Fhilip melirik deretan parkiran sepeda, tidak dilihatnya sepeda biru butut milik Shera selama dua hari ini, apa teman semejanya yang sombong itu tidak turun lagi tanpa kabar, batinnya.
Banyak pasang mata mengikuti langkah remaja tampan itu. Ada yang sudah jatuh hati padanya, ada pula yang iri melihat dirinya yang nyaris sempurna, kaya, pintar, dan juga paling ganteng sendiri di sekolah itu.
Zaman itu, tidak banyak siswa SMP seperti dirinya berangkat ke sekolah dengan mobil, kecuali anak pengusaha dan para anak pejabat di kota itu, lebih banyak menggunakan sepeda kayuh atau diantar dengan sepeda motor oleh ayah atau ibunya.
"Hai Fhilip!" Roni siswa jangkung, tapi tidak sejangkung Fhilip, datang mendekat, saat Fhilip meletakan tas ranselnya di atas meja.
"Hai," balas Fhilip seadanya, sambil mengeluarkan buku dan peralatan tulis menulisnya untuk jam pelajaran pertama hari ini.
"Bagi contekan PR Matematika dong, kau biasanya selalu mengerjakannya 'kan?" Fhilip memutar bola matanya, ini bukan pertama kalinya Roni melakukannya.
Mungkin ini yang dimaksud Shera dengan 'benalu' saat pertama kali ia memilih duduk disebelah gadis itu, rata-rata siswa-siswi dikelas ini suka minta contekan, seperti Roni ini contohnya.
"Kamu nggak ngerjain PR lagi?" tekan Fhilip.
"Aku sibuk. Ayolah, jangan pelit seperti Shera, gadis judes itu," paksa Roni sembari mengatai teman sekelas mereka itu.
"Sibuk? Bukannya tugas utama kita belajar. Jadi apa yang kau sibukkan?" sela Fhilip tak percaya.
"Nggak usah banyak tanya. Mentang-mentang duduk dekat Shera, kau ketularan sifat cerewet dan pelitnya Shera. Buruan! Mana PR-nya? Kau tahu, guru yang paling rajin turun dan nggak pernah absen, ya guru Matematika, nyebelin!" Roni masih memaksa dengan gayanya yang seenaknya.
"Nih PR-nya. Ingat, ini terakhir kalinya. Besok-besok jangan harap aku memberikannya lagi. Bukan karena pelit, tapi aku tidak ingin kau bergantung dan menjadi siswa pemalas," Fhilip menyodorkan buku Matematikanya, Roni gegas menyambar lalu mulai menyalinnya dibuku tulis miliknya.
Tring! Tring! Tring!
Bel berbunyi nyaring, seluruh siswa berlarian melakukan baris-berbaris didepan kelas, termasuk Fhilip dan Roni yang ikut keluar kelas.
"Kau lihat, seperti kataku tadi, dibelakangmu sudah ada ibu Karunia, beliau memang tak pernah absen, bener-bener nyebelin tau," sungut Roni berbisik pelan pada Fhilip. Karena keduanya paling jangkung, maka mereka mengambil barisan paling belakang.
Setelah acara baris-berbaris disertai doa selesai didepan pintu kelas, para siswa-siswi SMP itu masuk dengan tertib kedalam kelasnya masing-masing.
"Kumpulkan PR kalian masing-masing! Dan persiapkan diri kalian, hari ini kita ulangan harian!" gema ibu Karunia dengan suara lantangnya.
"Oh, ya ampun. Aku belum selesai menyalin PR-mu Fhilip," gerutu Roni, tapi remaja laki-laki itu mau tak mau tetap mengumpulkan buku PR-nya juga bila tak ingin disemprot oleh sang ibu guru yang terkenal kiler itu.
"Sudah semua?" Ibu Karunia mengedarkan pandangannya keseluruh kelas, mungkin saja ada muridnya yang belum mengumpulkan tugas PR-nya. Setelah dilihatnya tidak ada yang mengacungkan tangan, dihitungnya jumlah buku sesuai jumlah siswa kelasnya.
"Satu, dua, tiga,... Tiga puluh sembilan. Kurang satu. Ayo jujur, siapa yang tidak mengumpulkan tugas PR-nya?" lantang ibu Karunia lagi, kembali mengedarkan pandangannya keseluruh kelas.
"Roni! Kenapa kau duduk disana? Ayo, kembali kekursimu!" perintah ibu Karunia.
"I-iya Bu," Roni gegas bangkit lalu berpindah ke kursinya kembali.
"Shera--, ada yang tahu kemana dia?" tanya ibu Karunia heran. Setahunya, Shera adalah salah satu murid yang paling rajin turun sekolah, tapi kenapa hari ini murid kebanggaannya itu absen tanpa keterangan.
Tidak ada jawaban. Di kelas itu, Shera memang tidak memiliki teman akrab karena sikapnya yang menjaga jarak dengan semua murid.
"Baiklah! Kita mulai ulangannya sekarang." putus ibu Karunia. Ia mengambil spidol, lalu mulai menulis soal dipapan tulis.
"Hari ini Ibu akan memanggil kalian satu persatu maju kedepan untuk mengambil nilai sesuai jawaban kalian."
Ucapan sang guru Matematika spontan memberi kesan horor seisi kelas, degup jantung para murid seketika memacu kencang.
"Roni, maju! Kerjakan soal di papan tulis!" perintah ibu Karunia. Roni yang dipanggil namanya seketika menggigil kaget.
"Roni! Apa telingamu tuli?" sentak ibu Karunia dengan sorot mata tajamnya, ketika Roni masih memaku bokongnya ditempat duduk.
"I-iya, Bu. S-saya dengar," Roni terpaksa berdiri melangkah dengan kaki gemetar. Seisi kelas yang biasanya suka mentertawai murid yang berlaku demikian tidak ada yang berani tertawa, karena mereka sudah tahu apa konsekuensi yang bakal mereka terima bila berani mengolok teman-temannya yang lain disaat mata pelajaran Matematika.
"M-maaf, Bu. S-saya tidak bisa mengerjakannya." jujur Roni, namun ia berusaha tegar menahan rasa malunya.
"Berdiri didekat pintu!" titah ibu Karunia, menunjuk dengan penggaris kayu panjang yang biasa ia gunakan saat mengajar.
"Diwan!" panggil ibu Karunia selanjutnya.
Diwan maju dengan tenang, memegang spidol dan menempelkan mata spidolnya dipapan tulis namun tidak kunjung menulis jawabannya.
"Lama sekali Diwan!" sentak ibu Karunia. Seketika lutut remaja laki-laki itu gemetaran didepan kelas mendengarnya. "Kalau tak bisa menjawab berdiri disebelah Roni!"
Diwan bergeser, mendekati Roni berdiri, tentu saja remaja laki-laki itu malu karena tidak mampu menjawab soal yang ada.
Sebagian besar murid menunduk takut, ketika ibu Karunia kembali mengedarkan pandangannya.
"Kalau Shera tidak hadir, ya begini ini. Tidak ada yang bisa mengisi jawaban soal!" ucap ibu Karunia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Fhilip! Maju!" titah bu Karunia, saat matanya bersirobok dengan remaja laki-laki itu.
Tanpa menunggu namanya dipanggil dua kali, Fhilip gegas berdiri dan maju menuju ke papan tulis. Dengan tenang ia mulai menuliskan jawaban penyelesaiannya. Ibu karunia memperhatikan dengan seksama, begitu pula para murid lainnya.
Penyelesaian:
Pertama hitung terlebih dahulu (AB +C)
Maka, Det (AB + C) \=
(3.14) - (8.6) \= 42 - 48 \= -6.
"Bagus Fhilip! Jawabanmu benar!" puji sang guru Matematika senang.
...🍓🍓🍓...
Fhilip turun dari mobilnya diikuti oleh pak Jonggon sopir yang selalu setia mengantar jemputnya kemanapun ia pergi. Remaja itu menatap police line berwarna kuning, mengitari rumah kayu dihadapannya, yang ia tahu itu adalah rumah tinggal Shera.
"Pak, permisi. Numpang tanya," pak Jonggon menghadang seorang warga pejalan kaki yang kebetulan melintas didekat mereka.
"Iya Pak, ada apa?" warga itu balik bertanya.
"Perkenalkan, nama saya pak Jonggon. Dan ini anak majikan saya, tuan muda Fhilip."
Warga itu memperhatikan kedua orang asing yang ada dihadapannya, terutama Fhilip yang memiliki wajah Indo.
"Sudah dua hari ini temannya tuan muda Fhilip yang bermama Shera tidak masuk sekolah, dan kami tahu ini adalah rumahnya," tunjuk pak Jonggon pada rumah yang di police line didepan mereka.
"Kalau boleh tau apa yang terjadi sampai ada pita kuning seperti ini Pak?" lanjut pak Jonggo mewakili Fhilip.
"Oh, den Fhilip ini temannya nak Shera ya? Mereka mengalami musibah. Ayah tiri nak Shera ditembak mati oleh ibu nak Shera Pak. Untuk lebih jelasnya, silahkan ke rumah pak ketua RT di ujung jalan sana sebelum tikungan yang bercat biru laut." terang sang warga itu.
"Baik, terima kasih Pak. Kalau begitu kami pamit dulu."
"Sama-sama Pak, den Fhilip." warga itu ikut berlalu.
Bersambung...👉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Syhr Syhr
Bgus bu!
2023-12-28
1
Syhr Syhr
jangan kasih fhlip
2023-12-28
1
Syhr Syhr
Teringat cowok ganteng waktu masih sd
2023-12-28
1