itu memandangnya penuh misteri, mengintimidasi.

"Bagaimana kalau aku mengatakan, aku ingin pertanggung-jawaban darimu?"

"Hah?"

Pertanggung-jawaban dalam konteks apa?

"Miss. Lucia Winter," Percy mengetuk-ketukkan telunjuknya di atas meja, tatapan intens manik emeraldnya masih membuat Lucia sulit mencerna makanan di kerongkongannya.

Lucia merasa..., waspada.

"Kau sudah membuatku tertarik padamu. Karena itu, aku ingin kau bertanggung jawab."

...----------------...

Terpopuler

Comments

Eni Etiningsih

Eni Etiningsih

SOMBONG AMAT..!! bilang aja tertarik..Huuuff!!

2024-01-26

1

Yumei Thomas

Yumei Thomas

🥰🥰🥰🥰

2023-11-16

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!