"Apa yang mendorong bu Mina menembak pak Jonie hingga empat kali? Itu sangat kejam Bu," tanya penyidik menatap Mina yang duduk dengan raut sendu dihadapannya.
Mina terdiam sejenak, mengambil nafas berat yang menghimpit dalam dadanya sebelum memberi jawaban atas pertanyaan pak polisi. Sementara Yani dan Ludfie, sang ketua RT duduk dengan tenang ikut mendengarkan, karena keduanya diminta oleh Mina untuk menemaninya selama pemeriksaan itu berlangsung, tanpa diperkenankan berkata apapun.
"Pistol yang saya gunakan menembak mas Jonie, adalah pistol miliknya, yang sering ia todongkan pada saya Pak."
"Ibu tahu, dari mana mendiang pak Jonie mendapatkan pistol itu?"
Mina menggeleng. "Saya tidak tau Pak." sahut Mina pelan.
"Subuh itu, setelah Shera saya suruh pergi dari rumah, mas Jonie murka. Dia memukul, menendang, dan membenturkan kepala saya kedinding hingga beberapa kali, lalu menyeret saya menuju dapur. Disana, saya melihatnya meraih pisau dapur."
"Saya mengambil sapu, dan sekuat tenaga memukulkan gagang sapu ke tangan mas Jonie hingga pisau dapur itu terlepas dari tangannya. Melihat mas Jonie kesakitan mèmegangi tangannya, dengan segenap tanaga yang tersisa, saya buru-buru berlari kedalam kamar, dimana Tio dan Noya masih tertidur."
"Saya ketakutan, saat mas Jonie menggedor-gedor pintu kamar kami. Saya tiba-tiba teringat pistol yang sering ia gunakan untuk mengancam saya bila tidak melakukan apa yang ia inginkan."
"Tanpa pikir panjang, setelah menemukan pistol itu, saya langsung memegang pelatuknya dan mengarahkan kepintu. Karena, bila bukan saya yang mati, mas Jonie-lah yang harus mati."
Sambil mendengarkan keterangan Mina, polisi itu terus mengetikan apa yang ia dengar. Bisingnya suara mesin ketik merek 'brother' itu tidak membuat Mina kehilangan konsentrasinya dalam memberi keterangan.
"Lalu, kenapa ibu Mina begitu tega, sampai-sampai membantu suami mengikat putri kandung Ibu yang bernama Shera, anak dari mendiang suami pertama ibu?"
Mina kembali mengambil napas dalam, berasa berat dan begitu sesak.
"Itulah kesalahan terbesar saya Pak polisi. Tapi saya benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, saya terpaksa," Mina menangis penuh penyesalan.
"Malam itu, itu kali kedua mas Jonie meniduri Shera setelah beberapa minggu lalu." ungkap Mina masih menangis.
"Mas Jonie menenggelamkan Noya, putri saya yang berumur 3 tahun kedalam bak kamar mandi kami. Sebelumnya ia menenggelamkan Tio kedalam gentong yang ada didapur, karena Tio terus berontak akhirnya gentongnya rebah hingga airnya membanjiri dapur."
"Saya tidak tega melihat anak-anak balita saya yang tidak berdaya diperlakukan ayahnya serupa itu, jadi saya terpaksa--,walau harus mengorbankan putri sulung saya yang baru berumur 14 tahun itu," Mina terus menangis sepanjang menerangkan kejadian yang sangat menyakitkan itu.
"Apa ada penyesalan dihati ibu Mina setelah menembak mendiang pak Jonie hingga membuat suami ibu Mina itu meninggal dunia?" tanya pak polisi itu lagi.
"Tidak! Saya tidak menyesal! Saya justeru menyesal, kenapa saya tidak menembaknya dari dulu, sebelum ia merenggut kegadisan putri saya!" lantang Mina dengan wajah berapi-api.
...🍓🍓🍓...
"Saya tidak tahu, kalau bibi adalah tetangga Shera," Fhilip mendudukan dirinya di kursi tamu berbahan kayu rotan, begitu dirinya dan pak Jonggon dipersilahkan masuk. Memang sudah 4 hari ini Yani tidak masuk berkerja di rumah orang tua Fhilip, dengan alasan keperluan keluarga.
Memang tidak banyak yang tahu kasus yang menimpa Shera, karena hanya dimuat di koran-koran lokal, dan hanya menggunakan inisial huruf nama depan dan tanpa foto, mengingat ini kasus pembunuhan, dan pemerkaosan anak dibawah umur, supaya tidak membuat anak yang menjadi korban merasa malu.
"Maaf tuan muda, saya tidak berterus terang, walau saya tahu tuan muda satu sekolah bahkan satu kelas dengan nak Shera, nak Shera yang melarangnya, dia malu," terang Yani, sembari mempersilahkan anak sang majikan dan sopirnya minum.
"Dua hari yang lalu saya hendak kemari, setelah mendengar semua yang terjadi pada Shera, tapi pak ketua RT mengatakan kalau Bibi sedang ke rumah sakit, menemani Shera visum," Fhilip menatap asisten rumah tangga keluarganya itu.
"Iya tuan muda, itu benar. Pihak kepolisian yang menangani kasus ini memintanya. Dan tadi pagi, saya dan pak ketua RT membawa anak-anak ibu Mina ke dinas sosial, karena tidak ada satupun pihak keluarga yang mau menampung anak-anak dari ibu Mina selama dirinya dipenjara dengan alasan ekonomi."
"Termasuk Shera?" tanya Fhilip memastikan.
"Anak itu tidak mau, dia lebih memilih ikut dengan saya. Katanya ingin membantu mencarikan biaya untuk menebus adik-adiknya yang dititipkan di panti asuhan. Setelah ayah kandungnya meninggal, nak Shera memang sering membantu ibunya menjajakan kue para tetangga. Tapi--, dia tidak mau bersekolah lagi," Yani menunjukan raut sedihnya diakhir kalimatnya.
"Sekarang Shera dimana?"
"Didapur, Tuan muda."
"Apa-, apa boleh saya bertemu dengannya?" pinta Fhilip sedikit ragu. "Saya kemari karena diminta oleh ibu Karunia dan Bapak kepala sekolah. Karena 4 hari ini Shera tidak masuk tanpa keterangan, dan terancam dikeluarkan dari sekolah." lanjutnya.
"Silahkan Tuan muda, saya akan antar ke belakang," Yani bangkit dari duduknya.
"Tidak perlu Bibi, saya ingin bicara empat mata dengannya,"cegah Fhilip sembari ikut berdiri.
"Tapi..." Yani nampak khawatir, ia ragu membiarkan anak majikannya itu menemui Shera seorang diri.
"Tapi kenapa Bi," Fhilip menangkap raut keraguan dari asisten rumah tangganya itu.
"Nak Shera , dia--, dia sekarang agak kasar bila bicara dengan seseorang, saya khawatir nanti dia bersikap kasar pada Tuan muda,, walau Tuan muda temannya. Mungkin saja karena apa yang telah menimpanya," ungkap Yani, masih dengan mode khawatirnya. Karena sempat beberapa kali ia melihat Shera bersikap kasar pada polisi ataupun dokter yang menanyai hal-hal yang terlalu pribadi padanya.
"Saya sudah terbiasa diperlakukan kasar oleh Shera di sekolah Bi."
Yani seketika membekap mulutnya dengan kedua tangannya, tidak percaya pada apa yang ia dengar. Bagaimana mungkin anak seperti Shera yang selalu patuh pada ibunya dan terkenal baik dilingkungan mereka memiliki sikap kasar di sekolah.
"Bibi tunggu disini saja bersama pak Jonggon, saya hanya sebentar, hanya menyampaikan pesan dari ibu Karunia dan Bapak kepala sekolah saja," setelah mengatakan itu, Fhilip melangkah menuju dapur, menyibak kain gorden didepannya.
Langkah Fhilip terhenti didekat meja makan, saat melihat Shera memberi tatapan tidak bersahabatnya. Remaja perempuan itu berdiri diambang pintu menuju pekarangan samping sambil menenteng dua ember besar berisi air yang ia ambil dari kolam samping rumah.
"Ngapain kesini?" ketus Shera sambil meletakan ember yang terasa berat.
"Hanya ingin memberikan ini," Fhilip menunjukkan amplop putih yang ia keluarkan dari ranselnya.
"Apa itu?" tanya Shera dengan raut tak berminat, melihat amplop yang masih dipegang Fhilip.
"Surat peringatan dari guru wali kelas dan Bapak kepala sekolah. Bila besok kamu masih tidak ke sekolah, sekolah akan mengeluarkanmu dari daftar murid SMP Negeri 2 Mulawarman."
Shera mendengus.
"Aku sudah tidak berminat sekolah lagi, jadi tidak perlu repot-repot memberi surat seperti itu."
Fhilip melangkah maju, mendekati Shera yang masih berdiri diambang pintu, diantara dua ember berisi air kolam.
"Apa yang bisa kau harapkan dalam hidup ini bila tidak memiliki ijazah? Tetap mau jadi orang miskin yang melarat seperti sekarang ini? Tanpa sanak saudara yang perduli? Ibumu di penjara, dan adik-adikmu dititipkan dipanti asuhan? Padahal kau masih bisa berjuang mengubah nasib? Jangan bodoh Shera. Meratapi nasib tidak akan membuat hidupmu lebih baik. Jangankan menebus adik-adikmu dari panti asuhan, membiayai hidupmu sendiri saja kamu tidak akan mampu bila kamu tidak mau sekolah."
Shera mengatup bibirnya, hanya bola matanya yang memerah, menahan agar air matanya tidak keluar, mengingat nasib malang yang menimpanya, ibu, dan adik-adiknya. Dan sekarang, ia bahkan menjadi beban tante Yani, teman ibunya, tanpa ada hubungan darah.
"Kamu tidak punya pilihan selain sekolah, Shera. Kamu beruntung tidak membayar sekolah seperti murid-murid lainnya. Gunakan beasiswa prestasimu dengan baik. Ingat, kesempatan baikmu bersekolah seperti sekarang ini belum tentu datang dua kali."
"Kalau kamu tidak datang ke sekolah besok, itu artinya kau menyia-nyiakan perjuanganmu selama ini. Bersiaplah, kau akan menjadi salah satu sampah masyarakat di negeri ini," Fhilip meraih tangan Shera dengan paksa dan meletakan surat peringatan yang ia pegang sejak tadi ke telapak tangan remaja perempuan itu, lalu berbalik dan pergi tanpa bicara apapun lagi.
Bersambung...👉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Aprilia
Bagus bgt thor ceritanya😍
2024-01-01
1
Syhr Syhr
Fhilip seketika dewasa. Keren kamu fhilip
2023-12-28
2
Syhr Syhr
Mantab. Setelah itu jangan kawin lagi, ya bu
2023-12-28
1