Sejujurnya, Lucia tidak pernah berniat menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Lucia Winter. Hanya saja, karena kebencian dan rasa malu yang memenuhi dadanya, setiap kali orang menanyakan namanya, ia berhenti sampai sebatas Lucia.
Hanya Lucia.
Nama belakang Winter yang dulu Lucia dekap dengan bangga, berubah menjadi kutukan baginya. Lucia perlahan-lahan, menghapus nama itu dari identitasnya. Hanya bila nama itu diperlukan, barulah ia menyebutkan identitas hina itu dengan lantang.
Bahwa, ia adalah seorang Lucia Winter. Puteri dari Philip Winter, pria yang sempat menjadi sorotan media karena kasus korupsinya. Pria yang kini di penjara, dan meninggalkan Lucia dengan hutang ratusan juta. Hutang yang diperhitungan Lucia, tidak akan pernah lunas terkecuali ada keajaiban dunia.
Mengesampingkan kreditur bank dan rentenir yang selalu menagih bayaran padanya tiap bulan, Lucia tidak menyangka akan ada orang lain yang masih mengingatnya. Terlebih ketika orang itu adalah Percy Duncan, pria yang omong-omong, baru pertama kali Lucia jumpai. Pria yang tidak pernah sekalipun melintas di hidupnya, tapi mengenalnya.
"Kupikir kau sudah mati..." gumaman Percy menyapa telinga Lucia, sedikit membingungkannya. Kenapa Percy berasumsi seperti itu?
"Apa ada alasan mengapa kau berpikir aku sudah mati?" Lucia menimpali dengan pertanyaan. Tak hanya ia merasa risih pada ucapan Percy, Lucia pun menepis turun sentuhan pria itu di pipinya.
Demi Tuhan, jangan bilang kalau ayahnya juga berhutang pada pria ini!
"Bukankah kehilangan segalanya cukup untuk membuatmu mau mati?"
"..."
"Princess yang tumbuh dengan kemewahan dan kekayaan, anak emas yang paling disayang..., kau adalah permata di keluarga Winter, kau terlahir dengan memiliki segalanya. Idealnya, ketika semuanya sudah dirampas habis darimu, anak manja sepertimu akan berakhir depresi dan bunuh diri."
"Apa kau akan bunuh diri kalau kau tidak memiliki apa-apa?"
"Haaa..." Percy terkekeh, ia memperhatikan wajah Lucia dan kembali mengingat hari pertama dan hari terakhir ia menjumpai gadis itu.
Hari itu adalah hari terakhir persidangan kasus korupsi Philip Winter. Percy hadir bersama saudaranya hanya untuk menonton kasus yang saat itu sedang naik daun. Sambil memainkan rubik kotak di telapak tangannya, ia memperhatikan ketika putusan juri diumumkan di dalam ruangan.
Lucia yang saat itu masih berusia 17 tahun, menangis putus asa melihat ayahnya diseret meninggalkan aula. Tangisnya pecah, wajah memerah. Lucia tak berdaya, segala kemewahan yang melekat di tubuhnya kehilangan makna. Philip Winter adalah pendosa dan Lucia tidak bisa melakukan apa-apa selain melihat sosok yang paling ia banggakan, kini disorak dengan cemoohan.
Lucia yang menangis begitu menawan. Percy tidak bisa memalingkan pandangan. Percy terpukau pada pemandangan yang tersaji di hadapannya. Pada raut duka Lucia yang bergelinang air mata.
Bagaimana bisa penderitaan terlihat begitu jelita di wajah Lucia? Percy sempat mengira kalau dirinya gila. Bagaimana bisa senyumnya melebar begitu ia melihat hidup Lucia hancur lebur?
"Hei, Claude, apa aku bisa menghancurkan seseorang sampai seperti itu?" Percy ingat pernah bertanya pada saudara sulungnya.
"Untuk menghancurkan sesuatu, kau harus memastikan benda itu berada di dalam genggamanmu terlebih dahulu." Claude menimpali tanpa tertarik.
"Bagaimana dengannya?"
"Kau tidak bisa menghancurkan seseorang yang sudah remuk, Percy. Gadis itu sudah tidak punya masa depan lagi."
"Apa menurutmu dia akan mati?"
"Apa menurutmu dia punya alasan untuk hidup?"
Claude beranjak dari tempat duduknya dan menepuk pundak Percy ringan, "Jangan ungkit topik ini di depan Ibu, nanti. Aku tidak mau diceramahi."
"Oh, aku seratus persen akan mengungkitnya."
"Kau sangat senang membuat Ibu menangis, ya."
Percy menimpali ucapan Claude dengan cengiran lebar. "Bukankah itu menyenangkan?"
Kembali pada masa sekarang, pada Lucia yang kini lebih dewasa, jauh berbeda dari gadis yang ia jumpai lima tahun lalu. Percy mengulum senyum usai mendengar pertanyaan yang Lucia lontarkan.
"Aku tidak akan bunuh diri," jawab Percy akhirnya.
"Kalau begitu, kau tidak seharusnya berasumsi aku akan mati setelah apa yang terjadi."
Saat itu pula, jauh di benaknya, Lucia berusaha mengingat-ingat siapa gerangan Percy Duncan? Kebanyakan orang hanya mengingat si pendosa Philip Winter. Tidak ada yang mengingat Lucia, tidak terkecuali mereka adalah rentenir dan kreditur.
"Apa kalian saling mengenal, Percy?" Setelah dari tadi menyaksikan tanpa melibatkan diri, Marcella akhirnya bersuara. Ia bersandar di bahu sofa sambil memperhatikan interaksi Percy dan Lucia.
Di saat bersamaan, Gregory River yang sejak tadi tiada henti mengusili Lucia, si pria tampan dengan surai cokelat gelap, menjentikkan jari. "Kau bilang namanya Lucia Winter? Aku ingat seseorang bernama belakang yang sama...,"
"Siapa?" sahut Aiden Forrest, nampaknya agak penasaran.
Sebelum Greg memberikan jawaban, Percy menoleh ke arah Aiden dan memberikan tanggapan. "Philip Winter," kata Percy. Ia berbalik menuju sofa dan kembali melabuhkan bokongnya di sana.
"Greg pasti ingat. Ayahnya adalah jaksa yang mengurus kasus itu."
"Aaaaahhh, si koruptor itu?" Aiden dengan cepat mengingat. "Aku berada di Polandia saat situasi itu terjadi."
Melihat empat serangkai itu mendiskusikan masa lalunya seperti kisah itu adalah hal sepele yang tak bermakna, Lucia mengerutkan keningnya. Ia bingung luar biasa. Terlebih lagi, si pria bersurai cokelat itu..., Gregory River adalah anak dari jaksa yang menangani kasus ayahnya? Anak dari Thomas River?
"Ohooo..." Greg mengembangkan seulas senyum ceria, ia menghampiri Lucia dan merangkul gadis itu mendekat ke arah kawanan mereka. "Bukankah ini kebetulan yang luar biasa?"
Greg mengedipkan sebelah matanya pada Lucia. "Kau dan aku di ruangan yang sama..., kita seperti..., ditakdirkan bersama, bukan?"
Lucia mau muntah.
Mengapa Greg sangat bertolak belakang dari ayahnya? Seingat Lucia, Thomas River adalah pria yang sangat tegas dan penuh karisma. Mengapa anaknya malah sangat flamboyan dan centil?
"Bagaimana kabar ayahmu? Apa dia masih seperti dulu? Kau tau..., seperti pecundang?"
"..."
Greg lalu melempar perhatiannya pada Aiden.
"Asal kau tau, saat kasus itu masih dalam penyelidikan awal, Ayah anak ini memohon-mohon di kaki ayahku. Dia sampai menawarkan uang tutup mulut. Hahahaha. Uang tutup mulut untuk keluargaku! Serius saja?! Haaaah~ Apa dia pikir keluarga River sangat miskin? Aku agak tersinggung."
Greg mencebik cemberut.
Aiden dan Greg kemudian asik bercerita, bernostalgia mengenai kasus Philip Winter dan bagaimana keluarga River terlibat dalam meringkus tikus berdasi tersebut. Meski cerita mereka berbaur dengan cemoohan, Lucia menahan ekspresinya tetap tenang. Dia sudah puas mendengar caci-maki yang dilontarkan orang-orang pada keluarganya di masa lalu, mendengarnya sekali lagi tidak akan membuatnya kehilangan kontrol diri.
Lucia percaya dia bisa bertahan sampai manik emerald Percy kembali menghujam ke arahnya, meliriknya.
Kenapa? Tanya itu menyeruak di benak Lucia, penasaran pada makna tatapan pria itu yang menyorotnya ambigu.
Percy lalu melibatkan diri dalam obrolan teman-temannya. "Mendengar cerita Greg, sepertinya Philip Winter adalah pria yang gampang bersujud di kaki orang lain."
"Kalau sudah putus asa, harga diri tidak ada gunanya." Aiden menyahut dengan nada jenaka.
"Mhm..., karena itu, aku jadi penasaran. Bagaimana denganmu, Miss. Winter?"
Apa maksudnya?
Ada apa denganku?"
Percy menyilangkan kaki, duduk dengan gaya yang penuh arogansi. "Apa kau sanggup bersujud di kakiku?"
"Hah?" Gila, ya?
"Aku tidak punya alasan--"
"Kau punya banyak alasan," Greg memotong ucapan Lucia. sepasang iris hitamnya berbinar jenaka. "Lagipula, Percy adalah putera pemilik ICARUS Group. Kau tau, kan, perusahaan tempat ayahmu mencuri habis-habisan. Berkat ayahmu, perusahaan mereka menghadapi kerugian besar. Sampai sekarang, masih banyak proyek yang belum terselesaikan."
"Haaa..." Lucia menghela napas panjang-panjang. Betapa konyol, pikirnya.
"Aku mengerti ayahku sudah menciptakan masalah besar, tapi..., mengaitkan situasi itu padaku agak..."
Lucia lalu menjelaskan. "Aku sudah menanggung segala hutang ayahku, termasuk hutang kerugian yang dia berikan kepada ICARUS Group. Meskipun aku belum melunasi semuanya, aku membayar tagihan itu tiap bulan dengan tepat waktu. Aku tidak di posisi untuk harus bersujud di kaki siapa pun."
Juga, untuk apa dia bersujud? Memohon ampun agar hutangnya dihapus? Mustahil terjadi!
"Bayaran recehmu perbulan tidak cukup untuk mengganti rugi apa pun," timpal Percy kembali.
Memang, ucapan Percy masuk akal. Kerugian yang mereka terima begitu besar. Terlalu besar untuk Lucia mampu tutupi dengan upahnya yang tidak seberapa. Tapi, regulasi yang meminta Lucia untuk tetap membayar rugi, entah seberapa receh pun itu tidak berubah. Lucia hanya menjalankan kewajibannya.
"Bersujud di kakimu pun tidak mengganti rugi apa pun. Jadi, poinmu?"
"Hmmm, dia pemberani..." Aiden memprovokasi dari samping.
"Bagaimana kalau kubilang bersujud di kakiku akan memberikanmu sedikit keuntungan?"
Lucia memicingkan mata, skeptis pada ucapan Percy yang menyiratkan bahaya.
"Sebagai hiburanku, kalau kau bersujud di kakiku, aku akan memberikanmu 50 juta." Percy menantang Lucia, menantang gadis itu untuk menanggalkan harga dirinya.
Percy percaya, gadis yang terlahir dalam sangkar emas seperti Lucia akan memiliki arogansi setinggi dewa, dia tidak akan segampang itu menundukkan kepalanya. Bahkan setelah ia kehilangan segalanya, gadis itu masih berani menentangnya, masih berani bersikap tinggi ketika ia tidak memiliki apa pun sebagai pijakannya.
Percy tertarik ingin melihat Lucia putus asa.
"Ugh, ini memuakkan. Aku akan keluar duluan." Tidak mau menjadi saksi kegilaan teman-temannya, Marcella menarik diri keluar dari sana. Ia mencari aman dengan menutup mata pada apa pun yang terjadi di dalam ruangan penuh bajingan tersebut.
Setelah Marcella pergi, Lucia menaruh atensinya kembali pada Percy. "Apa kau serius?"
Pertanyaan Lucia membuat perubahan tak kasat mata mengatmosfer di udara. Suasana menjadi lebih suram, mencekam.
"50 juta, apa kau serius?" Lucia kembali bertanya.
Percy mengulum bibirnya, jari mengepal di atas pangkuannya. "Aku bukan pria humoris." tutur Percy.
"Kalau begitu, buktikan." Lucia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menyerahkan nomor rekeningnya. "Transfer 50 juta ke rekeningku sekarang dan aku akan bersujud di kakimu seberapa lama pun yang kau mau."
50 juta tidaklah cukup untuk melunasi hutangnya yang berjumlah ratusan juta, tapi uang sebanyak itu masih cukup untuk mengurangi sebagiannya. Bahkan bila uang itu hanya mampu mengurangi 1 persen beban hutangnya, Lucia rela menaruh keningnya di lantai marmer yang berkilau mahal tersebut.
"Apa kau akan bersujud?" Percy bertanya dengan kening terangkat sebelah, sedikit..., marah?
"Kalau kau membayar 50 juta, aku akan bersujud." Lucia menantang Percy kembali, seringai merekah tipis, sinis. Ia kemudian menapak lebih dekat ke arah Percy yang masih menatapnya dengan misteri yang memancing iritasi.
Lucia menyama-ratakan tinggi mereka dan memamerkan cengiran palsu yang jenaka.
"Jadi, Mr. Duncan, apa kau akan memegang ucapanmu atau kau hanya menggertakku?"
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments