Bab 05

Seluruh tulang persendian perempuan itu luluh lantak, setelah mendengar perkataan dari lelaki tersebut. Bibirnya mengatup rapat, lidahnya kelu, beberapa saat tak dapat mengucap apa pun. Ibarat tersambar petir di siang hari tanpa hujan, tak punya antisipasi, pertahanannya pun roboh, ia tumbang dengan segala kenyataan yang menceloskan hatinya.

Maya masih bergeming dengan tangan yang bergetar, ia tak menyangka akan mendapatkan sebuah kejutan yang tak pernah ia pikiran sebelumnya. entah apa yang harus Maya lakukan saat ini, ia sendiri pun kebingungan, bahkan pikirannya seakan tak mampu lagi berpikir dengan jernih.

Dada Maya terasa sesak seperti terhimpit batuan besar kala melihat betapa bahagianya mereka, apalagi kala melihat lelaki yang ada di hadapannya sedang menyuapi seorang anak perempuan. Maya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Faaz jika mengetahui tentang hal ini.

Ingin rasanya Maya langsung menghampiri mereka, melabrak mereka dan mencaci perbuatan mereka tapi akal sehat Maya mencegahnya, ia harus memikirkan perasaan putranya jika mengamuk di tempat umum.

"Bun,kok Ayamnya enggak di makan ?" tanya Faaz kala melihat ayam goreng yang di piring bundanya masih utuh bersama nasinya yang sudah di makan sedikit.

"Kalau bunda sudah kenyang, boleh enggak kalau buat Faaz saja. Kata bunda juga jangan buang - buang makanan, mubadzir" lanjut Faaz.

"Kamu makan saja" ujar Maya dengan lirih, suaranya tertahan di tenggorokan. ia langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangannya karena sudah tak sanggup menahan air matanya. Walaupun Maya berusaha kuat tetap saja air Matanya lolos begitu saja.

Faaz yang begitu asik menikmati makananya sehingga anak itu tak menyadari apa yang sedang terjadi pada bundanya.

Maya menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tanganya, ia masih belum sepenuhnya percaya pada fakta yang baru saja terungkap. Ia kembali menatap lelaki tersebut dan kini Maya yakin jika lelaki tersebut adalah Wahyu, suaminya.

'Ya Allah sakit sekali. Apa salah ku ? Kenapa dia tega melakukan hal seperti ini ?' batin Maya terus saja bertanya - tanya.

"Faaz segera habiskan makanan nya, setelah ini kita harus pergi" ujar Maya pada sang buah hati. Ia segera menghapus air matanya agar Faaz tak curiga jika ia habis menangis.

Maya menghembuskan napasnya kasar. Ia telah memutuskan untuk kembali ke Jakarta hari ini juga. Maya kini sudah tahu alasan kenapa sang suami tidak pernah pulang, ya karena ia memiliki keluarga baru di kota ini.

"Sudah habis bun, Ayo sekarang saatnya bertemu Ayah" ujar Faaz yang kembali bersemangat.

Perkataan Faaz bagai belati yang menghunus tepat di hatinya. Sakit, sesak dan perih, Maya memilih bungkam agar air matanya tak kembali keluar, bahkan Maya pun mencoba memalingkan wajahnya.

Maya keluar dari kedai tersebut, namun ia masih kebingungan untuk menjelaskan pada putranya tentang alasan kenapa mereka harus kembali ke jakarta, pasalnya Faaz belum bertemu dengan Ayahnya.

"Bun, aku mau minuman boba itu, boleh enggak ?" Tanya Faaz seraya menunjuk pada salah satu pedagang yang berada di sebrang jalan.

"Ya sudah ayo kita beli" jawab Maya tanpa berpikir panjang, berharap ia segera menemukan alasan untuk kembali ke jakarta.

Tangan kanan Maya menggandengan Faaz sementara tangan kirinya menyeret sebuah koper, jika di lihat - lihat Maya seperti orang yang terlunta - lunta di jalanan tanpa tujuan yang pasti.

"Bunda mau enggak ?" Tanya Faaz ketika mereka sudah sampai di pedagang sebuah minuman boba.

Maya menggelengkan kepalanya, sejak kejadian tadi Maya benar - bener kehilangan selera makan dan minum.

"Berarti beli satu saja ya bun ?" Tanya Faaz lagi dan Maya kembali menganggukan kepalanya.

Pemandangan tadi terus saja berputra di kepala Maya bak kaset radio yang sudah rusak. Maya tidak menyangka jika nasib rumah tangganya akan seperti ini. Selama pernikahan Maya selalu setia dan tak pernah menuntut apa pun, Maya selalu bersyukur atas apa yang di berikan sang suami walaupun terkadang masih kurang.

Maya merasa sangat bodoh karena ia sudah sangat percaya dengan sang suami, bahkan ketika suaminya jarang sekali memberi kabar pun Maya masih saja berpikir positif, di saat sang suami tak pulang selama empat tahun pun Maya tak pernah menaruh rasa curiga sedikit pun ada sang suami. Sebegitu percaya nya Maya pada Wahyu sehingga ia tak pernah mempunyai rasa curiga sedikit pun.

"Bun, itu Ayah bun !" Seru Faaz membuat Maya tersentak.

"Ayah. . Ayah . . Ayah !" Teriak Faaz, bahkan Faaz sampai melambaikan tangannya berharap Ayahnya itu mendengar dan melihat ke arahnya.

Tubuh Maya seketika menegang kala mengikuti arah telunjuk putranya, di sebrang jalan Wahyu sedang berjalan dengan seorang perempuan dan juga seorang anak perempuan.

"Ayahh . . Ayahhh" teriak Faaz dengan sangat kencang, tangannya pun terus melambai - lambai.

Namun orang yang di panggil Ayah oleh Faaz itu seolah tak peduli dengan teriakan tersebut, ia masih asik berjalan seraya bergandengan putrinya bahkan sesekali mereka tertawa dengan bahagia.

"Aku sangat yakin jika itu adalah Ayah, Walaupun sudah tidak bertemu selama empat tahun tapi aku masih ingat seperti apa Ayah ku. Siapa anak kecil yang bersama Ayah itu, kenapa mereka dekat sekali bahkan sekarang anak kecil itu di gendong oleh Ayah, padahal Faaz yang sebagai anak Ayah tak pernah di gendong seperti itu" terlihat gurat kekecewaan di wajah Faaz membuat hati Maya semakin sakit.

"Apa ini alasan kenapa Ayah enggak pernah pulang ? Ayah punya anak lain dan lebih sayang sama anak itu di banding Faaz" lanjut Faaz, kini suara isak tangis terdengar dari bibir Faaz, anak lelaki tersebut merasakan sakit yang luar biasa dan juga sebuah kekecewaan terhadap Ayahnya.

Maya menarik tubuh putranya dalam pelukkannya, Satu yang saat Maya pikirkan adalah mental anaknya.

"Kita pulang ke Jakarta ya" ujar Maya. Namun tak ada jawaban apa pun dari Faaz, anak lelaki itu masih terisak dengan suara yang sangat pilu.

"Apa Faaz mau bertemu sama Ayah ? kita ke rumah Ayah yah ?" Bujuk Maya, ia tak tega melihat anaknya menangis tersedu - sedu hanya karena kecewa dengan Ayahnya.

Tangisan Faaz pun seketika menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang, akhirnya Maya mengajak Faaz untuk menepi sebentar agar tak menghalangi orang berjalan.

"Bun Ayah jahat ! Ayah enggak sayang lagi sama Faaz" ujar Faaz seraya terisak.

Hati Maya semakin sakit, ia tak tega jika putranya merasakan kekecewaan yang seperti dirinya rasakan.

"Bagaimana kalau tadi itu bukan Ayah ? Faaz tahu kan di dunia ini kita punya kembaran sampai tujuh loh" ujar Maya, walaupun ia kecewa pada suaminya namun ia berusaha menjaga nama baik sang suami di hadapan putranya.

"Bun, Walaupun aku sudah lama tidak bertemu dengan Ayah tapi aku sangat yakin jika tadi itu adalah Ayah !" ujar Faaz dengan tegas. Maya paham jika anaknya sudah mulai beranjak remaja sehingga tak mudah untuk di bohongi.

"Begini saja deh, sekarang Faaz mau nya apa ? Faaz mau ketemu Ayah, kita tanyakan langsung apakah yang tadi itu Ayah apa bukan ?".

Anak lelaki itu bergeming, senyum kebahagiaan sang Ayah saat bersama dengan seorang anak perempuan itu terus saja menari - nari di kepala Faaz seolah mereka sedang mengejek Faaz yang kini sedang di landa sebuah kesedihan dan juga kekecewaan.

"Kita pulang ke jakarta saja bun. Sepertinya Ayah memang tidak membutuhkan kehadiran kita, buktinya Ayah tidak pernah pulang dan malah punya keluarga baru. Bukan kah kita sudah bahagia hidup berdua ? Kan selama ini kita hanya berdua saja. Kita tidak butuh Ayah lagi dalam hidup kita" ujar Faaz dengan tegas membuat Maya mendongak menatap lekat ke arah putranya.

Sungguh Maya tidak menyangka jika anaknya akan berbicara seperti itu, Semua ini di luar dugaannya. Maya bisa melihat sorot mata Faaz yang begitu terluka dan kecewa.

"Kamu ini bicara apa si nak. Bunda tidak pernah mengajarkan mu seperti itu loh" Walaupun suaminya sudah menorehkan luka yang cukup dalam namun Maya tak ingin jika nama suaminya jelek di mata sang anak. Karena baik buruknya sang suami, dia tetap Ayah dari putranya.

"Ayo bun, kita pergi saja. Aku sudah tak ingin melihat Ayah lagi. Aku sangat benci sama Ayah !!" Seru Faaz dengan tegas.

Di usia Faaz saat ini, sedikit banyaknya ia paham apa yang terjadi antara Bunda dan Ayahnya, bahkan ada beberapa teman Faaz di sekolah yang memiliki nasib jika kedua orang tua mereka berpisah. Faaz begitu kecewa dengan sang Ayah, sosok lelaki yang selalu ia banggakan di hadapan teman - temannya kini tega menggoreskan luka, padahal selama ini ia sudah berusaha untuk jadi anak yang baik, soleh dan juga pintar namun ternyata itu tidak cukup untuk sang Ayah, sehingga sang Ayah tega memiliki anak lain selain dirinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!